ARTIKEL PINTASAN

Saturday, July 5, 2014

Pilu Pilpres


ilustrasi Pilpres 2014 (foto: Riau Pos)
Pilu Pilpres - Pemilihan presiden kali ini bagi saya sangat memalukan dan pilu, sebagai warga negara yang memahami posisi sebagai ordinat dalam suatu negara. Perpecahan relasi terjadi di banyak tempat. Untuk itu, kepada presiden terpilih kelak, tolong pertimbangkan hal seperti ini agar kelak tak terjadi kembali.
Suatu kali sahabat saya cerita, di dalam keluarganya ia terkucilkan dan dibully karena berbeda pilihan presiden. Kakak dan orangtuanya memilih calon presiden yang tampak tegas, sementara dirinya memilih calon lainnya. "Tetangga-tetangga gw juga pilih calon yang sama dengan keluarga gw, makin terkucilkanlah gw," kata sahabat saya itu.
Sahabat saya lainnya, ia memilih capres yang tampak merakyat. Pilihannya berbeda dengan pilihan dominan di komunitasnya. Hampir seluruh teman di komunitas itu memilih capres yang tampak berwibawa. Setiap hari sahabat saya, dengan keterbatasan fisiknya, kerap dibully. "Yang dukung capres itu yang harus direvolusi mentalnya," kata teman sahabat saya itu kepada sahabat saya, dengan nada menyudutkan.
Tak jauh berbeda dengan kisah-kisah tersebut, banyak lagi teman-teman dan kenalan saya yang menjadi "korban" pilihan. Ada pula yang mengaku bahwa hubungan suami-istri tak hangat karena perbedan itu. Ada pula yang mengaku hubungan pertemanan menjadi renggang karena perbedaan pilihan. Ada pula pertemanan yang saling caci atas pilihan masing-masing.
Suatu pagi, Jumat (04/07), saya menemui curhatan serupa di portal daring (online). Seorang mahasiswa mengaku, hubungan orangtuanya merenggang akibat beda pilihan. Bahkan, hubungan orangtuanya nyaris cerai. “Jangan to**l gitu kenapa. Isu HAM Prabowo itu basi banget. Nggak kebukti juga,” tulis si mahasiswa yang bernama Yana Prastina, menirukan perkataan ibunya kepada bapaknya, Beritajogja, Kamis (03/07).
Saya tak bisa berbuat banyak atas fenomena itu semua, kecuali mencatatnya agar menjadi jejak sejarah pilpres negara ini. Ini soal wacana. Bukan tidak mungkin saya melakukan langkah konkret untuk hal itu semua, seperti membuat gerakan semacam gerakan selamatkan rakyat dari dampak pilpres 2014. Bisa juga mengajukan gagasan pemilu yang lebih baik untuk masa depan. Bisa juga membuat gerakan nyata atau gerakan dunia maya tolak sistem pemilihan langsung untuk bangsa Indonesia. Tapi itu semua butuh energi, butuh waktu, butuh keseriusan agar berjalan mulus. Paling tidak, inilah langkah konkret yang terbilang sederhana, mencatatkan.
Bangsa ini perlu mempertimbangkan sistem duo capres. Ternyata, dari fenomena ini semua, saya sadari duo capres membuat perselisihan semakin runcing. Berbeda dengan jumlah capres pada pilpres 2009 dan 2004. Pada 2009, lima tahun lalu, ada tiga capres, yakni SBY, Megawati, dan Jusuf Kalla. Pada 2004 terjadi dua putaran. Putaran pertama terdapat lima calon.
Saya menilai, masyarakat Indonesia belum siap seutunya menghadapi pemilihan presiden. Bisa jadi ini karena dasar tradisi masyarakat Indonesia adalah kekeluargaan, yang seharusnya menerapkan nilai-nilai musyawarah, bukan sistem voting. Sistem voting itu membuat kekeluargaan berpotensi retak, karena dasar voting adalah kebebasan individu (individualitas). Bukan maksud saya pula menyatakan bahwa kebebasan individu buruk bagi masyarakat Indonesia, hanya saja masyarakat Indonesia belum siap.
Di sisi lain, kesadaran politik juga menjadi faktor keretakan relasi tadi. Seandainya mereka sadar, tiap-tiap warga negara memiliki hak politik, saya kira mereka akan jumawa terhadap perbedaan dan tak sampai membuat emosi. Posisinya, kita (kecuali capres), hanyalah sebagai pemilih. Hak politik kita sebatas pemilih, bukan hak calon. Dengan memahami itu, saya kira kita akan paham bahwa perbedaan pilihan hanya untuk mencoblos, yang hasilnya dimanfaatkan oleh para calon.
Begitulah pilu pilpres 2014 ini. Dengan menulis catatan ini, saya harap pemimpin negara mau mempertimbangkan fenomena ini semua. Salam.

Jogja, 4 Juli 2014.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes