ilustrasi (foto: blogspot) |
Fanatisme Politik - Gubernur DKI
Jakarta Joko Widodo baru saja dideklarasikan sebagai calon presiden, Jumat dua pekan
lalu. Ekspresi berbagai kelompok muncul. Mulai dari kelompok pendukung Jokowi
hingga “anti-Jokowi”. Mulai dari partisan separtai hingga partai lawan. Begitulah
fanatisme politik mulai dikumandangkan.
Fanatisme
merupakan bentuk ekspresi berlebih-lebihan. Dukungan itu menutup
kemungkinan-kemungkinan lainnya. Secara psikologis, fanatisme merupakan
kecenderungan agresi. Akibatnya, proses keberpikirannya akan tertutup pada hal
di luarnya. Apa yang dikagumi dipandang positif. Sebaliknya, di luar apa yang
dikagumi, pada objek atau hal yang setara, menjadi buruk. Fanatisme identik mendekati
kedangkalan.
Menurut kamus
ilmiah populer, M Dahlan Al Barry, terbitan Arkola, Surabaya, “fanatik” adalah
ortodoks, kolot, terlampau kuat memegang keyakinan lama sehingga sulit menerima
ajaran baru. Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan
“fanatisme” sebagai suatu bentuk kepercayaan yang terlalu kuat terhadap ajaran.
Bila ditelisik dari pembentukan katanya, “fanatisme” berasal dari bahasa latin,
yakni fanaticus. Kata tersebut berarti kegilaan atau mabuk.
Salah satu
contoh fanatisme yang sering muncul ialah fanatisme di ranah sepakola. Pendukung
(klub) sepakbola, melalui suatu desain, terbentuk dari lahirnya kekaguman.
Mereka kagum pada pemain, kagum pada sejarah, kagum pada prestasi klub, hingga
kagum pada teknik pembangunan klub.
Suporter
sepakbola rela mengeluarkan biaya besar, berdasarkan batas besar dan kecilnya
pendapatannya, untuk membeli pernak-pernik klub kebanggaannya. Mereka juga rela
menghabiskan waktu untuk menyaksikan berbagai kegiatan dan pertandingan klub.
Seakan suporter selalu haus visual. Mereka ingin selalu menyaksikan
bagian-bagian atau keunggulan-keunggulan para pemain. Tujuannya tidak lain
ialah demi kebanggaan. Setelah menyaksikan hal demikian, mereka akan membawa
cerita ke “mereka yang lain”.
Begitu pula
fenomena fanatisme politik, yang mungkin akan terus terjadi hingga Pemilu
Presiden mendatang, Juli 2014. Para pendukung akan menunjukkan sikap fanatik di
ruang-ruang publik. Tak ayal norma, etika, ataupun tata tertib kerap dilanggar
demi pengekpresian tersebut.
Subjek fanatisme
politik ialah partai itu sendiri atau figur (calon presiden). Para pendukung
partai maupun pendukung figur (calon legislatif atau calon presiden) akan
mengekspresikan dukungan mereka ke jalan-jalan. Mereka bersorak sorai. Mereka
akan memberikan yel-yel, menyanjung, dan melakukan konvoi di jalan.
Bendera-bendera partai akan mereka kibarkan. Foto poster sang calon akan mereka
usung, membentang di beberapa ruas jalanan. Memang tidak seluruh pendukung yang
berkonvoi tergolong sebagai pendukung fanatik, karena selalu ada faktor ekonomi
dan faktor lainnya yang mungkin menggerakkan para pendukung.
Para pendukung
caleg tertentu, misalnya, dalam masa kampanye ini akan melakukan konvoi dengan
tujuan “keagungan” calon. Mereka ingin menyampaikan keunggulan-keunggulan
calon. Seakan memberitahu bahwa calon yang mereka banggakan adalah yang
terbaik.
Ekspresi seperti
ini juga terjadi di ruang-ruang publik dunia maya. Facebook, misalnya, yang
menyediakan ruang grup diskusi, berbasis fanatisme. Salah satu grup partai,
sebut saja partai jamur, membangga-banggakan pengusungan Jokowi sebagai capres.
Bak dewa, tanpa membuka ruang kritik, atau paling tidak objektifikasi
pengalaman Jokowi, nama Jokowi dianggap paling mampu menjawab persoalan bangsa
kekinian.
Sebaliknya,
sebut saja partai mawar, justru mengolok-olok pencapresan Jokowi. Mantan Wali
Kota Solo itu dianggap tidak becus mengurus Ibukota Jakarta, tanpa berpikir
realistis perihal tanggung jawab seorang gubernur kota metropolitan. Sebagian
anggota grup mengkritisi komitmen Jokowi karena tidak mampu menjalankan janji
sumpahnya ketika diangkat menjadi gubernur. Namun, di sisi lain,
anggota-anggotanya justru mendukung pencapresan figur dari partai mawar.
Padahal, figur tersebut pun masih menjabat sebagai pimpinan daerah.
Di sanalah
persoalan fanatisme. Tidak membuka ruang kemungkinan lainnya. Tidak membuka
pikiran pada objek lainnya. Artinya, enggan mencoba berpikir realistis, enggan
objektif, enggan komprehensif, dan enggan komparatif. Potensi agresi muncul
menjadi potensi kekerasan. Tak jarang antarkelompok fanatik menimbulkan
kekerasan.
Begitulah
fanatisme politik saat ini tengah melanda masyarakat kita. Semoga kita waspada
agar tidak terjebak pada kedangkalan.
Setuju sekali Fredy. Segala bentuk fanatisme akan menutup peluang pikiran kita menerima ide atau pemikiran yang lain. Dengan demikian, fanatisme memang identik dengan kedangkalan pikiran. Fanatisme biasanya tumbuh subur dalam lingkungan atau dengan dukungan kelompok ("gang"). Istilahnya, nge-gang. Karena itu perlu diperkuat invidualisme dimana orang tidak takut-2 menjadi diri sendiri. Jangan suka ikut-2an, hanya karena keinginan untuk diterima -- walaupun ini tidak mudah dilakukan, karena manusia pada dasarnya memang selalu ingin diterima oleh sekitarnya.
ReplyDeleteIya, setuju tentang contoh "nge-geng" itu, Mas Harlani. Ini banyak menjangkiti remaja-remaja kita saat ini.
ReplyDelete