ARTIKEL PINTASAN

Tuesday, July 8, 2014

Pragmatisme




Felipe Scolari (foto: blogspot)

Keadaan sering terlihat menyeramkan dan materialistik, dan bertentang dengan hakekat manusia. ... Bagi manusia, hidup akan menjadi semudah bernafas, dan semangatnya akan bebas untuk menciptakan dunianya sendiri. (Tagore)

Pragmatisme - Pragmatisme dan hiburan adalah dua tatanan berpikir yang berkembang di era kapitalisme saat ini. Seperti apa yang disampaikan penyair India, di atas, Rabindranath Tagore, bahwa selalu ada sisi yang dapat dipetik. Selalu ada faedah, berbuah. Tagore menyatakan ironisme gurita sains di atas kendali kapitalisme, tetapi ia tidak menolak seluruhnya. Tagore selalu mencari kesesuaian, antara sains dan hakekat manusia. Menjadikan sains dan praktiknya tidak bertentangan dengan nilai kemanusian, hingga akhirnya Tagore menerapkan paham itu di sebuah desa di India.
Nilai pragmatisme itu tumbuh pula di ranah sepak bola. Publik sering menjustifikasi Mourinho adalah pelopor pragmatisme sepak bola pada era 21. Mourinho selalu menampilkan permainan sepak bola defensif demi hasil. Pragmatisme, dalam filsafat, bukan hanya soal hasil dan kebermanfaatan, melainkan nilai kebenaran yang tidak berpijak pada satu nilai. Tujuan yang demikian ialah pencarian nilai kebermanfaatan, seberapa fungsionalnya. Maka tak jarang, hasil akhir jadi tolak ukur.
Dari 4 kontestan semifinal, Brasil adalah tim yang tengah mengedepankan pragmatisme. Di tangan pelatih Felipe Scolari, Brasil tidak lagi menerapkan "sepak bola samba". Perlahan, sentuhan samba mulai terasa berkurang sejak Scolari menjadi juru taktik di Piala Dunia 2002. Hasilnya, Scolari mampu membawa Cafu Cs memegang trofi juara Piala Dunia yang diadakan di Jepang dan Korsel itu.
Pada Piala Dunia 2006, goyang samba sama sekali hilang. Bahkan, pada 2010 di Afrika Selatan, Brasil tak cukup ditakuti tim-tim besar, meski tak ditangani Scolari. Tak ada lagi goyang samba di lapangan hijau. Tak ada lagi perpaduan hiburan dan hasil akhir yang memuakan penonton. Kepuasan telah bergeser, hanya mengedepankan kepuasan publik sendiri, dengan meraih kemenangan. "Di turnamen kali ini cara bermain mereka (Brasil) mirip cara Eropa bila dibandingkan dengan gaya Amerika Latin," papar Dietmar Hamann, seperti dinukil dari situs FIFA.com, Selasa (08/07).
"Saya tahu mereka ingin terus bermain bertahan. Tapi pada akhirnya kita akan melihat Brasil menjadi juara dunia. Mereka melakukan segalanya demi negara," kata pelatih Chelsea, Mourinho, kepada wartawan Yahoo.
Pelatih Kolombia, Jose Pekerman, merasakan hal itu kala melawan Brasil. Pekerman menyatakan, Brasil kelihatan mengutamakan gol cepat untuk menggoyahkan mental pemain Kolombia di lapangan. "Kami tahu bahwa setelah kesulitan melawan Chile, Brasil banyak belajar. Mungkin Brasil berusaha mencetak gol cepat untuk membuat permainan kami menjadi goyah dan tidak stabil," kata Pekermen.
Bagi Brasil, goyang samba tidak lagi menguntungkan. Goyang samba tidak menjamin adanya manfaat yang nyata, kecuali sekadar menghibur penonton sejagad raya. Lantas, mungkinkah di tangan Scolari akan menguatkan pragmatismenya kala melawan Jerman. Jika ya, Brasil akan menjadi finalis di Piala Dunia 2014 ini, serta mengulang sejarah Piala Dunia 2002, mengalahkan Jerman.
Seperti kata Tagore, "Adalah sebuah hukum kehidupan untuk menghancurkan yang telah mati." Goyang samba telah mati. Jerman akan menghadapi pragmatisme timnas Brasil.


Jogja, 08 Juli 2014.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes