ARTIKEL PINTASAN

Sunday, April 6, 2014

Fanatisme Politik




ilustrasi (foto: blogspot)

Fanatisme Politik - Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo baru saja dideklarasikan sebagai calon presiden, Jumat dua pekan lalu. Ekspresi berbagai kelompok muncul. Mulai dari kelompok pendukung Jokowi hingga “anti-Jokowi”. Mulai dari partisan separtai hingga partai lawan. Begitulah fanatisme politik mulai dikumandangkan.
Fanatisme merupakan bentuk ekspresi berlebih-lebihan. Dukungan itu menutup kemungkinan-kemungkinan lainnya. Secara psikologis, fanatisme merupakan kecenderungan agresi. Akibatnya, proses keberpikirannya akan tertutup pada hal di luarnya. Apa yang dikagumi dipandang positif. Sebaliknya, di luar apa yang dikagumi, pada objek atau hal yang setara, menjadi buruk. Fanatisme identik mendekati kedangkalan.
Menurut kamus ilmiah populer, M Dahlan Al Barry, terbitan Arkola, Surabaya, “fanatik” adalah ortodoks, kolot, terlampau kuat memegang keyakinan lama sehingga sulit menerima ajaran baru. Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan “fanatisme” sebagai suatu bentuk kepercayaan yang terlalu kuat terhadap ajaran. Bila ditelisik dari pembentukan katanya, “fanatisme” berasal dari bahasa latin, yakni fanaticus. Kata tersebut berarti kegilaan atau mabuk.
Salah satu contoh fanatisme yang sering muncul ialah fanatisme di ranah sepakola. Pendukung (klub) sepakbola, melalui suatu desain, terbentuk dari lahirnya kekaguman. Mereka kagum pada pemain, kagum pada sejarah, kagum pada prestasi klub, hingga kagum pada teknik pembangunan klub.
Suporter sepakbola rela mengeluarkan biaya besar, berdasarkan batas besar dan kecilnya pendapatannya, untuk membeli pernak-pernik klub kebanggaannya. Mereka juga rela menghabiskan waktu untuk menyaksikan berbagai kegiatan dan pertandingan klub. Seakan suporter selalu haus visual. Mereka ingin selalu menyaksikan bagian-bagian atau keunggulan-keunggulan para pemain. Tujuannya tidak lain ialah demi kebanggaan. Setelah menyaksikan hal demikian, mereka akan membawa cerita ke “mereka yang lain”.
Begitu pula fenomena fanatisme politik, yang mungkin akan terus terjadi hingga Pemilu Presiden mendatang, Juli 2014. Para pendukung akan menunjukkan sikap fanatik di ruang-ruang publik. Tak ayal norma, etika, ataupun tata tertib kerap dilanggar demi pengekpresian tersebut.
Subjek fanatisme politik ialah partai itu sendiri atau figur (calon presiden). Para pendukung partai maupun pendukung figur (calon legislatif atau calon presiden) akan mengekspresikan dukungan mereka ke jalan-jalan. Mereka bersorak sorai. Mereka akan memberikan yel-yel, menyanjung, dan melakukan konvoi di jalan. Bendera-bendera partai akan mereka kibarkan. Foto poster sang calon akan mereka usung, membentang di beberapa ruas jalanan. Memang tidak seluruh pendukung yang berkonvoi tergolong sebagai pendukung fanatik, karena selalu ada faktor ekonomi dan faktor lainnya yang mungkin menggerakkan para pendukung.
Para pendukung caleg tertentu, misalnya, dalam masa kampanye ini akan melakukan konvoi dengan tujuan “keagungan” calon. Mereka ingin menyampaikan keunggulan-keunggulan calon. Seakan memberitahu bahwa calon yang mereka banggakan adalah yang terbaik.
Ekspresi seperti ini juga terjadi di ruang-ruang publik dunia maya. Facebook, misalnya, yang menyediakan ruang grup diskusi, berbasis fanatisme. Salah satu grup partai, sebut saja partai jamur, membangga-banggakan pengusungan Jokowi sebagai capres. Bak dewa, tanpa membuka ruang kritik, atau paling tidak objektifikasi pengalaman Jokowi, nama Jokowi dianggap paling mampu menjawab persoalan bangsa kekinian.
Sebaliknya, sebut saja partai mawar, justru mengolok-olok pencapresan Jokowi. Mantan Wali Kota Solo itu dianggap tidak becus mengurus Ibukota Jakarta, tanpa berpikir realistis perihal tanggung jawab seorang gubernur kota metropolitan. Sebagian anggota grup mengkritisi komitmen Jokowi karena tidak mampu menjalankan janji sumpahnya ketika diangkat menjadi gubernur. Namun, di sisi lain, anggota-anggotanya justru mendukung pencapresan figur dari partai mawar. Padahal, figur tersebut pun masih menjabat sebagai pimpinan daerah.
Di sanalah persoalan fanatisme. Tidak membuka ruang kemungkinan lainnya. Tidak membuka pikiran pada objek lainnya. Artinya, enggan mencoba berpikir realistis, enggan objektif, enggan komprehensif, dan enggan komparatif. Potensi agresi muncul menjadi potensi kekerasan. Tak jarang antarkelompok fanatik menimbulkan kekerasan.
Begitulah fanatisme politik saat ini tengah melanda masyarakat kita. Semoga kita waspada agar tidak terjebak pada kedangkalan.

Share this:

2 comments :

  1. Setuju sekali Fredy. Segala bentuk fanatisme akan menutup peluang pikiran kita menerima ide atau pemikiran yang lain. Dengan demikian, fanatisme memang identik dengan kedangkalan pikiran. Fanatisme biasanya tumbuh subur dalam lingkungan atau dengan dukungan kelompok ("gang"). Istilahnya, nge-gang. Karena itu perlu diperkuat invidualisme dimana orang tidak takut-2 menjadi diri sendiri. Jangan suka ikut-2an, hanya karena keinginan untuk diterima -- walaupun ini tidak mudah dilakukan, karena manusia pada dasarnya memang selalu ingin diterima oleh sekitarnya.

    ReplyDelete
  2. Iya, setuju tentang contoh "nge-geng" itu, Mas Harlani. Ini banyak menjangkiti remaja-remaja kita saat ini.

    ReplyDelete

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes