ARTIKEL PINTASAN

Tuesday, June 18, 2013

Pemalas

Tertulis “Bandung Electronic Center”. Biasa disingkat “BEC”. Orang lalu lalang, hilir mudik, seperti rayap berebut hingga meninggalkan remah-remah.
Di seberang BEC, saya masuk ke sebuah rumah budaya. Bukan gedung. Bukan pula pusat perbelanjaan yang dapat menghabiskan uang para pengunjung tanpa peduli siapa Anda dan berlatar ekonomi seperti apa Anda. Orang menegenalnya dengan sebutan IFI (Institut Francais Indonesia).
Seperti saya, seperti Anda juga pastinya, bila memasuki rumah budaya Prancis itu, sebuah cafe dan pelayan-pelayannya siap menanti Anda. Saya dibawa melayang pikiran. Berpikir tentang bagaimana para pemikir modern di Eropa sering menarasikan kehidupannya di cafe-cafe. Mereka menulis di tengah-tengah keriuhan cafe mewah. Saya bisa pastikan, bila seorang penulis bernarasi soal kelapara maupun kepedulian sosial, penulis tersebut akan dianggap munafik oleh orang-orang yang berpikir tradisionalisme.
Zaman sudah digolongkan postmo, segala rupa bercampur baur. Tidak ada lagi pengotak-kotakan. Dengan cara pikir ala postmo segalanya dapat dikatakan “Harap maklum”. Saya pun berani menegaskan, saya duduk di cafe tersebut. Saya hanya memesan segelas kopi hitam agar “dapat” duduk dan dapat menggunakan fasilitas colokan listrik.
Waktu di tangan menunjukkan hampir 17.00 WIB tepat. Saya menanti seorang. Saya menanti hp saya penuh daya listrik.
//
Pukul tujuh malam telah lewat lima menit. Manusia telah menanti di depan pintu masuk pertunjukan. Hampir semua memegang tiket.
Di panggung pertunjukan penuh tulisan. Latar dinding pertunjukan seakan berbicara kepada saya, kepada seluruh penonton. Terselip kata-kata “Revolusi” di tengah-tengah keramaian tulisan itu. Panggungnya minimalis. Hanya ada properti mesin jahit dan kursi.
Di sisi kanan dari pandangan penonton, seorang tokoh berceloteh. Bermonolog. Sambil menjahit dengan mengayuhkan kakinya serta menata tangan dan kainnya sedemikian rupa selayaknya penjahit yang telah mahir.
Ia menghardik identitas diri. “Siapa saya sebenarnya?” katanya. Masih, sambil menjahit terus berceloteh.
Celotehannya perlahan mengarah pada persoalan revolusi, pada soal-soal kemanusiaan. “Aku bingung melihat Kota Bandung, di perempatan-perempatan jalan anak-anak pengemis tumbuh banyak. Tidak ada yang peduli. Orang-orang menaiki kendaraannya tidak peduli pada mereka,” katanya.
Ia mulai mengarahkan pertanyaan-pertanyaan seputar teater di Bandung. Berawal dari ketidakpedulian tadi. “Aku bingung melihat kondisi teater di Bandung,” katanya.
Sambil memainkan properti sebuah kursi, si tokoh terus mengeluh. Menyebut nama-nama aktor, terutama sutradara teater di Bandung. Baginya, awal mula datang ke Bandung dan bermain teater di Bandung ia antusias terhadap teater di Bandung.
 Semakin lama ia tinggal dan bermain teater di Bandung, ia mulai mengeluh. Mengeluh kepada Tuhan. Mengeluh kepada orang-orang terdekatnya. Mengeluh, seakan-akan hanya Tuhan yang mendengar. Tapi baginya, “Tuhan pun menjawab, jadi sutradara yang baik itu ya duduk, sambil merokok, dan sambil memainkan hape” sambil menunjukkan tangan di kanan seolah-olah memegang hp dan tangan di kiri seolah-olah memegang rokok.
Si tokoh yang melawan batas antara panggung dan ruang penonton itu mengambil seorang penonton. Di panggung, si penonton diperintah melakukan pukulan. Dengan sebilah kayu. Pukulan itu mengingatkan bagaimana cara orang-orang Jepang dan Cina mendidik anaknya. Si tokoh berharap adanya perubahan. Tapi si tokoh menikmatinya, “Hayo pukul lagi.”
Si tokoh pun mengajak lima orang naik panggung. Mengajak kelima orang tersebut bergembira, menyanyikan sebuah musik yang ceria. Belum lagi usai keceriaan, seorang suster datang. Memasuki panggung dari sisi kanan penonton.
Kehadiran sang suster mengisyaratkan bahwa si tokoh adalah orang yang tidak sehat pikirannya.
//
Kurang dari pukul 21.00 WIB pementasan yang berjudul “Menjahit Marat/Sade” itu pun usai. Seakan pementasan tersebut merupakan pementasan yang berhasil, lantas saya bersenandika pertanyaan-pertanyaan atas pementasan yang diperankan oleh aktris bule, Karensa, itu.
“Apakah sesungguhnya orang yang punya empati tinggi terhadap orang lain itu selalu dianggap tidak sehat pikirannya? Apakah revolusi itu cuma peristiwa merajut, bukan peristiwa mengubah pola? Apakah revolusi itu suatu kepuasan pribadi? Apakah perubahan akan muncul apabila kita sendiri malas?” kataku bersenandika.

Saya sendiri, waktu itu, malas menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Share this:

1 comment :

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes