Seringkali kita menemui orang bercakap-cakap sendiri di bus-bus, di jalanan, di mall-mall, dan di ruang-ruang umum lainnya. Orang tersebut sepintas memang tampak bercakap-cakap sendiri, mungkin (maaf) seperti orang gila. Kita anggap seperti itu aneh. Ya, pada awalnya saya anggap itu aneh. Ternyata, bagi kita yang dapat pahami bahwa orang itu sedang berkomunikasi dengan rekan, sahabat, maupun saudaranya di tempat yang jauh. Tapi, setelah saya pahami lagi, ada juga orang-orang yang menikmati komunikasi dengan pacar atau kekasihnya di ruang-ruang umum tanpa sungkan pembicaraannya diketahui orang lain, mungkin saja ada kebanggaan tersendiri bagi orang-orang seperti itu. Misalnya saja, seperti orang yang pernah saya temui di dalam bus yang berbicara dengan kekasihnya sepanjang perjalanan bus itu. Tak bisa saya hindari, orang-orang yang berada di dekatnya seperti saya, percakapan orang itu masuk ke telinga saya. Lalu apakah orang seperti itu tidak memahami konteks?
Begitulah fenomena sosial yang terus digempur oleh komoditas teknologi. Handphone adalah faktornya, yang dianggap sosial saat ini bukan lagi sebagai barang mewah sebab telah tergantikan dengan posisi laptop dan Android yang memungkinkan dapat mengganti peran handphone.
Di sini saya tidak ingin mempermasalahkan bagaimana penjualan handphone di Indonesia, yang jelas-jelas sudah jadi pasar empuk bagi berbagai produsen, apalagi berkenaan statistik yang seringkali merupakan bagian dari perilaku produsen atau sekadar manipulatif. Saya hanya ingin menyoroti tingkah laku yang dibentuk atas keberadaan handphone.
Awal mula handphone, terlepas dari perdebatan apakah Martin Cooper –Martin, awalnya dianggap aneh saat memakai handphone temuannya ke tempat-tempat umum dengan tujuan memperkenalkan dan uji coba- atau Lars Magnus Ericsson atau Amos Edward Joel sebagai “bapak handphone Internasional”, tujuannya untuk berkomunikasi pada saat-saat mendesak. Cikal bakalnya lahir pada saat perang dunia. Orang-orang berpikir pada saat itu bagaimana supaya dapat berkomunikasi di saat-saat mendesak dan situasi perang. Artinya, ada keperluan yang sangat mendesak dan segera disampaikan.
Awal mula hanyalah awal mula. Handphone bukan suatu ilmu yang sangat perlu dikait-kaitkan dengan nilai sejarahnya, melainkan sebuah produk nyata (barang) dalam roda ekonomi kapitalisme saat ini.
Secara tidak sadar banyak keberadaan komoditas saat ini membentuk karakter dan kepribadian seseorang, termasuk handphone. ‘Ilusi’ yang ditawarkan handphone adalah kenikmatan serta kecanggihannya. Pengguna merasa nikmat dengan adanya menu-menu yang membuat pengguna merasa nyaman. Menu-menu itu diantaranya: game, fitur online seperti fesbuk, sms, bicara, radio, mp3 player, video player, kalkulator, dll. Menu-menu yang tanpa kita sadari pula merusak karakter sosial seseorang.
Ya, menu-menu itu bisa merusak karakter sosial seseorang, meski tidak semua menu. Kenikmatan adalah sarana perusak karakter itu. Melalui kenikmatan-kenikmatan saat pengguna memakai fitur-fitur dalam menu handphone, pengguna tidak peduli lagi dengan sekitarnya. Secara tak sadar pula, pengguna seperti itu menganggap tidak ada hal penting di sekitarnya, kecuali dirinya sendiri. Pengguna itu butuh game karena merasa jenuh, pengguna itu butuh berbicara dengan kekasihnya di saat naik bus karena jenuh, pengguna itu butuh mendengar radio atau musik karena jenuh, dan sebagainya. Pada umumnya kejenuhannya seperti itu merupakan wujud ketidakmampuannya untuk menjalin komunikasi dengan lingkungan atau orang di sekitarnya. Kebiasaan-kebiasaan seperti ini jelas akan membangun, secara perlahan tapi pasti, karakter seseorang menjadi tidak fasih melakukan komukasi (beradaptasi) terhadap lingkungannya maupun orang di sekitarnya.
Indikator dampak pengguna handphone seperti itu bisa kita lihat dari maraknya bisnis motivasi di berbagai tempat, apalagi di televisi. Ketidakmampuan beradaptasi, kurang fasih menjalin hubungan, dan kurang masih berkomunikasi terhadap sesama di lingkungan sekitar. Ketiga hal itu dampak yang acapkali tidak disadari dari penggunaan handphone, kemudian mengakibatkan tingginya potensi stress maupun tidak mampu menyelesaikan solusi. Karena itu tadi, tidak ada relasi atau teman yang mungkin bisa diajak berbagi.
Kenikmatan ilusi. Saya katakan ilusi karena kenikmatannya tidak dipahami dan tidak disadari, bahwa di balik kenikmatan itu bila terus-menerus terlena dalam kenikmatan akan menimbulkan dampak buruk bagi diri sendiri. Mau tidak mau, dalam situasi maraknya penjualan handphone kita harus pahami terlebih dahulu apakah kita banar-benar butuh terhadap layanan yang ditawarkan ‘si handphone’ atau tidak butuh. Kalau tidak kita pahami, sekali kita terlena sulitlah kita keluar dari keterlenaan sehingga kita menjadi ‘model handphone’ yang berhandphone-ria di tengah-tengah umum, atau menjadi penggila handphone yang gonta-ganti handphone demi mengikuti trend semata (lifestyle) hingga kita harus bekerja keras cuma demi mengganti handphone.
Saya pikir, dengan memahami tawaran dan kebutuhan diri, anggapan “manusia aneh” dari lingkungan pun mungkin tidak terjadi. Kita pun pasti akan memahami konteks dalam penggunaannya. (Fredy Wansyah).
(tulisan ini untuk kolom majalah elektronik Narodnik)
P8KCK9F6DTNU
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.