ARTIKEL PINTASAN

Monday, April 22, 2013

Dari Cita-cita ke Bisnis Surat Kabar


Judul Buku: Kompas Menulis dari Dalam
Penulis Buku: Frans M Parera, dkk
Penerbit: PT Kompas Media Nusantara
Cetakan: November 2007
Tebal: 320 halaman
ISBN-13: 978-979-709-330-3



Khoe Woen Sioe hingga Jacob Oetama
Dalam dunia sejarah pers, siapa yang tak kenal Khoe Woen Sioe? Khoe Woen Sioe merupakan salah satu tokoh yang memiliki andil dalam perjalanan sejarah pers di Indonesia. Meski Khoe Woen Sioe beretnis tionghoa, ia sangat berperan di dalam perkembangan sosial di Indonesia, khususnya perkembangan pers di Indonesia.
Khoe Woen Sioe melekat pada nama koran Sin Po dan Keng Po (Star Weekly). Khoe Woen Sioe memimpin surat kabar Star Weekly. Di era pergerakan sosial tahun 40-an, nama Khoe Woen Sioe cukup dikenal karena kedekatannya dengan para tokoh politik pada masa itu. Salah satunya ialah Sutan Sjahrir. Akibat kedekatan itu, Khoe dianggap sebagai simpatisan PSI (Partai Sosialis Indonesia).

Sebagai pimpinan surat kabar, Khoe Woen Sioe tentu memiliki kedekatan dengan politisi-politisi lainnya. Dianggap cukup berpengaruh di kalangan pers kala itu. Karena itulah, Peng Koen Auwjong (PK Ojong) mendekati Khoe Woen Sioe, selain beberapa aspek lainnya. PK Ojong dan Khoe Woen Sioe bukan sekadar menjalin relasi seprofesi, melainkan antara “guru” profesi dan “murid” profesi. Kala itu kedua-duanya bekerja di Star Weekly, PK Ojong sebagai wartawan dan Khoe sebagai pemimpin redaksi.
Kedekatan kedua wartawan itu dinyatakan Mamak Sutamat dalam tulisan yang berjudul “Dua Sosok Satu Jiwa”. PK Ojong amat dekat atau akrab dengan pemimpin redaksi Star Weekly, Khoe Woen Sioe, seorang wartawan yang pandai, berani, dan pada masa mudanya pernah diborgol polisi kolonial dan dihukum karena delik pers. PK Ojong pernah bercita-cita menulis biografi Khoe, tetapi sampai meninggalnya 31 Mei 1980, keinginan itu belum tercapai.
Mamak Sutamat menulis kronik awal kehidupan koran Kompas itu di dalam buku Kompas, Menulis dari Dalam. Selain menyinggung kedekatan kedua tokoh pers di Indonesia tersebut, Mamak menjelaskan legalisasi awal pendirian koran Kompas. Realisasi penerbitan Kompas diawali di Jakarta. Modal dasarnya, sesuai akta, Rp100.000 Partai Katolik pimpinan Frans Seda yang sudah mendirikan Yayasan Bentara Rakyat tanggal 16 Januari 1965 di Notaris FJ Mawati, dengan menyediakan modal Rp5.000.000. Pengurusnya Ignatius Josef Kasimo (Ketua), Drs Frans Seda (Wakil Ketua), FC Palaunsuka (Penulis I), Drs Jacob Oetama (Penulis II), dan Mr Auwjong Peng Koen (PK Ojong) sebagai bendahara.
Sebelum resminya yayasan yang menjadi tempat badan legalitas koran Kompas, PK Ojong bersama Jacob Oetama telah menerbitkan majalah intisari. Setelah PK Ojong dan Jacob Oetama tidak lagi bekerja di Star Weekly, kedua sempat berpisah beberapa lama, hingga akhirnya bertemu kembali di Yogyakarta kala menonton sandratari ramayana di Candi Prambanan. Pertemuan tersebut membawa keduanya pada sikap untuk menerbitkan majalah Intisari pada Agustus 1963. Kedua sosok wartawan ini sepakat mengadopsi gaya majalah waralaba internasional Readers Digest ke dalam majalah Intisari sebagai gaya ungkap tulisan, yakni human story. Keduanya memutuskan penerbitan majalah Intisari atas dasar kesamaan visi, yakni mengemban penyebaran paham humanisme (ala sosial demokrat).
PK Ojong, seperti apa yang dilakukan “guru” dalam profesinya, Khoe, juga melakukan kedekatan dengan politisi-politisi yang terbilang cukup berpengaruh pada masanya. Bahkan, PK Ojong menceburkan diri (aktif) ke dalam partai politik, yakni Partai Katolik. Seperti dinyatakan salah satu penulis dari 13 penulis buku ini, Frans M Parera, PK Ojong sendiri bergabung dengan Partai Katolik. Namun, berdasarkan pengalaman bekerja di perusahaan media sebelumnya, yang akhirnya bangkrut, dia mengambil sikap sosial politiknya, yakni berpihak pada perjuangan sosialisme demokrat golongan profesional dan secara perlahan-lahan meninggalkan pengaruh politik dari Partai Katolik.

Kepribadian Pekerja
PK Ojong dikenal sebagai tokoh yang jarang mengenal kompromi. Artinya, dirinya cukup tegas dalam mengambil keputusan. Sosok berkacamata tebal ini lihai dalam mengemban tanggung jawab dan mengemban persoalan uang.
PK Ojong, sebagai sosok yang lebih senior dibandingkan Jacob Oetama, sering mengambil keputusan yang lurus, tidak neko-neko. Termasuk dalam mengambil keputusan kualifikasi utama perekrutan. Baginya perekrutan orang-orang untuk koran Kompas merupakan langkah yang harus dilakukan hati-hati. Kedua sepakat pada prinsip perekrutan yang mengutamakan karakter ketimbang lain-lain (misal, kecerdasan). Perusahaan yang kemudian sukses dan bertahan, bila dikaji dengan teliti sumbernya berasal dari para pemimpin yang adalah golongan a person of value atau a man of good character (Frans M Parera).
Keduanya membagi tugas. Profesionalitas dan kerja keras terus berjalan kala awal berdirinya koran Kompas sebagai perusahaan. PK Ojong memegang kendali pucuk perusahaan, sementara Jacob Oetama pada keredaksian. Seperti apa yang dinyatakan Jacob Oetama, sebagai seorang yunior, saya belajar juga pada saudara Ojong, bukan dalam visi pandangan kemasyarakatan dan pola jurnalisme, tetapi lebih pada teknik. Dalam perkembangan selanjutnya, Saudara Ojong lebih mengurusi segi bisnis Kompas, saya sejak semula mengurus redaksionalnya.
Bentuk perusahaannya bukan berdasarkan pada bentuk perusahaan yang terjadi di Indonesia di kala masa-masa transisi bisnis dan politik masa itu. Ketika perusahaan-perusahaan di Indonesia kala itu lebih berpatok pada bentuk perusahaan keluarga, PK Ojong dan Jacob Oetama berani menentukan bentuk perusahaan yang lebih profesional (nonkeluarga). Tidak ada garis tajam yang memisahkan kepentingan perorangan dengan kepentingan perusahaan. Ini adalah awal dari korupsi, karena korupsi memperkaya diri sendiri dengan harga perusahaan tanpa hak. Oleh karena itu para pendiri perusahaan sejak semula menolak ide perusahaan keluarga (oleh PK Ojong, yang ditulis ulang oleh Frans M Parera).

Dari cita-cita masyarakat melalui bentuk bisnis usaha surat kabar/penerbitan (KKG), PK Ojong dan Jacob Oetama mampu mendirikan koran Kompas dan perusahaan yang menaunginya, KKG, hingga saat ini. Buku ini hanya melengkapi “kampanye putih” koran Kompas sebagai koran penunjuk arah (nama Kompas direkomendasi oleh Soekarno melalui Frans Seda, yang menginginkan koran ini sebagai penunjuk arah rakyat Indonesia di masa itu).
Dengan gaya “kampanye putih” itu, pembaca tidak akan menemui kritik tajam maupun ulasan-ulasan kritis atas nilai-nilai yang terkandung di dalam perjalanan koran Kompas sejak awal hingga saat ini. Meski begitu, tidak bisa ditampik bahwa koran Kompas masih menjadi surat kabar yang memiliki integritas di bawah dominasi perusahaan dan arus politik asing di Indonesia. Setidaknya, di dalam arus dinamika naik-turunnya corak serta penurunan jatah dana iklan media cetak akibat perebutan dengan jatah iklan media online saat ini, koran Kompas masih menjadi incaran utama para wartawan yang ingin mengenyam banyak asam garam kehidupan wartawan yang sesungguhnya dan wartawan yang ingin mengenyam banyak terhadap kepedulian budaya. Meski semua itu kita tidak temui siapa peran pemodal utama awal pendirian koran Kompas dan apa kepentingan jangka panjangnya di dalam buku berhalaman 320 ini.


Fredy Wansyah

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes