Tantangan Era Media Digital - Sebagai mahluk
bermasyarakat, sebagai manusia berakal, sebagai insan berusaha memahami keesaan
Tuhan, bahasa menjadi jembatan. Bahasa menjembatani antarindividu (komunikator-komunikan),
antara objek dan ide, antara realitas dan transendental. Seperti halnya kita
menyampaikan pesan, ide, gagasan dan sejenisnya, kepada orang di sekitar kita.
Pun begitu sebaliknya. Namun bahasa, yang sifatnya dinamis, membutuhkan
pemahaman kontekstual, sesuai zaman dan masyarakat di mana bahasa itu
digunakan.
Begitu pun halnya di
dalam perkembangan ilmu dan pengetahuan. Para filsuf memandang pentingnya
bahasa sebagai instrumen penting pembelajaran. Tanpa bahasa, pemahaman (ide dan
gagasan) para filsuf tidak akan tersampaikan kepada kita hari ini. Kita tidak
akan memahami ketasawufan seorang Jalaludin Rumi, kita tidak akan memahami
ilmu-ilmu kedokteran Ibnu Sina, kita tidak akan memahami pemahaman mimesis
Plato, kita tidak akan memahami gagasan Imam Ghazali, Imam Syafii, dan lainnya.
Di dalam teori evolusi bahasa,
manusia kuno berututur melalui bahasa tubuh, cenderung ekspresionis.
Selanjutnya, perkembangan bahasa dipengaruhi oleh perkembangan media. Media
berperan penting “mendistribusikan” bahasa, baik dari segi kosakata hingga
pemaknaan.
Media
Massa dan Zaman
Tidak hanya bahasa itu
sendiri yang berevolusi (dinamis), media pun terus berubah seiring perubahan
zaman. Di era manusia kuno, di (pra)-Nusantara, begitu pula di beberapa bangsa
di dunia, mengenal batu sebagai media. Pada zaman ini media-media massa belum
dikenal seperti sekarang, melainkan hanya sebagai media di internal bangsa
sendiri, relasi antara pemimpin bangsa dan anggotanya. Pesan-pesan di dalamnya
tidak lain ialah persoalan moral.
Selanjutnya, di era
feodalisme (tanpa bermaksud menyamaratakan persepsi feodalisme tiap-tipa
bangsa), masyarakat menggunakan lontar dan kulit, berelasi antara pemimpin
kerajaan dan rakyatnya. Pada era ini pesan-pesannya mengandung unsur kekuasaan
dan moralitas. Kedua era ini pendistribusian “pesan” masih terbatas. Karena
keterbatasan itu, saya memperkirakan, sudah barang tentu tertata dengan baik.
Perubahan drastis media
massa terjadi di era kapitalisme. Diawali dengan penemuan mesin cetak oleh
Guttenberg, 1940, evolusi media massa sangat cepat, dibandingkan dengan
zaman-zaman sebelumnya. Konteks ekonomi-politik kapitalisme mendorong adanya “privatisasi
media massa” oleh pemodal sebagai sarana akumulasi nilai (added value).
Perkembangan media
massa kapitalisme terus berkembang seiring perkembangan teknologi informasi
(TI). Saat ini muncul apa yang disebut sebagai “new media”, berbasis digital.
“New Media” adalah bentuk media yang didasari atas kecanggihan teknologi. Media
massa seperti ini ditandai dengan munculnya media-media massa berbasis daring (online), selain blogger, “media sosial”
(facebook, twitter, path, linkedin, dan sebagainya: media alternatif).
Mengacu pada teori
media massa, di tengah kapitalisme ini jarang sekali saya temui media-media massa
mainstream berbasis IT mengandung
unsur pembelajaran, kecuali hiburan, hiburan, dan sensualitas. Di dalam teori
sejarah media massa menyebutkan bahwa secara umum bila merujuk sejak awal
terbentuknya media massa memiliki tiga unsur trinitas, yakni pembelajaran (to educate), informasi (to informed), hiburan (to entertain). Persoalannya kini
media-media mainstream lebih
mengutamakan “hiburan”. Dari ketiga unsur ini, “hiburan” lebih mendapatkan
porsi lebih besar dibandingkan dua unsur lainnya. Atau paling tidak kedua unsur
tadi ditempatkan di bawah “hiburan”.
Tak ayal zaman media
era digital ini membuat informasi politik menjadi sebuah hiburan berupa
dagelan, informasi kesehatan menjadi sebuah “sarana jual-beli” (mengesampingkan
to educated), dan informasi agama
menjadi sebuah “fenomena religiusitas” maupun “fenomena konflik antargolongan.
Digitalisasi
dan Tantangan
Saya sangat
mengkhawatirkan bagaimana perilaku media online
saat ini, hanya mengutamakan kecepatan, kecepatan, dan kecepatan. Banyak nilai
terabaikan demi mengutamakan kecepatan. Nilai kejujuran dan keagungan (abdi
sosial), bahkan nilai agung prinsip-prinsip jurnalisme, dinomorduakan. Fakta
tidak lagi menjadi prioritas, karena dengan teknologi (digitalisasi), realitas
hanyalah relitas maya yang dimanipulasi (apa yang sebut Baudrillard sebagai simulacrum) sedemikian rupa.
Dampak adanya
digitalisasi, benar bahwa hal kecanggihan seperti itu membuat desa-desa
terpencil bisa mengakses informasi, dari global ke lokal. Penyajian dari satu
ruang ke ruang lainnya menjadi realtime.
Perpanjangan sistem saraf manusia (meminjam istilah Yasraf A Piliang) seperti
ini tentu mengonstruksi pikiran “anak zaman” (anak-anak nsebagai generasi masa
depan).
Ekspansi digitalisasi
ke desa-desa itu memunculkan kekhawatiran. Pertama,
kekhawatiran mengenai perkembangan bahasa. Seperti apa yang pernah saya tulis
mengenai persoalan bahasa media online (“Memilih Media”, Kompas, September 2013). Media online berpacu kecepatan, sehingga
kebahasaan terabaikan. Perilaku media yang demikian canggihnya, bisa mengunggah
berita di tempat peristiwa secepat mungkin, ternyata tidak sejalan dengan
kualitas kebahasaan. Di sisi lain, media online
terus diikuti perkembangan istilah-istilah asing, sejalan perkembangan
teknologi.
Kedua,
kekhawatiran pada bagaimana pembaca memahami atau meyakini wujud maya tadi
sebagai sesuatu yang realitas nan jujur. Pembaca ibarat manusia polos,
memercayai teks media massa itu apa adanya. Dalam hal ini, saya punya satu
nukilan cerita saat bekerja di salah satu media online. Ketika itu sedang terjadi kebakaran di salah satu sisi
kantor media televisi nasional. Tempat saya bekerja, penulis berita menyajikan
berita dengan mendahului fakta. Ia menulis berita bahwa kobaran api telah
padam. Padahal, saat berita itu ditulis fakta sesungguhnya, pemadam kebakaran
sedang berusaha memadamkan api.
Simpulannya,
secara tidak sadar generasi digital saat ini telah “mengunyah” konstruksi
berpikir (minded) semrawut, komersil,
“manusia yang terhibur”, dan serba instan. Semrawut berpikir berarti sulit
membedakan mana yang realitas dan mana yang maya. Begitulah zaman media di era
digital. Sebagai penutup, saya nukil ayat Al-Quran, mungkin kiranya bisa
menjadi bagian renungan antara era digitalisasi ini dengan “Yang Ilahi”.
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِّن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ
مِنْ أَمْرِ اللّهِ إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا
بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللّهُ بِقَوْمٍ سُوءاً فَلاَ مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُم
مِّن دُونِهِ مِن وَالٍ
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu
mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas
perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga
mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila
Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat
menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia” (Surah
Ar-Ra’ad ayat 11)
Tulisan ini
disampaikan dalam diskusi minat dan bakat di Pondok Pesantren Kaliopak, 30 Mei
2014.
Versi ini
setelah revisi
Betul. Kecepatan komunikasi yang ada saat ini tidak diimbangi oleh kualitas bahasa yang disampaikan melaluinya. Kecepatan komunikasi yang praktis instan selain melahirkan bahasa "baru", misalnya singkatan-2 kata yang baru, konteks yang tidak mendalam, dlsb., juga menampilkan betapa banyaknya orang yang kemampuan berbahasanya masih perlu diperbaiki.
ReplyDeleteTapi saya orang yang optimis. Demokratisasi komunikasi yang ada saat ini tidak berhenti sampai di sini saja, tetapi masih akan terus berlanjut. Dan semoga kualitas isi yang ada di dalamnya akhirnya akan menempati posisi yang utama.