ARTIKEL PINTASAN

Thursday, July 11, 2013

Kapitalisme Menyelamatkan Seni?




Kapitalisme Menyelamatkan Seni?
ilustrasi Kapitalisme (foto: blogspot)
FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian) berkeluh kesah tentang kiris pangan dunia. FAO menganggap kondisi dunia saat ini sedang dalam fase krisis pangan, sehingga pembicaraan itu penting dilakukan, yang dilakukan dalam pertemuan FAO pada 2011 kemarin. Krisis pangan ini dianggap sedang mengancam negara-negara miskin, khususnya di bagian Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Januari 2012 diadakan pertemuan WEF (World Economy Forum). Para pelaku bisnis dan politisi berkumpul dalam pertemuan WEF, di Davos, Swiss. Perbincangannya ialah semacam reaksioner krisis atas dampak krisis 2009 yang berkelanjutan. Jauh sebelum dua wujud krisis legacy ini, krisis global telah membuat pelaku bisnis dan pemimpin negara bak kebakaran jenggot.
Abad milenium, pasca-1999, ditandai MDG’s dan perjanjian pasar bebas, krisis multisektor semakin parah, yang kini mobilisasinya melalui siklus globalisasi. Apa yang disebut sebagai komoditas, tidak lagi terdistribusi merata akibat sistem kepemilikan melalui medium uang. Distribusi hanya bermuara pada kelompok-kelompok ekonomi menengah ke atas. Krisis di Afrika, khususnya Utopia, dibiarkan begitu saja hingga banyak yang mati kelaparan. Di Amerika Serikat, 20% pertumbuhan kekayaan dan pendapatan hanya dirasakan oleh orang-orang kaya sejak 1983 (Edward Wolff, Economics Institute, Bard College). The United Nations Human Development Report melaporkan, pada 1999, bahwa seperlima orang kaya mengonsumsi ketersediaan komoditas (barang dan jasa) dan orang miskin tidak lebih dari satu persen.
Globalisasi telah mengubah dunia. Memang kapitalisme, seperti apa yang menjadi paradigma berpikir Camille Paglia, telah mengeluarkan kehidupan manusia dari keterkungkungan aristokrat. Kapitalisme membuat ide-ide tereksplorasi ke ruang-ruang publik, dan semakin kreatif. Individu-individu, yang terinfluens pemahaman (neo)liberalisme, merasa merdeka setelah keruntuhan aristokrasi. Bagi kehidupan seni, dalam arti sempit, seperti dikatakan Camille Paglia dalam tulisannya yang berjudul “How Capitalism Can Save Art”, bahwa kapitalisme itu menyelamatkan seni.
Capitalism has its weaknesses. But it is capitalism that ended the stranglehold of the hereditary aristocracies, raised the standard of living for most of the world and enabled the emancipation of women. The routine defamation of capitalism by armchair leftists in academe and the mainstream media has cut young artists and thinkers off from the authentic cultural energies of our time.
Dengan gaya gramatika yang mengandung unsur pesimismenya, Camille mengawali tulisannya dengan nada skeptif-pesimistik itu mengenai masa depan seni. Bagaimana masa depan seni? Kurang lebih begitu. Namun, paparan selanjutnya, dipaparkan keterkaitan kapitalisme terhadap dunia seni. Baginya, kapitalisme telah menyelematkan dunia seni.
Seni tidak bisa terlahir dari ruang yang bukan ruang senimannya. Karya seni yang diciptakan seniman akan bergantung pada lingkungan senimannya. Dahulu kala orang-orang San menciptakan seni guratan (lukis) berbentuk Eland di gua, di Eropa terjadi hal yang sama tetapi objeknya berbeda, yakni Bison. Suku San melukis dari imajinasinya terhadap Eland karena kehidupan suku San dikelilingi Eland, begitu juga dengan imajinasi terhadap Bison. Di Indonesia prakemerdekaan, misalnya, estetika yang berkembang didominasi oleh gaya estetik yang mirip pepohonan, guratan batang, maupun batu. Guratan tetunanan seperti guratan batang pohon, ornamen rumah tanggan dan ornamen tubuh pun mengandung garis-garis berbentuk kotak atau lingkaran.
Kini kita lebih sering melihat karya seni lukis berobjek tubuh seksi. Seniman seakan-akan terkungkung atas keindahan tubuh, terlebih-lebih pada eksploitasi tubuh perempuan. Fakta ini bukan hanya pada seni lukis, melainkan juga pada seni bahasa (sastra), tari, musik, teater. Seni yang mengandung sensualitas atau seksualitas lebih cepat berterima publik.
It's high time for the art world to admit that the avant-garde is dead. It was killed by my hero, Andy Warhol, who incorporated into his art all the gaudy commercial imagery of capitalism (like Campbell's soup cans) that most artists had stubbornly scorned.
Andy Warhol hidup di zaman awal pergerakan masif kapitalisme Amerika Serikat, 6 Agustus 1928 - 22 Februari 1987. Dahulu ada Sekolah Seni Rupa Institut Teknologi Carnegie di Pittsburgh, Pennsylvania. Kini dikenal Carnegie Mellon University. Di sanalah Warhol belajar seni. Setelah itu, sekitar tahun 1940-an, Warhol bekerja di sebuah majalah. Di sinilah industri seninya mulai berkembang. Imajinasinya tumbuh atas keadaan sekitar, seperti benda-benda komersil (komoditas) dan sebagainya. Pikirannya tereksplorasi ke ranah komersialisasi. Warhol pun menghasilkan karya-karya yang, menurut Camille, dicemooh seniman pada zamannya. Karya-karyanya seperti kaleng Campbell’s, pisang, dan tokoh-tokoh yang menjadi figur kejayaan komersialisasi.
Ketika saya kuliah, saya temui adanya berkas internal fakultas tempat saya kuliah. Berkas itu menunjukkan adanya kesepakatan petinggi kampus untuk mengarahkan mahasiswanya mampu bersaing di dunia bisnis. Kampus menginginkan adanya penyesuaian keinginan pasar dengan keilmuan yang diterapkan di kampus. Singkatnya, mahasiswa sastra diarahkan mampu menjadi enterpreneur. Hal ini senada dengan ungkapan Camille, seorang pengajar di University of the Arts in Philadelphia, artists should learn to see themselves as entrepreneurs. Bila Camille beranjak dari anak didiknya yang merupakan seorang pemahat, lalu bagaimana dengan sastra? Ya, bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan iklan, seperti apa yang dilakukan Warhol semasa kariernya. Seniman dipaksa harus mampu mengolah komoditas yang bernilai rendah menjadi komoditas yang bernilai tinggi agar mendapat penambahan nilai.
Industri seni tidak berprioritas pada estetikanya, melainkan pada penambahan nilainya (value). Dalam industri seni, sesuatu yang tidak estetik pun harus laku di pasaran. Musik, misalnya, yang belakangan paling masif menggerakkan industri seni, tidak lagi mengutamakan unsur kenikmatan jiwa, melainkan sekadar “easy listening” (tentunya karena dampak produksi massal, sehingga subjek yang sejujurnya tidak suka menjadi suka).
Musik-musik Wagner kalah saing dengan musik-musik pop nan melow. Musik-musik Jhon Lennon kalah saing dengan musik-musik Britney Spears. Bahkan, karakter seni musik tidak tertata dengan baik. Musik berirama cepat berpadu dengan lirik kepedihan, misalnya. Irama dan lirik seperti itu jelas-jelas tidak sesuai. Dalam estetika pakaian, misalnya, seakan-akan pendesainnya kehabisan akal untuk mengeksplorasi estetika berpakaian, sehingga selalu mengandung unsur keseksian tubuh sebagai daya tarik, bukannya estetika pada pakaian itu yang dikembangkan sebagai daya tarik. Teater-teater yang dikemas dalam paradigma industri pun hanya mengangkat tema-tema keremajaan, demi penegakan unsur industrialisasi.
Bila sudah seperti ini, estetika kapitalisme dikembangkan dan seniman (harus) berkepribadian dua (seniman-pebisnis wiraswasta), maka karya seni tidak lagi mampu mencapai estetika adiluhung yang mampu diresapi hingga ke jiwa penikmatnya, sehingga tidak mampu menjadi bahan refleksi dan kontemplasi bagi penikmatnya. Akhirnya jadilah kedangkalan estetika. Pada akhirnya, dunia seni dalam industrialisasi akan mengalami krisis parah juga, seperti krisis pangan.

*pernah ditayangkan di Kepadamu(dot)com

_________________________________________________________________________________
Respon atas esai Camille Paglia, “How Art Can Save Art”, (http://online.wsj.com/article/SB10000872396390444223104578034480670026450.html).

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes