ARTIKEL PINTASAN

Saturday, May 3, 2014

Tantangan Era Media Digital




Tantangan Era Media Digital - Sebagai mahluk bermasyarakat, sebagai manusia berakal, sebagai insan berusaha memahami keesaan Tuhan, bahasa menjadi jembatan. Bahasa menjembatani antarindividu (komunikator-komunikan), antara objek dan ide, antara realitas dan transendental. Seperti halnya kita menyampaikan pesan, ide, gagasan dan sejenisnya, kepada orang di sekitar kita. Pun begitu sebaliknya. Namun bahasa, yang sifatnya dinamis, membutuhkan pemahaman kontekstual, sesuai zaman dan masyarakat di mana bahasa itu digunakan.
Begitu pun halnya di dalam perkembangan ilmu dan pengetahuan. Para filsuf memandang pentingnya bahasa sebagai instrumen penting pembelajaran. Tanpa bahasa, pemahaman (ide dan gagasan) para filsuf tidak akan tersampaikan kepada kita hari ini. Kita tidak akan memahami ketasawufan seorang Jalaludin Rumi, kita tidak akan memahami ilmu-ilmu kedokteran Ibnu Sina, kita tidak akan memahami pemahaman mimesis Plato, kita tidak akan memahami gagasan Imam Ghazali, Imam Syafii, dan lainnya.
Di dalam teori evolusi bahasa, manusia kuno berututur melalui bahasa tubuh, cenderung ekspresionis. Selanjutnya, perkembangan bahasa dipengaruhi oleh perkembangan media. Media berperan penting “mendistribusikan” bahasa, baik dari segi kosakata hingga pemaknaan.

Media Massa dan Zaman
Tidak hanya bahasa itu sendiri yang berevolusi (dinamis), media pun terus berubah seiring perubahan zaman. Di era manusia kuno, di (pra)-Nusantara, begitu pula di beberapa bangsa di dunia, mengenal batu sebagai media. Pada zaman ini media-media massa belum dikenal seperti sekarang, melainkan hanya sebagai media di internal bangsa sendiri, relasi antara pemimpin bangsa dan anggotanya. Pesan-pesan di dalamnya tidak lain ialah persoalan moral.
Selanjutnya, di era feodalisme (tanpa bermaksud menyamaratakan persepsi feodalisme tiap-tipa bangsa), masyarakat menggunakan lontar dan kulit, berelasi antara pemimpin kerajaan dan rakyatnya. Pada era ini pesan-pesannya mengandung unsur kekuasaan dan moralitas. Kedua era ini pendistribusian “pesan” masih terbatas. Karena keterbatasan itu, saya memperkirakan, sudah barang tentu tertata dengan baik.
Perubahan drastis media massa terjadi di era kapitalisme. Diawali dengan penemuan mesin cetak oleh Guttenberg, 1940, evolusi media massa sangat cepat, dibandingkan dengan zaman-zaman sebelumnya. Konteks ekonomi-politik kapitalisme mendorong adanya “privatisasi media massa” oleh pemodal sebagai sarana akumulasi nilai (added value).
Perkembangan media massa kapitalisme terus berkembang seiring perkembangan teknologi informasi (TI). Saat ini muncul apa yang disebut sebagai “new media”, berbasis digital. “New Media” adalah bentuk media yang didasari atas kecanggihan teknologi. Media massa seperti ini ditandai dengan munculnya media-media massa berbasis daring (online), selain blogger, “media sosial” (facebook, twitter, path, linkedin, dan sebagainya: media alternatif).
Mengacu pada teori media massa, di tengah kapitalisme ini jarang sekali saya temui media-media massa mainstream berbasis IT mengandung unsur pembelajaran, kecuali hiburan, hiburan, dan sensualitas. Di dalam teori sejarah media massa menyebutkan bahwa secara umum bila merujuk sejak awal terbentuknya media massa memiliki tiga unsur trinitas, yakni pembelajaran (to educate), informasi (to informed), hiburan (to entertain). Persoalannya kini media-media mainstream lebih mengutamakan “hiburan”. Dari ketiga unsur ini, “hiburan” lebih mendapatkan porsi lebih besar dibandingkan dua unsur lainnya. Atau paling tidak kedua unsur tadi ditempatkan di bawah “hiburan”.
Tak ayal zaman media era digital ini membuat informasi politik menjadi sebuah hiburan berupa dagelan, informasi kesehatan menjadi sebuah “sarana jual-beli” (mengesampingkan to educated), dan informasi agama menjadi sebuah “fenomena religiusitas” maupun “fenomena konflik antargolongan.

Digitalisasi dan Tantangan
Saya sangat mengkhawatirkan bagaimana perilaku media online saat ini, hanya mengutamakan kecepatan, kecepatan, dan kecepatan. Banyak nilai terabaikan demi mengutamakan kecepatan. Nilai kejujuran dan keagungan (abdi sosial), bahkan nilai agung prinsip-prinsip jurnalisme, dinomorduakan. Fakta tidak lagi menjadi prioritas, karena dengan teknologi (digitalisasi), realitas hanyalah relitas maya yang dimanipulasi (apa yang sebut Baudrillard sebagai simulacrum) sedemikian rupa.
Dampak adanya digitalisasi, benar bahwa hal kecanggihan seperti itu membuat desa-desa terpencil bisa mengakses informasi, dari global ke lokal. Penyajian dari satu ruang ke ruang lainnya menjadi realtime. Perpanjangan sistem saraf manusia (meminjam istilah Yasraf A Piliang) seperti ini tentu mengonstruksi pikiran “anak zaman” (anak-anak nsebagai generasi masa depan).
Ekspansi digitalisasi ke desa-desa itu memunculkan kekhawatiran. Pertama, kekhawatiran mengenai perkembangan bahasa. Seperti apa yang pernah saya tulis mengenai persoalan bahasa media online (“Memilih Media”, Kompas, September 2013). Media online berpacu kecepatan, sehingga kebahasaan terabaikan. Perilaku media yang demikian canggihnya, bisa mengunggah berita di tempat peristiwa secepat mungkin, ternyata tidak sejalan dengan kualitas kebahasaan. Di sisi lain, media online terus diikuti perkembangan istilah-istilah asing, sejalan perkembangan teknologi.
Kedua, kekhawatiran pada bagaimana pembaca memahami atau meyakini wujud maya tadi sebagai sesuatu yang realitas nan jujur. Pembaca ibarat manusia polos, memercayai teks media massa itu apa adanya. Dalam hal ini, saya punya satu nukilan cerita saat bekerja di salah satu media online. Ketika itu sedang terjadi kebakaran di salah satu sisi kantor media televisi nasional. Tempat saya bekerja, penulis berita menyajikan berita dengan mendahului fakta. Ia menulis berita bahwa kobaran api telah padam. Padahal, saat berita itu ditulis fakta sesungguhnya, pemadam kebakaran sedang berusaha memadamkan api.
Simpulannya, secara tidak sadar generasi digital saat ini telah “mengunyah” konstruksi berpikir (minded) semrawut, komersil, “manusia yang terhibur”, dan serba instan. Semrawut berpikir berarti sulit membedakan mana yang realitas dan mana yang maya. Begitulah zaman media di era digital. Sebagai penutup, saya nukil ayat Al-Quran, mungkin kiranya bisa menjadi bagian renungan antara era digitalisasi ini dengan “Yang Ilahi”.

لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِّن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللّهِ إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللّهُ بِقَوْمٍ سُوءاً فَلاَ مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن وَالٍ
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia” (Surah Ar-Ra’ad ayat 11)


Tulisan ini disampaikan dalam diskusi minat dan bakat di Pondok Pesantren Kaliopak, 30 Mei 2014.

Versi ini setelah revisi

Share this:

1 comment :

  1. Betul. Kecepatan komunikasi yang ada saat ini tidak diimbangi oleh kualitas bahasa yang disampaikan melaluinya. Kecepatan komunikasi yang praktis instan selain melahirkan bahasa "baru", misalnya singkatan-2 kata yang baru, konteks yang tidak mendalam, dlsb., juga menampilkan betapa banyaknya orang yang kemampuan berbahasanya masih perlu diperbaiki.

    Tapi saya orang yang optimis. Demokratisasi komunikasi yang ada saat ini tidak berhenti sampai di sini saja, tetapi masih akan terus berlanjut. Dan semoga kualitas isi yang ada di dalamnya akhirnya akan menempati posisi yang utama.

    ReplyDelete

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes