ARTIKEL PINTASAN

Friday, May 9, 2014

Monolog Burung Pak Lurah




Monolog Burung Pak Lurah

“Inilah monoteater, yang disajikan di tengah-tengah antara pileg dan pilpres. Monoteater ini bisa jadi sarana refleksi kita sebelum memutuskan pencoblosan pilpres nanti.”

Monolog Burung Pak Lurah - Pernyataan suara perempuan dari mikrofon itu menandakan permulaan sajian monolog (bagi mereka pementasan ini disebut “monoteater”, yang berarti gabungan antara monolog dan teater) berjudul Burung Pak Lurah. Lampu-lampu di arena penonton dipadamkan, diganti dengan lampu-lampu sorot yang mengarah ke panggung.
Di panggung tiga sangkar burung tergantung di masing-masing sisi. Satu di sisi kanan panggung, tengah panggung, dan kiri panggung. Sementara di lantai sisi kanan panggung terdapat empat kursi dan satu papan persegi. Di sisi sebelahnya, kanan, terdapat meja dan satu kursi di depan meja dan satu kursi di balik meja. Di meja itulah sang aktor memulai aktingnya, selaku lurah.
Sang Lurah berada pada masa transisi. Masa jabatannya akan habis. Ia memutuskan kembali maju untuk pemilihan lurah periode berikutnya. Ia melakukan cara-cara yang menurutnya bisa memuluskan rencana ia menjabat sebagai lurah pada periode selanjutnya.
Sang Lurah pergi ke dukun. Melakukan ritual-ritual mistis. Baginya, cara mistis tersebut merupakan doa. “Saya ini tidak melakukan perbuatan kotor. Saya Cuma berdoa seperti ini,” kata Sang Lurah sebelum bersemedi, sesuai perintah sang dukun yang ia temui. Semedi dilakukan setelah Sang Dukun memberi ritual kepada Sang Lurah, di mana Sang Lurah mendapati transfer energi dari sang dukun.
Sehari setelah Idul Adha, pemilihan lurah dilangsungkan. Sebelumnya, di kala perayaan Idul Adha, Sang Lurah memberikan cermah dan ungkapan-ungkapan syukur kepada masyarakat yang memilihnya. Atas ritual dan berbagai interaksi Sang Lurah kepada masyarakat, akhirnya ia terpilih kembali menjadi lurah.
Masalah muncul ketika Sang Lurah mengunjungi kekasih gelapnya. Sejatinya, Sang Lurah telah memiliki istri dan seorang anak. Namun, istri dan seorang anak tersebut hanyalah “keterpaksaan sosial” belaka. Anak tersebut bukanlah anak kandungnya, melainkan anak dari orang lain. Di balik istri dan anak itulah Sang Lurah menyimpan kekasih gelap sejenis. Sang Lurah mencintai sesama jenis.
Kekasihnya, yang tak lain adalah anak dari sang dukun yang memberi ritual mistis tadi, merasa cemburu atas sikap Sang Lurah kepada bapak kekasihnya tersebut. Keduanya berselisih pandangan. Masalah menjadi ruwet ketika Sang Lurah mendapati istrinya berselingkuh dengan lelaki lain. “Kamu tidak tahu apa, saya ini maju jadi lurah lagi untuk mengumpulkan biaya kita hidup di Belanda. Dengan begitu, kita bisa hidup bersama di Belanda,” ujar Sang Lurah kepada kekasih gelapnya.
Sang Lurah kepalang emosional. Sangkar-sangkar burung dihancurkannya. Kursi-kursi ia campakkan. Terlebih kepada burung-burung yang ada di sangkar, Sang Lurah sangat membenci burung yang selama ini ia pelihara dengan baik. “Kamu burung tidak berguna. Kurang apa aku memelihara kamu, menjual telur-telurmu untuk kubelikan makanan. Dasar asuh!” teriak Sang Lurah kepada burung di sangkar, dengan bahasa Jawa.


*Monolog ini dipentaskan di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri UGM, Kamis 8 Mei 2014. Pukul 19.00 WIB.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes