ARTIKEL PINTASAN

Wednesday, October 15, 2014

Anas dan Mubahallah

ilustrasi (gambar: ucha-kartun.blogspot.com)
Anas dan MubahallahAdaptasi hukum Belanda ke Indonesia belum dapat dinyatakan memuaskan seluruh masyarakat Indonesia. Nilai antara hukum negara dan hukum berbasis agama masih berjarak.
Bagi sebagian umat Islam, menjalani proses peradilan akan sulit menerima keputusan hakim. Keputusan hakim kadang dianggap tidak mengandung nilai keislaman. Hal ini tercermin pada pernyataan mantan ketua umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Anas Urbaningrum setelah mendengar putusan hakim kemarin, Rabu (24/09). Akibat tidak puas atas putusan hakim yang menjatuhkan vonis 8 tahun penjara, Anas Urbaningrum mencetuskan proses pencari keadilan melalui Mubahallah. Ia meminta hakim dan jaksa beserta pihak-pihak terkait melakukan mubahallah atas putusan yang ia terima.
Permintaan yang ditempuh melalui cara Islam mencari keadilan dan kebenaran tersebut menjadi penanda bahwa hukum-hukum di Indonesia masih jauh dari nilai-nilai keagamaan. Nilai agama tidak terakomodasi, sehingga Anas meminta upaya mubahallah dilakukan demi memahami kebenaran yang sebenar-benarnya.
Mubahallah adalah cara menuju kebenaran yang hakiki. Hal ini seperti tertuang di dalam sejarah Islam ketika Islam dan salah satu agama di Madina bersitegang. Kedua-duanya mengaku agama yang paling benar. Karena saling bersikukuh serta memunculkan ketegangan antarkelompok, akhirnya dilakukanlah mubahallah. Keduanya saling berseru akan kebenaran. Namun, hal ini dilakukan Rasul karena Islam mendapat cerita tidak baik dari golongan non-Islam.
Hal terpenting di dalam mubahallah adalah penempatan kebenaran (haq) pada Tuhan. Mubahallah tidak meletakkan kebenaran secara parsial maupun fragmen di dalam manusia. Segala keputusan diserahkan kepada Tuhan.
Secara garis besar, hukum di Indonesia merupakan peninggalan hukum kolonial. Pada masa kemerdekaan Indonesia, para pelopor (pendiri) bangsa tidak memiliki waktu yang cukup untuk membentuk suatu tatanan hukum yang “berasal dari masyarakat untuk masyarakat”. Pemerintahan Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno mengeluarkan maklumat, yang dicantumkan di UUD 1945, Ketentuan Peralihan Pasal II UUD 1945. Di dalamnya menyatakan, “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini.”
Dua “kitab” hukum peninggalan kolonial tertera melalui Hukum Pidana dan Hukum Perdata. Namun, di luar hukum kolonial tersebut, perkembangan hukum di Indonesia juga memasukkan beberapa nilai hukum keagamaan. Sayangnya, hukum ini sifatnya terbatas, tidak menyeluruh. Hukum syariat Islam, misalnya, hanya berlaku di ranah perkawaninan, keluarga, dan harta warisan. Selebihnya, hukum Indonesia masih memberlakukan hukum pidana dan perdata peninggalan kolonial.
Lantas bagaimana seorang muslim, juga berlaku bagi umat agama lainnya, menemukan keadilan yang sesuai nilai agama yang dianutnya sendiri? Dengan pertanyaan ini, wajar apabila seorang penganut agama menempuh tata cara keadilan melalui cara-cara agama yang dianutnya. Pasalnya, sekulerisasi di bidang hukum membuat seorang penganut agama tidak merasa puas atas putusan peradilan yang ia terima.

Anas hanya satu simpul golongan umat Islam yang tidak merasa puas atas keputusan akhir dari suatu proses peradilan. Sebagai umat beragama, seorang pemeluk agama menginginkan dasar-dasar putusan peradilan dijalankan berdasarkan nilai-nilai keagamaan. Menerima keputusan yang berbasis keagamaan jauh lebih menemteramkan umat yang menjalani agama tersebut.  Ia akan mendapatkan nilai agama sekaligus nilai keadilan sosial.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes