ilustrasi (foto: blogspot) |
Sekali Pengusaha Tetaplah Pengusaha - Sekali pengusaha
tetaplah pengusaha. Seorang pengusaha selalu berpikir apa yang tampak dapat
menjadi nilai tambah. Barang biasa menjadi komoditas. Komoditas menjadi
komoditas baru. Barang bekas pun harus bisa menjadi komoditas baru.
Di kereta, dari
Yogyakarta ke Bandung, saya duduk berdampingan dengan seorang pengusaha. Dia
memiliki 200 kamar kos-kosan di Cikuda, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.
Berawal dari pembicaraan soal kampus, si pengusaha itu mengarahkan pembicaraan
ke masalah “ke-Indonesiaan”.
“Kampus-kampus
kita pada ke mana coba? Intelektualnya tidak berorientasi ekonomi,” celoteh
dia, melipat tangan ke lengannya.
Secara spesifik,
lelaki yang mengaku kelahiran Sumatera Barat itu mempersoalkan bioteknologi.
Menurutnya, bioteknologi di Indonesia sama sekali tidak bergema. Tidak
menguntungkan negara. Tidak membuat daya saing dengan negara-negara lain. “Coba
tengok Thailand, banyak buah-buahan Thailand yang laku di mancanegara. Karena
apa? Itu karena bioteknologi mereka maju,” kata dia berwajah serius.
“Kita ini banyak
spesies tumbuhan, tanaman, buah-buahan. Kenapa gak ada buah-buahan yang unggul,
misalnya? Kan bisa itu jenis-jenisnya dibuat yang unggul,” ucap dia berwajah
semangat empat lima.
“Seandainya kita
punya durian yang unggul dari sekian puluhan jenis durian, misalnya, kita bisa
ekspor durian. Bisa mengalahkan Thailand kan?” ucap pengusaha yang mengaku
tinggal di Cibiru, Bandung, itu.
Saya perhatikan
pengusaha itu. Tidak menggunakan pakaian mewah, kecuali kaos biasa. Tidak
membawa apa pun kecuali tas kecil berukuran 30 x 30 cm. Tidak membeli makanan
dari dalam kereta, hanya membawa sebotol air mineral. Di kakinya pun hanya
mengenakan sandal jepit biasa, tampak terbuat dari kulit.
Setelah
berdiskusi panjang lebar, saya bertanya tentang tarif kamar kos-kosan yang ia
miliki. “Berapa sewa kamar setahun di kosan bapak?” aku bertanya sembari
tersenyum kecil.
“Beragam.
Tergantung isinya juga. Paling murah Rp4,5 juta. Rata-ratanya Rp5 jutaan,”
pengusaha itu menjawab. “Mahal ya, Pak,” kataku. “Mau gak mau kan. Yang lain
juga tiap tahun naik Rp500 ribu, jadi kita pun ikut naikkan,” kata dia
bertampang serius.
“Syukurlah. Saya
bisa menguliahkan anak sampai ke Amerika,” kata dia. Begitu ekonomisnya cara
berpikir pengusaha, dari hal-hal kecil sehari-hari sampai pendidikan anak pun
diusahakan bagaimana supaya bernilai lebih. Sekali pengusaha tetaplah pengusaha.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.