ilustrasi Jokowi (eksklusiftheme.blogspot.com) |
Tarujung.
Istilah ini bermakna “ada di ujung dan seakan terhimpit di antara pilihan”.
Pilihan itu antara melakukan atau tidak melakukan. Pilihannya lebih memberatkan
pada hal melakukan, tetapi tidak harus dilakukan. Sinonimnya dalam bahasa Indonesia
ialah “kebelet”. Hanya saja, “kebelet” menitikberatkan pada perilaku, sedangkan
“tarujung” pada posisinya.
Istilah ini
merupakan istilah yang digunakan orang Medan. Meski berasal dari dialek Batak,
saat ini bukan digunakan oleh orang Batak saja. Orang Melayu, Padang, Jawa, dan
sebagainya yang sering berinteraksi dan telah lama tinggal di Sumetera Utara
tentu pernah bersentuhan dengan istilah “Tarujung”.
Contoh
kalimatnya, “Woi, siapa di kamar mandi? Tarujung ini, mo kencing awak.” Contoh
lainnya, “Aih, awak udah tarujung kali mau nembak cewek itu.” Begitulah
kira-kira kurang lebih penggunaannya.
Itu sekilas
tentang “tarujung”, yang sesungguhnya akan menggambarkan bagaimana posisi
politisi asal Solo, Joko Widodo, di tengah percaturan calon presiden kelak,
elektoral 2014. Di tengah-tengah publik, nama Jokowi bak pahlawan di kegelapan.
Misalnya saja, namanya digadang-gadang sebagai capres terunggul karena dianggap
sederhana dan merakyat.
Dalam peta
politik media massa (mainstream),
Jokowi adalah politisi yang hidup sebatangkara. Dengan media-media televisi,
sebagai media paling berpengaruh saat ini, Jokowi tidak memiliki relasi politik
yang kuat. Dan ini bukan rahasia publik lagi, bahwa partai pengusung Jokowi
tidak memiliki unit usaha pertelevisian. Begitu juga media cetak, koran. Lantas
dari mana pencitraan Jokowi? Asumsi yang dapat diakui dari opini publik, nama
Jokowi besar melalui apa yang disebut dengan istilah new media, ranah online. Hanya saja, itu dilakukan bukan
melalui media online (portal berita),
melainkan media sosial (sosmed), seperti Twitter dan sejenisnya.
Yang perlu
digarisbawahi adalah bagaimana keterpengaruhan media sosial tersebut dan
bagaimana melawan media mainstream. Media massa mainstream tentu lebih berpengaruh dibandingkan nonmainstream.
Pertarungan konstruksi wacana lebih diunggulkan media massa mainstream.
Selanjutnya,
nama Jokowi mulai digeser dalam percaturan survei politik. Dalam kurun setahun,
2013, Jokowi selalu unggul di berbagai survei. Mungkin hanya satu atau dua
survei yang tidak menempatkan Jokowi di tempat teratas dalam hasil survei.
Tetapi, itu pun ditempatkan pada urutan kedua.
Tahun politik
2014 tinggal menghitung jari saja. Sementara Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) belum medeklarasikan Jokowi, entah itu sebagai capres atau
wakil capres 2014. Di tengah-tengah tingginya sorotan publik terhadap Jokowi,
tentu Jokowi seakan tarujung di peta percaturan capres 2014. Jika tidak,
manuver politik antitesis dari berbagai sudut perihal Jokowi bisa saja muncul dari
media massa mainstream dan survei.
“Alamak, kasihan
kali Jokowi tarujung...”
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.