Judul Buku: Kompas
Menulis dari Dalam
Penulis Buku: Frans M
Parera, dkk
Penerbit: PT Kompas Media Nusantara
Cetakan: November 2007
Tebal: 320 halaman
ISBN-13: 978-979-709-330-3
Khoe Woen Sioe hingga Jacob Oetama
Dalam dunia
sejarah pers, siapa yang tak kenal Khoe Woen Sioe? Khoe Woen Sioe merupakan
salah satu tokoh yang memiliki andil dalam perjalanan sejarah pers di
Indonesia. Meski Khoe Woen Sioe beretnis tionghoa, ia sangat berperan di dalam
perkembangan sosial di Indonesia, khususnya perkembangan pers di Indonesia.
Khoe Woen Sioe
melekat pada nama koran Sin Po dan Keng Po (Star Weekly). Khoe Woen Sioe memimpin surat kabar Star Weekly. Di era pergerakan sosial tahun
40-an, nama Khoe Woen Sioe cukup dikenal karena kedekatannya dengan para tokoh
politik pada masa itu. Salah satunya ialah Sutan Sjahrir. Akibat kedekatan itu,
Khoe dianggap sebagai simpatisan PSI (Partai Sosialis Indonesia).
Sebagai pimpinan
surat kabar, Khoe Woen Sioe tentu memiliki kedekatan dengan politisi-politisi
lainnya. Dianggap cukup berpengaruh di kalangan pers kala itu. Karena itulah, Peng
Koen Auwjong (PK Ojong) mendekati Khoe Woen Sioe, selain beberapa aspek
lainnya. PK Ojong dan Khoe Woen Sioe bukan sekadar menjalin relasi seprofesi,
melainkan antara “guru” profesi dan “murid” profesi. Kala itu kedua-duanya
bekerja di Star Weekly, PK Ojong
sebagai wartawan dan Khoe sebagai pemimpin redaksi.
Kedekatan kedua
wartawan itu dinyatakan Mamak Sutamat dalam tulisan yang berjudul “Dua Sosok
Satu Jiwa”. PK Ojong amat dekat atau
akrab dengan pemimpin redaksi Star Weekly, Khoe Woen Sioe, seorang wartawan yang
pandai, berani, dan pada masa mudanya pernah diborgol polisi kolonial dan
dihukum karena delik pers. PK Ojong pernah bercita-cita menulis biografi Khoe,
tetapi sampai meninggalnya 31 Mei 1980, keinginan itu belum tercapai.
Mamak Sutamat
menulis kronik awal kehidupan koran Kompas
itu di dalam buku Kompas, Menulis dari Dalam. Selain menyinggung kedekatan
kedua tokoh pers di Indonesia tersebut, Mamak menjelaskan legalisasi awal
pendirian koran Kompas. Realisasi penerbitan Kompas diawali di
Jakarta. Modal dasarnya, sesuai akta, Rp100.000 Partai Katolik pimpinan Frans
Seda yang sudah mendirikan Yayasan Bentara Rakyat tanggal 16 Januari 1965 di
Notaris FJ Mawati, dengan menyediakan modal Rp5.000.000. Pengurusnya Ignatius
Josef Kasimo (Ketua), Drs Frans Seda (Wakil Ketua), FC Palaunsuka (Penulis I),
Drs Jacob Oetama (Penulis II), dan Mr Auwjong Peng Koen (PK Ojong) sebagai
bendahara.
Sebelum resminya
yayasan yang menjadi tempat badan legalitas koran Kompas, PK Ojong bersama Jacob Oetama telah menerbitkan majalah
intisari. Setelah PK Ojong dan Jacob Oetama tidak lagi bekerja di Star Weekly, kedua sempat berpisah
beberapa lama, hingga akhirnya bertemu kembali di Yogyakarta kala menonton
sandratari ramayana di Candi Prambanan. Pertemuan tersebut membawa keduanya
pada sikap untuk menerbitkan majalah Intisari
pada Agustus 1963. Kedua sosok wartawan ini sepakat mengadopsi gaya majalah
waralaba internasional Readers Digest ke dalam majalah Intisari sebagai gaya ungkap tulisan, yakni human story. Keduanya memutuskan penerbitan majalah Intisari atas
dasar kesamaan visi, yakni mengemban penyebaran paham humanisme (ala sosial demokrat).
PK Ojong,
seperti apa yang dilakukan “guru” dalam profesinya, Khoe, juga melakukan
kedekatan dengan politisi-politisi yang terbilang cukup berpengaruh pada
masanya. Bahkan, PK Ojong menceburkan diri (aktif) ke dalam partai politik,
yakni Partai Katolik. Seperti dinyatakan salah satu penulis dari 13 penulis
buku ini, Frans M Parera, PK Ojong
sendiri bergabung dengan Partai Katolik. Namun, berdasarkan pengalaman bekerja
di perusahaan media sebelumnya, yang akhirnya bangkrut, dia mengambil sikap
sosial politiknya, yakni berpihak pada perjuangan sosialisme demokrat golongan
profesional dan secara perlahan-lahan meninggalkan pengaruh politik dari Partai
Katolik.
Kepribadian Pekerja
PK Ojong dikenal
sebagai tokoh yang jarang mengenal kompromi. Artinya, dirinya cukup tegas dalam
mengambil keputusan. Sosok berkacamata tebal ini lihai dalam mengemban tanggung
jawab dan mengemban persoalan uang.
PK Ojong,
sebagai sosok yang lebih senior dibandingkan Jacob Oetama, sering mengambil
keputusan yang lurus, tidak neko-neko. Termasuk dalam mengambil keputusan
kualifikasi utama perekrutan. Baginya perekrutan orang-orang untuk koran Kompas merupakan langkah yang harus
dilakukan hati-hati. Kedua sepakat pada prinsip perekrutan yang mengutamakan
karakter ketimbang lain-lain (misal, kecerdasan). Perusahaan yang kemudian sukses dan bertahan, bila dikaji dengan teliti
sumbernya berasal dari para pemimpin yang adalah golongan a person of value
atau a man of good character (Frans M Parera).
Keduanya membagi
tugas. Profesionalitas dan kerja keras terus berjalan kala awal berdirinya
koran Kompas sebagai perusahaan. PK
Ojong memegang kendali pucuk perusahaan, sementara Jacob Oetama pada
keredaksian. Seperti apa yang dinyatakan Jacob Oetama, sebagai seorang yunior, saya belajar juga pada saudara Ojong, bukan
dalam visi pandangan kemasyarakatan dan pola jurnalisme, tetapi lebih pada teknik.
Dalam perkembangan selanjutnya, Saudara Ojong lebih mengurusi segi bisnis
Kompas, saya sejak semula mengurus redaksionalnya.
Bentuk perusahaannya
bukan berdasarkan pada bentuk perusahaan yang terjadi di Indonesia di kala
masa-masa transisi bisnis dan politik masa itu. Ketika perusahaan-perusahaan di
Indonesia kala itu lebih berpatok pada bentuk perusahaan keluarga, PK Ojong dan
Jacob Oetama berani menentukan bentuk perusahaan yang lebih profesional
(nonkeluarga). Tidak ada garis tajam yang
memisahkan kepentingan perorangan dengan kepentingan perusahaan. Ini adalah
awal dari korupsi, karena korupsi memperkaya diri sendiri dengan harga
perusahaan tanpa hak. Oleh karena itu para pendiri perusahaan sejak semula
menolak ide perusahaan keluarga (oleh PK Ojong, yang ditulis ulang oleh
Frans M Parera).
Dari cita-cita
masyarakat melalui bentuk bisnis usaha surat kabar/penerbitan (KKG), PK Ojong
dan Jacob Oetama mampu mendirikan koran Kompas
dan perusahaan yang menaunginya, KKG, hingga saat ini. Buku ini hanya
melengkapi “kampanye putih” koran Kompas
sebagai koran penunjuk arah (nama Kompas direkomendasi oleh Soekarno melalui
Frans Seda, yang menginginkan koran ini sebagai penunjuk arah rakyat Indonesia
di masa itu).
Dengan gaya “kampanye
putih” itu, pembaca tidak akan menemui kritik tajam maupun ulasan-ulasan kritis
atas nilai-nilai yang terkandung di dalam perjalanan koran Kompas sejak awal hingga saat ini. Meski begitu, tidak bisa
ditampik bahwa koran Kompas masih
menjadi surat kabar yang memiliki integritas di bawah dominasi perusahaan dan
arus politik asing di Indonesia. Setidaknya, di dalam arus dinamika
naik-turunnya corak serta penurunan jatah dana iklan media cetak akibat
perebutan dengan jatah iklan media online saat ini, koran Kompas masih menjadi incaran utama para wartawan yang ingin
mengenyam banyak asam garam kehidupan wartawan yang sesungguhnya dan wartawan
yang ingin mengenyam banyak terhadap kepedulian budaya. Meski semua itu kita
tidak temui siapa peran pemodal utama awal pendirian koran Kompas dan apa kepentingan jangka panjangnya di dalam buku
berhalaman 320 ini.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.