ARTIKEL PINTASAN

Friday, May 3, 2013

Sekelumit Refleksi Kematian



Kulitnya tua. Jalannya perlahan. Rambutnya putih, meski terselip beberapa rambut yang menandakan bekas masa mudanya. Beberapa waktu yang lalu dia mengaku, “Usia saya masih lima puluh tahunan.” Beberapa waktu lalu itu pula dirinya pernah menceritakan bahwa dirinya kini tinggal jauh dari anak-anaknya dan jauh dari tiga bekas suaminya. Kini tinggal menumpang seperti para penghuni rumah lainnya.
Perempuan yang selalu mengomel itu duduk di meja ruang tunggu tamu. Satu-satu apa yang dilihatnya jadi pembicaraan omelan. Tidak seperti biasa, omelannya selalu menyinggung kebersihan dan tata ruang di dalam rumah yang dihuni oleh para pemukim sementara alias penumpang yang ngekos. Kali ini omelan menyinggung kematian.
“Uje meninggal. Uh, rame banget,” tuturnya. Dia menguraikan kematian Ustad populis Jefri Albukhori. Referensinya televisi. Dirinya menceritakan apa yang dilihatnya dari televisi. Seakan menjadi televisi di atas televisi.
Wajahnya serius. Keriput kulitnya menyiratkan, kematian merupakan hal yang serius. Tidak main-main.

//

“Ini kopinya,” kata seorang laki-laki. Perawakannya menandakan telah memiliki cucu. Rambutnya telah dipenuhi uban, meski belum semua.
Dia duduk seiring mendudukkan kopi di atas meja. Diiringi hujan, dirinya memulai pembicaraan hangat seputar politik yang terjadi belakangan. Pun menyinggung seputar ekonomi. Bicaranya tegas. Dirinya menyimpulkan bahwa politik itu ada di banyak sektor kehidupan. “Seperti saya ini, para pedagang juga ada politiknya. Misalnya aja, orang yang ngomong mie instan itu ada minyak babinya bisa saja karena politik dagang. Ingin menjatuhkan penjualan dagang mie instan,” ucapnya.
Dirinya juga menceritakan bagaimana seorang politisi berpotensi besar memiliki pasangan lebih dari satu. “Harta, tahta, dan wanita itu pasti ada. Percayalah,” tegasnya. Dengan lantang dirinya menyatakan, para politisi itu sering berpidato dan berceramah di hadapan banyak orang sehingga potensi untuk melirik-lirik lawan jenisnya sangat besar. Dirinya menjelaskan, bila seorang laki-laki itu tidak bermain pada tahta, pasti dia bermain pada wanita. Bila seorang laki-laki itu tidak bermain pada harta, pasti dia bermain pada tahta. Atau juga sebaliknya, dan bisa ketiga-tiganya sekaligus, ucapnya menjelaskan. “Sama juga kayak ustad. Kalau ustad berusia empat puluh ke atas, pasti jebakan perempuan itu ada. Dosa karena tergoda perempuan itu ada,” jelasnya.
“Uje itu meninggal tanpa dosa. Dia mati tanpa dosa gitu, dosa karena tergoda perempuan itu tadi. Dia mati di masa keemasan yang tepat, karena belum empat puluh ke atas,” tuturnya. Hujan semakin deras. Suaranya bercerita seakan tidak ingin kalah dari suara hujan. Bicara kematian, khususnya kematian Uje.
Dirinya mengisahkan ulang perihal kematian Uje. Kematian akibat kecelakaan. Nyawa yang hilang tanpa diduga. Sebelumnya, dirinya mengisahkan, Uje tampak sehat.

//

Kematian selalu memberi banyak cerita. Kematian juga selalu mengarahkan kecemasan, hingga kecemasan itu berlabuh pada konsepsi “Yang Kuasa”. Berbicara kematian akan menggiring pada hal-hal di luar akal.
Di dalam kaca mata filsafat, kematian membawa kita pada perdebatan-perdebatan klasik, antara jiwa dan tubuh, antara yang ril dan bukan ril, antara materi dan imateri, juga antara Plato dan Aristoteles. Pembicaraan topik kematian akan menggiring imaji kita pada pemikir-pemikir terdahulu, seperti Stoa dan Epicurus. Mereka menarasikan apa itu kehidupan dan kematian. Tidak hanya itu, tentu kita yang terkontaminasi oleh pemikir-pemikir modern juga akan tergiring alam pikiran kita kepada sosok filsuf eksistensialisme, Sartre.
Filsuf Descartes memberi pernyataan terkait bagaimana sesungguhnya kematian di dalam konteks seseorang yang berakal, Cogito Ergo Sum, aku berpikir maka aku ada. Banyak aliran dan cara berpikir yang berbeda memang di dalam ilmu filsafat, bagaimana kehidupan ini bermula dan bagaimana pula kehidupan ini akan berakhir, termasuk seseorang.
Tetapi begitulah kematian. Tidak akan tuntas bila dibicarakan melalui sudut pandang filsafat. Secara medik, kematian adalah perhentian aliran darah ke otak akibat tidak berfungsinya alat pemompa darah, jantung. Selesai sampai di situ.
Begitulah seputar refleksi dan catatan pendek perihal kematian yang mampu membuat kecemasan. 

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes