Tertulis
“Bandung Electronic Center”. Biasa disingkat “BEC”. Orang lalu lalang, hilir
mudik, seperti rayap berebut hingga meninggalkan remah-remah.
Di seberang BEC,
saya masuk ke sebuah rumah budaya. Bukan gedung. Bukan pula pusat perbelanjaan
yang dapat menghabiskan uang para pengunjung tanpa peduli siapa Anda dan
berlatar ekonomi seperti apa Anda. Orang menegenalnya dengan sebutan IFI
(Institut Francais Indonesia).
Seperti saya,
seperti Anda juga pastinya, bila memasuki rumah budaya Prancis itu, sebuah cafe
dan pelayan-pelayannya siap menanti Anda. Saya dibawa melayang pikiran.
Berpikir tentang bagaimana para pemikir modern di Eropa sering menarasikan
kehidupannya di cafe-cafe. Mereka menulis di tengah-tengah keriuhan cafe mewah.
Saya bisa pastikan, bila seorang penulis bernarasi soal kelapara maupun
kepedulian sosial, penulis tersebut akan dianggap munafik oleh orang-orang yang
berpikir tradisionalisme.
Zaman sudah
digolongkan postmo, segala rupa bercampur baur. Tidak ada lagi
pengotak-kotakan. Dengan cara pikir ala
postmo segalanya dapat dikatakan “Harap maklum”. Saya pun berani menegaskan,
saya duduk di cafe tersebut. Saya hanya memesan segelas kopi hitam agar “dapat”
duduk dan dapat menggunakan fasilitas colokan listrik.
Waktu di tangan
menunjukkan hampir 17.00 WIB tepat. Saya menanti seorang. Saya menanti hp saya
penuh daya listrik.
//
Pukul tujuh
malam telah lewat lima menit. Manusia telah menanti di depan pintu masuk
pertunjukan. Hampir semua memegang tiket.
Di panggung
pertunjukan penuh tulisan. Latar dinding pertunjukan seakan berbicara kepada
saya, kepada seluruh penonton. Terselip kata-kata “Revolusi” di tengah-tengah
keramaian tulisan itu. Panggungnya minimalis. Hanya ada properti mesin jahit
dan kursi.
Di sisi kanan
dari pandangan penonton, seorang tokoh berceloteh. Bermonolog. Sambil menjahit
dengan mengayuhkan kakinya serta menata tangan dan kainnya sedemikian rupa
selayaknya penjahit yang telah mahir.
Ia menghardik
identitas diri. “Siapa saya sebenarnya?” katanya. Masih, sambil menjahit terus
berceloteh.
Celotehannya
perlahan mengarah pada persoalan revolusi, pada soal-soal kemanusiaan. “Aku
bingung melihat Kota Bandung, di perempatan-perempatan jalan anak-anak pengemis
tumbuh banyak. Tidak ada yang peduli. Orang-orang menaiki kendaraannya tidak
peduli pada mereka,” katanya.
Ia mulai
mengarahkan pertanyaan-pertanyaan seputar teater di Bandung. Berawal dari
ketidakpedulian tadi. “Aku bingung melihat kondisi teater di Bandung,” katanya.
Sambil memainkan
properti sebuah kursi, si tokoh terus mengeluh. Menyebut nama-nama aktor, terutama
sutradara teater di Bandung. Baginya, awal mula datang ke Bandung dan bermain
teater di Bandung ia antusias terhadap teater di Bandung.
Semakin lama ia tinggal dan bermain teater di
Bandung, ia mulai mengeluh. Mengeluh kepada Tuhan. Mengeluh kepada orang-orang
terdekatnya. Mengeluh, seakan-akan hanya Tuhan yang mendengar. Tapi baginya, “Tuhan
pun menjawab, jadi sutradara yang baik itu ya duduk, sambil merokok, dan sambil
memainkan hape” sambil menunjukkan tangan di kanan seolah-olah memegang hp dan
tangan di kiri seolah-olah memegang rokok.
Si tokoh yang
melawan batas antara panggung dan ruang penonton itu mengambil seorang
penonton. Di panggung, si penonton diperintah melakukan pukulan. Dengan sebilah
kayu. Pukulan itu mengingatkan bagaimana cara orang-orang Jepang dan Cina
mendidik anaknya. Si tokoh berharap adanya perubahan. Tapi si tokoh
menikmatinya, “Hayo pukul lagi.”
Si tokoh pun mengajak
lima orang naik panggung. Mengajak kelima orang tersebut bergembira,
menyanyikan sebuah musik yang ceria. Belum lagi usai keceriaan, seorang suster
datang. Memasuki panggung dari sisi kanan penonton.
Kehadiran sang
suster mengisyaratkan bahwa si tokoh adalah orang yang tidak sehat pikirannya.
//
Kurang dari
pukul 21.00 WIB pementasan yang berjudul “Menjahit Marat/Sade” itu pun usai. Seakan
pementasan tersebut merupakan pementasan yang berhasil, lantas saya
bersenandika pertanyaan-pertanyaan atas pementasan yang diperankan oleh aktris
bule, Karensa, itu.
“Apakah
sesungguhnya orang yang punya empati tinggi terhadap orang lain itu selalu
dianggap tidak sehat pikirannya? Apakah revolusi itu cuma peristiwa merajut,
bukan peristiwa mengubah pola? Apakah revolusi itu suatu kepuasan pribadi? Apakah
perubahan akan muncul apabila kita sendiri malas?” kataku bersenandika.
Saya sendiri,
waktu itu, malas menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Kapan ketemuan Wang? Menguap ya project kita?
ReplyDelete