ARTIKEL PINTASAN

Saturday, April 19, 2014

Sekali Pengusaha Tetaplah Pengusaha




ilustrasi (foto: blogspot)
Sekali Pengusaha Tetaplah Pengusaha - Sekali pengusaha tetaplah pengusaha. Seorang pengusaha selalu berpikir apa yang tampak dapat menjadi nilai tambah. Barang biasa menjadi komoditas. Komoditas menjadi komoditas baru. Barang bekas pun harus bisa menjadi komoditas baru.
Di kereta, dari Yogyakarta ke Bandung, saya duduk berdampingan dengan seorang pengusaha. Dia memiliki 200 kamar kos-kosan di Cikuda, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Berawal dari pembicaraan soal kampus, si pengusaha itu mengarahkan pembicaraan ke masalah “ke-Indonesiaan”.
“Kampus-kampus kita pada ke mana coba? Intelektualnya tidak berorientasi ekonomi,” celoteh dia, melipat tangan ke lengannya.
Secara spesifik, lelaki yang mengaku kelahiran Sumatera Barat itu mempersoalkan bioteknologi. Menurutnya, bioteknologi di Indonesia sama sekali tidak bergema. Tidak menguntungkan negara. Tidak membuat daya saing dengan negara-negara lain. “Coba tengok Thailand, banyak buah-buahan Thailand yang laku di mancanegara. Karena apa? Itu karena bioteknologi mereka maju,” kata dia berwajah serius.
“Kita ini banyak spesies tumbuhan, tanaman, buah-buahan. Kenapa gak ada buah-buahan yang unggul, misalnya? Kan bisa itu jenis-jenisnya dibuat yang unggul,” ucap dia berwajah semangat empat lima.
“Seandainya kita punya durian yang unggul dari sekian puluhan jenis durian, misalnya, kita bisa ekspor durian. Bisa mengalahkan Thailand kan?” ucap pengusaha yang mengaku tinggal di Cibiru, Bandung, itu.
Saya perhatikan pengusaha itu. Tidak menggunakan pakaian mewah, kecuali kaos biasa. Tidak membawa apa pun kecuali tas kecil berukuran 30 x 30 cm. Tidak membeli makanan dari dalam kereta, hanya membawa sebotol air mineral. Di kakinya pun hanya mengenakan sandal jepit biasa, tampak terbuat dari kulit.
Setelah berdiskusi panjang lebar, saya bertanya tentang tarif kamar kos-kosan yang ia miliki. “Berapa sewa kamar setahun di kosan bapak?” aku bertanya sembari tersenyum kecil.
“Beragam. Tergantung isinya juga. Paling murah Rp4,5 juta. Rata-ratanya Rp5 jutaan,” pengusaha itu menjawab. “Mahal ya, Pak,” kataku. “Mau gak mau kan. Yang lain juga tiap tahun naik Rp500 ribu, jadi kita pun ikut naikkan,” kata dia bertampang serius.

“Syukurlah. Saya bisa menguliahkan anak sampai ke Amerika,” kata dia. Begitu ekonomisnya cara berpikir pengusaha, dari hal-hal kecil sehari-hari sampai pendidikan anak pun diusahakan bagaimana supaya bernilai lebih. Sekali pengusaha tetaplah pengusaha.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes