ARTIKEL PINTASAN

Saturday, June 23, 2012

Menengok Soegija dalam Soegija 100% Indonesia


Judul Buku : Soegija 100% Indonesia
Penulis Buku : Ayu Utami
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : Mei 2012
Tebal : 139 halaman
ISBN-13 : 978-979-91-0454-0 

Awalnya saya perkirakan, Soegija adalah bagian dari ajaran Nomensen. Tetapi itu salah. Suatu ketika salah seorang rekan kerja saya bilang, “Soegija, dipanggil Soegiyo.” Dan, semakin tertariklah saya menelusuri Soegija. Apalagi, kondisi sosial-dominan “memaksa” pikiran saya untuk mengurai sosok Soegija. Sosial-dominannya, atas kemarakan film Soegija, yang disutradarai oleh sutradara film-film komersil, Garin Nugroho, dan dibintangi oleh salah seorang penyair “fenomenal”, Nirwan Dewanto. Pun adanya diskusi-diskusi publik yang mengangkat perihal Soegija, sehingga menyebabkan pula diskusi-diskusi koprok (istilah dari akronim “kopi dan rokok”).

Suatu ketika, saat saya ke toko Gunung Agung, Kwitang, Jakarta Pusat, saya melihat sebuah buku kecil bernuansa sejarah yang dikemas ala buku populer. Desainnya menarik. Ulasannya sedikit ringan. Dan, penulisnya adalah salah seorang penulis sastra berbau “selangkangan”, Ayu Utami. Niat ingin membeli buku 5 Kota Berpengaruh di Dunia, eh ternyata bukunya sudah ditarik. Daripada pulang tangan kosong, akhirnya saya putuskan membeli buku Soegija 100% Indonesia buah tangan Ayu Utami, dan semajalah Tempo.

***

Malam menjelang Hari Natal, tepatnya tanggal 24 Desember, tahun 1910, pada malam hari Soegija di baptis. Usianya telah memasuki angka 14 tahun, sedang belia dengan psikologi belum matang dalam prinsipil sehingga mudah terpengaruh. Di saat itulah, ia memilih nama permandiannya, Albertus Magnus.

Soegija (baca: Sugiyo) lahir 25 November 1896, di Soerakarta, Jawa Tengah. Nama lengkapnya, Mgr. Albertus Soegijapranata. Keluarganya terbilang cukup mapan, bahkan lebih dari cukup. Ia bukan rakyat biasa, melainkan bagian dari Abdi Dalem Kasunanan Surakarta. Karena dasar latar keluarga itulah ia berkesempatan masuk ke suatu sekolah yang cukup prestise.

Dari sekolah Kolose Xaverius Muntilan, Soegija mendapatkan kesempatan bersekolah memperdalam ilmu ke Eropa. Ia direstui oleh gurunya, Romo Frans van Lith –bernama lengkapFranciscus Georgius Josephus van Lith. Frans van Lith merupakan pendiri sekolah Kolose Xaverius Muntilan. Tergabung sebagai Yesuit Oirschot, Belanda. Paus Yohanes Paulus II memercayainya sebagai penopang atau penancap kristen di Jawa, khususnya di Jawa bagian tengah, saat Paus tersebut berpidato di Yogyakarta, 1989. Frans van Lithlah orang yang mampu menyelaraskan ajaran kristen terhadap tradisi-tradisi Jawa –selayaknya Nomensen dalam penyebaran Kristen Protestan di tanah Batak. Di tangannyalah banyak orang pribumi masuk ke dalam ajaran Kristen, awalnya mencapai 170-an orang, di Kulon Progo.
            
Sejak itulah, Soegija dikenal orang-orang, yang mengenalnya sejak kecil, telah memasuki fase dan dunia baru, dunia kepercayaan yang baru baginya, Kristen. Sebelumnya, Soegija merupakan individu yang menganut kepercayaan Islam-Jawa. Ia mulai terpengaruh pikiran-pikiran kekristenan sejak studi di Kolose Xaverius Muntilan. Sekolah ini terbilang prestise, dibandingkan sekolah-sekolah lainnya yang ada pada saat itu. Konsep sekolahnya ialah pengasingan –suatu konsep pendidikan yang sangat efektif. Apalagi di dalam bahasa pengantarnya, sekolah ini menggunakan tiga bahasa sekaligus, yaitu bahasa Melayu, bahasa Jawa, dan bahasa Belanda. Ia pun tinggal di asrama, di Kolose Vaverius Muntilan itu. Di sekolah itulah ia mulai memikirkan perihal kepercayaan yang dianutnya dan perihal kepercayaan yang akan dianutnya. Niat awalnya sekolah di sini hanyalah ingin menjadi guru, seperti apa yang tertulis, “Saya hanya mau belajar untuk menjadi guru di sini. Tidak mau masuk Kristen,” kata Soegija ketika akhirnya bertemu lagi dengan Romo Frans van Lith dan rektor kolose, Peter J.A.A (hlm. 50)

Pada akhirnya kita dapat pahami, dari pembacaan buku Soegija 100% Indonesia ini, bahwa orang besar mampu “berkarya” besar pula melalui: melahirkan orang besar dan memberikan pengaruh besar terhadap lingkungannya. Soegija. Soegija memiliki dua orang “pengikut” atau murid yang terbilang berpengaruh pula. Keduanya, yaitu YB Mangunwijaya dan Romo Hardjawardja. Yusuf Bilyarta (YB) ditahbiskan pada tahun 1959. YB merupakan tokoh yang sangat berpengaruh dan memiliki andil besar di dalam beberapa bidang, seperti kesusastraan, kepenulisan, kearsitekan, dan bahkan sebagai aktivis sosial. Kedua murid Soegija ini berperan penting di ranah seni.

***

Pada suatu ketika, saya membaca ulasan penulis buku ini di koran Sindo pada Minggu 10 Juni. Ia mengangkat ulasan “100% Kristen 100% Indonesia”. Pernyataan Soegija itu jadi manuver bagi sekelompok agama yang acapkali bersikap brutal. Dinyatakan kelompok itu bahwa film Soegija itu merupakan kristenisasi. Mengenai cara pikir yang benar, saya setuju dengan Ayu Utami, bila ingin memprotes konsepsi itu mestilah mengetahui dahulu sejarahnya, baik sejarah individu Soegija maupun konteks sosial waktu itu.

Maksud rumusan itu ialah manjadi Katolik tanpa meninggalkan nilai-nilai pribumi. Sebenarnya inilah cara memengaruhi pihak lain. Secara sederhananya, bila Anda adalah Mr. X dan Anda ingin mendekati Mrs. T, maka Anda mestilah menjadi dan menghargai Mrs. T tersebut. Di sanalah peran hegemonis berproses, yang tidak akan kita temui secara deskriptif di dalam buku ini. Dengan pembacaan buku ini, setidaknya kita sedikit paham sejarah konsepsi dan latar sosial-politik waktu itu.



dimuat di Okezone.com

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes