ARTIKEL PINTASAN

Wednesday, December 3, 2014

Santri, Sastra, dan Seni Wayang

"Ngaji Wayang" di Pesantren Kaliopak
Santri, Sastra, dan Seni Wayang - “Apa hubungan sastra dengan wayang?” begitu si pembawa acara bertanya kepada penyair muda yang tampil di awal kesempatan.
“Perntanyaannya menjebak ini,” jawab si penyair.
Pernyataan itu seakan mewakili kegelisahan atas keberlangsungan apresiasi seni sastra di tengah kegiatan Pekan Peringatan 11 Tahun Wayang Pusaka Dunia, di Pondok Kaliopak, Jumat (28/11) malam. Kegelisahan mereka yang wara-wiri mempertanyakan kegiatan semacam ini ditambah dengan situasi latar panggung yang bernuansa mistis. Panggung selebar kurang lebih 6 meter dihiasi latar tetumbuhan bambu. Rerimbunan, yang sebagiannya baru saja ditebangi untuk keperluan tata panggung. Tak jauh dari rerimbunan, sekira 7 meter dari panggung, salah satu sungai terpanjang di Yogyakarta menghampar, Kaliopak –sebuah  sungai bersejarah dalam perjalanan salah satu Walisongo, Sunan Kalijaga.
Di panggung terpampang banner “Ngaji Wayang”. Sehari sebelum panggung digunakan sebagai ruang apresiasi sastra, panggung digunakan sebagai ruang pembukaan pameran wayang “Ngaji Wayang”.
Peresmian itu pun tak luput dari pertanyaan pengunjung. Mereka bertanya-tanya, mengapa wayang bisa diapresiasi kelompok religi yang disebut sebagai kelompok pesantren. Dalam kata sambutan, pendiri Pesantren Kaliopak, Jadul Maula, melontarkan kegelisahan pengunjung yang menancap tepat di telinganya. Pertanyaan, mengapa pesantren mengapresiasi wayang? “Apa salahnya pesantren menyelenggarakan wayang?” kata Jadul Maula, bermaksud memberikan jawaban tak langsung atas pertanyaan tersebut, di hadapan pengunjung.
Mantan direktur LKiS itu memberi sambutan tepat di depan Aula Pesantren Kaliopak, ruangan yang digunakan untuk memamerkan rupa-rupa wayang, dari 17 seniman. Mulai dari wayang golek, wayang kulit, wayang sodo, lukisan wayang, hingga potongan komik wayang. Tepat di antara posisi beridirinya Jadul Maula dengan pintu masuk ruangan pameran berdiri gagah gunungan wayang setinggi 11 meter. Tergambar di bagian depan gunungan tersebut sosok yang menyeramkan, sosok berwajah merah dan bertaring putih.
“Ngaji wayang itu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Wayang berarti bayang-bayang kita sendiri. Wayang-wayang seperti tubuh-tubuh kita. Jadi, wayang itu juga muhasabah, bagian dari mengenal diri kita sendiri,” papar pria asal Pekalongan itu, dengan mengenakan jarik khas Jogjakarta, sorjan, dan blangkon.
Bagi Jadul Maula, wayang merupakan salah satu cara menuju Tuhan, selain sebagai seni tradisi yang mengandung nilai estetika Nusantara. Salah satu cara mendekatkan diri kepada Yang Ilahi. Menyaksikan pagelaran wayang, menurut dia, sudah seharusnya melampaui hingga bagian terdalam dari sisi pemaknaan, bukan sekadar hiburan semata selayaknya cerita-cerita wayang yang ada di televisi yang belakangan ramai diperbincangkan. Di dalamnya terdapat nilai rohaniah yang mampu menjadi bahan ajaran, sebagai salah satu cara pendekatan diri kepada Tuhan tadi.
Selepas Jadul Maula, pembukaan dilanjutkan oleh perwakilan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang bertugas di Daerah Istimewa Yogyakarta. Di akhir kesempatan dalam sesi pembukaan, GBPH Yudhaningrat turut memberi wejangan pembuka, dengan menggunakan bahasa Jawa. Yudhaningrat pun membuka pameran wayang “Ngaji Wayang” secara simbolis melalui pemotongan pita berwarna merah. Selanjutnya, peserta dan tamu undangan bergilir memasuki ruangan pameran yang bakal dibuka hingga 30 November itu.
Di akhir acara pembukaan, pembawa acara menyampaikan bahwa sehari setelah pembukaan akan diadakan acara apresiasi sastra dari penyair muda hingga penyair berpengalaman. Penyair muda yang dimaksud di antaranya Retno D, Ali D Musrifa, dan lainnya. Sementara penyair berpengalaman ialah Mustofa W Hasyim dan Imam Budi Santosa.
Bagi Imam Budi Santosa, di lain kesempatan, ketika ditemui langsung dikediamannya, berujar bahwa puisi merupakan religiusitas. Ada semangat religius di dalam puisi, sehingga teks puisi harus benar-benar dipahami lebih jauh, bukan sekadar teks. Memahaminya tak hanya pada batas apa yang tampak semata, melainkan memahami lebih dalam tak ubahnya memahami pagelaran wayang yang harus dipahami pada titik dasar riligiusitasnya.


Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes