ARTIKEL PINTASAN

Saturday, September 6, 2014

Di Balik Kegagalan Partai Berbasis Agama

partai islam (foto: blogspot)
Di Balik Kegagalan Partai Berbasis AgamaSaat ini partai politik berbasis Islam berada pada dua sisi mata uang. Di satu sisi mempertaruhkan nilai-nilai keagamaan. Di sisi lain mempertaruhkan nilai politik berkarakter kapitalistik. Mungkin pula hal ini yang menyebabkan koalisi yang dihuni banyak partai Islam tak mampu mengalahkan koalisi yang dihuni satu partai Islam.
Dua nilai itu pula yang menjadi nilai pembeda kedua koalisi. Seperti apa yang telah dilakukan oleh partai-partai berbasis agama Islam pada pilpres 2014 kemarin. Pada salah satu kubu koalisi pendukung calon presiden terdapat empat partai berbasis agama Islam, yakni Partai Keadilan Sosial (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Bulan Bintang (PBB). Semestinya koalisi ini berkomunikasi masif perihal nilai-nilai keagaman, namun yang tersampaikan ke publik justru transaksi politik antarpartai. Meski tidak eksplisit dan tidak terpublikasi, beberapa kali salah satu kader dari salah satu partai tersebut mengakui adanya transaksi politik.
Di sisi lain, di koalisi seberang, terdapat satu partai berbasis agama lainnya, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pada koalisi ini partai berbasis agama terkena dampak strategi komunikasi yang diterapkan tim koalisi, yakni tidak menyatakan transaksi politik. Namun, konteks ekonomi kapitalisme seperti saat ini sudah barang tentu berdampak pada tatanan politik praktis. Ibarat pandangan populis umumnya, tidak ada makan siang gratis.
Transaksi politik tersebut tentu berdasarkan nilai-nilai kapitalisme-neoliberal saat ini. Suatu tindakan haruslah menguntungkan. Suatu perbuatan haruslah memiliki nilai lebih. Kapitalisme berprinsip pada nilai lebih (added value) atas nilai komoditas, sehingga perilaku partai seperti itu dipahami jauh dari perjuangan (akomodasi) keagamaan.
Kapitalisme merusak moralitas dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan demi pencapaian nilai lebih tadi. Dalam moral, misalnya, seperti dinyatakan Camile Paglia, dalam esainya yang berjudul "How Capitalism Can Save Art", bahwa kapitalisme global saat ini menyebabkan kecenderungan seni pada kemolekan tubuh perempuan yang tereksploitasi. Namun yang terpenting, dalam konteks partai politik, kapitalisme tidak ramah pada nilai-nilai kemanusiaan dan tidak mengenal apa yang disebut dengan keikhlasan (tanpa nilai material).
Sudut sisi lainnya, partai berbasis agama harus bertanggung jawab atas nilai keagamaan yang diusung. Agama merupakan wadah kemanusiaan yang bersifat transendental. Agama menjaga hubungan baik ke-Tuhanan melalui pintu kebaikan sesama manusia. Agama pula yang mengajarkan nilai-nilai tanpa nilai material (keikhlasan).
Agama berarti tidak kacau atau tenteram. Agama lahir dari situasi kekacauan sosial dengan tujuan mulia pembebasan masyarakat dari keterbelakangan, ketidakadilan, dan kejahatan (batil). Sementara misi transenden agama ialah pencapaian berpikir secara luas terhadap dunia hingga mencapai yang lebih tinggi dari dunia (ilahiah).
Di sinilah letak pertentangan partai berbasis agama. Pada satu sisi mengusung nilai-nilai kemanusiaan hingga nilai-nilai transenden, namun di sisi lain partai harus memosisikan sebagai partai modern yang mengusung bentuk-bentuk transaksional.
Tentu pertentangan ini menjadi pekerjaan rumah (PR) para politisi (kader partai). Apakah partai berbasis agama masih terus mengusung nilai "dua sisi mata uang" ini atau merumuskan konsep praktik politik yang mengedepankan nilai-nilai agama. Apakah partai berbasis agama melakukan transaksi politik dalam pengusungan koalisi atau mengedepankan kolektivitas bangsa dan masyarakat. Apakah partai terus menggerus nilai tambah atau mampu bertindak ikhlas.
Dengan demikian, wajar apabila masyarakat berpandangan sinis(me) terhadap partai berbasis agama. Masyarakat umumnya menempatkan nilai keagamaan, bukan identitas partai sebagai alat kekuasaan demokrasi kapitalistik. Apabila masyarakat melihat suatu partai lobi sana lobi sini dalam penjajakan koalisi, ini artinya masyarakat berharap bagaimana nilai keagamaan terimplementasi dengan baik dan efektif. Semoga pemilihan presiden pasca-Pilpres 2014 ini partai berbasis agama tidak terjebak pada praktik transaksional politik agar partai memiliki "nilai jual" yang baik (efektif) di tengah-tengah dominasi masyarakat beragama ini.


Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes