![]() |
"Ngaji Wayang" di Pesantren Kaliopak |
Santri, Sastra, dan Seni Wayang - “Apa hubungan
sastra dengan wayang?” begitu si pembawa acara bertanya kepada penyair muda
yang tampil di awal kesempatan.
“Perntanyaannya
menjebak ini,” jawab si penyair.
Pernyataan itu
seakan mewakili kegelisahan atas keberlangsungan apresiasi seni sastra di
tengah kegiatan Pekan Peringatan 11 Tahun
Wayang Pusaka Dunia, di Pondok Kaliopak, Jumat (28/11) malam. Kegelisahan
mereka yang wara-wiri mempertanyakan kegiatan semacam ini ditambah dengan
situasi latar panggung yang bernuansa mistis. Panggung selebar kurang lebih 6
meter dihiasi latar tetumbuhan bambu. Rerimbunan, yang sebagiannya baru saja
ditebangi untuk keperluan tata panggung. Tak jauh dari rerimbunan, sekira 7 meter
dari panggung, salah satu sungai terpanjang di Yogyakarta menghampar, Kaliopak
–sebuah sungai bersejarah dalam
perjalanan salah satu Walisongo, Sunan Kalijaga.
Di panggung
terpampang banner “Ngaji Wayang”. Sehari sebelum panggung digunakan sebagai ruang
apresiasi sastra, panggung digunakan sebagai ruang pembukaan pameran wayang
“Ngaji Wayang”.
Peresmian itu
pun tak luput dari pertanyaan pengunjung. Mereka bertanya-tanya, mengapa wayang
bisa diapresiasi kelompok religi yang disebut sebagai kelompok pesantren. Dalam
kata sambutan, pendiri Pesantren Kaliopak, Jadul Maula, melontarkan kegelisahan
pengunjung yang menancap tepat di telinganya. Pertanyaan, mengapa pesantren
mengapresiasi wayang? “Apa salahnya pesantren menyelenggarakan wayang?” kata
Jadul Maula, bermaksud memberikan jawaban tak langsung atas pertanyaan
tersebut, di hadapan pengunjung.
Mantan direktur
LKiS itu memberi sambutan tepat di depan Aula Pesantren Kaliopak, ruangan yang
digunakan untuk memamerkan rupa-rupa wayang, dari 17 seniman. Mulai dari wayang
golek, wayang kulit, wayang sodo, lukisan wayang, hingga potongan komik wayang.
Tepat di antara posisi beridirinya Jadul Maula dengan pintu masuk ruangan
pameran berdiri gagah gunungan wayang setinggi 11 meter. Tergambar di bagian
depan gunungan tersebut sosok yang menyeramkan, sosok berwajah merah dan
bertaring putih.
“Ngaji wayang
itu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Wayang berarti bayang-bayang
kita sendiri. Wayang-wayang seperti tubuh-tubuh kita. Jadi, wayang itu juga
muhasabah, bagian dari mengenal diri kita sendiri,” papar pria asal Pekalongan
itu, dengan mengenakan jarik khas Jogjakarta, sorjan, dan blangkon.
Bagi Jadul
Maula, wayang merupakan salah satu cara menuju Tuhan, selain sebagai seni
tradisi yang mengandung nilai estetika Nusantara. Salah satu cara mendekatkan
diri kepada Yang Ilahi. Menyaksikan pagelaran wayang, menurut dia, sudah
seharusnya melampaui hingga bagian terdalam dari sisi pemaknaan, bukan sekadar
hiburan semata selayaknya cerita-cerita wayang yang ada di televisi yang
belakangan ramai diperbincangkan. Di dalamnya terdapat nilai rohaniah yang
mampu menjadi bahan ajaran, sebagai salah satu cara pendekatan diri kepada
Tuhan tadi.
Selepas Jadul
Maula, pembukaan dilanjutkan oleh perwakilan dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan yang bertugas di Daerah Istimewa Yogyakarta. Di akhir kesempatan
dalam sesi pembukaan, GBPH Yudhaningrat turut memberi wejangan pembuka, dengan
menggunakan bahasa Jawa. Yudhaningrat pun membuka pameran wayang “Ngaji Wayang”
secara simbolis melalui pemotongan pita berwarna merah. Selanjutnya, peserta
dan tamu undangan bergilir memasuki ruangan pameran yang bakal dibuka hingga 30
November itu.
Di akhir acara pembukaan,
pembawa acara menyampaikan bahwa sehari setelah pembukaan akan diadakan acara
apresiasi sastra dari penyair muda hingga penyair berpengalaman. Penyair muda
yang dimaksud di antaranya Retno D, Ali D Musrifa, dan lainnya. Sementara
penyair berpengalaman ialah Mustofa W Hasyim dan Imam Budi Santosa.
Bagi Imam Budi
Santosa, di lain kesempatan, ketika ditemui langsung dikediamannya, berujar
bahwa puisi merupakan religiusitas. Ada semangat religius di dalam puisi,
sehingga teks puisi harus benar-benar dipahami lebih jauh, bukan sekadar teks.
Memahaminya tak hanya pada batas apa yang tampak semata, melainkan memahami
lebih dalam tak ubahnya memahami pagelaran wayang yang harus dipahami pada
titik dasar riligiusitasnya.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.