ARTIKEL PINTASAN

Monday, November 4, 2013

Tarujung



ilustrasi Jokowi (eksklusiftheme.blogspot.com)
Tarujung. Istilah ini bermakna “ada di ujung dan seakan terhimpit di antara pilihan”. Pilihan itu antara melakukan atau tidak melakukan. Pilihannya lebih memberatkan pada hal melakukan, tetapi tidak harus dilakukan. Sinonimnya dalam bahasa Indonesia ialah “kebelet”. Hanya saja, “kebelet” menitikberatkan pada perilaku, sedangkan “tarujung” pada posisinya.
Istilah ini merupakan istilah yang digunakan orang Medan. Meski berasal dari dialek Batak, saat ini bukan digunakan oleh orang Batak saja. Orang Melayu, Padang, Jawa, dan sebagainya yang sering berinteraksi dan telah lama tinggal di Sumetera Utara tentu pernah bersentuhan dengan istilah “Tarujung”.
Contoh kalimatnya, “Woi, siapa di kamar mandi? Tarujung ini, mo kencing awak.” Contoh lainnya, “Aih, awak udah tarujung kali mau nembak cewek itu.” Begitulah kira-kira kurang lebih penggunaannya.
Itu sekilas tentang “tarujung”, yang sesungguhnya akan menggambarkan bagaimana posisi politisi asal Solo, Joko Widodo, di tengah percaturan calon presiden kelak, elektoral 2014. Di tengah-tengah publik, nama Jokowi bak pahlawan di kegelapan. Misalnya saja, namanya digadang-gadang sebagai capres terunggul karena dianggap sederhana dan merakyat.
Dalam peta politik media massa (mainstream), Jokowi adalah politisi yang hidup sebatangkara. Dengan media-media televisi, sebagai media paling berpengaruh saat ini, Jokowi tidak memiliki relasi politik yang kuat. Dan ini bukan rahasia publik lagi, bahwa partai pengusung Jokowi tidak memiliki unit usaha pertelevisian. Begitu juga media cetak, koran. Lantas dari mana pencitraan Jokowi? Asumsi yang dapat diakui dari opini publik, nama Jokowi besar melalui apa yang disebut dengan istilah new media, ranah online. Hanya saja, itu dilakukan bukan melalui media online (portal berita), melainkan media sosial (sosmed), seperti Twitter dan sejenisnya.
Yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana keterpengaruhan media sosial tersebut dan bagaimana melawan media mainstream. Media massa mainstream tentu lebih berpengaruh dibandingkan nonmainstream. Pertarungan konstruksi wacana lebih diunggulkan media massa mainstream.
Selanjutnya, nama Jokowi mulai digeser dalam percaturan survei politik. Dalam kurun setahun, 2013, Jokowi selalu unggul di berbagai survei. Mungkin hanya satu atau dua survei yang tidak menempatkan Jokowi di tempat teratas dalam hasil survei. Tetapi, itu pun ditempatkan pada urutan kedua.
Tahun politik 2014 tinggal menghitung jari saja. Sementara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) belum medeklarasikan Jokowi, entah itu sebagai capres atau wakil capres 2014. Di tengah-tengah tingginya sorotan publik terhadap Jokowi, tentu Jokowi seakan tarujung di peta percaturan capres 2014. Jika tidak, manuver politik antitesis dari berbagai sudut perihal Jokowi bisa saja muncul dari media massa mainstream dan survei.

“Alamak, kasihan kali Jokowi tarujung...”

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes