Judul
Buku: Perempuan Berbicara Kretek
Penulis Buku: Abmi Handayani, dkk
Penerbit: Indonesia Berdikari
Cetakan: Januari 2012
Tebal: 320 halaman
ISBN-13: 978-620-99292-1-8
Banyak stigma bagi
perokok. Perokok dianggap kurang menjaga kebersihan. Perokok dianggap tidak
peduli sekitar. Perokok dianggap tidak peduli kesehatan.
Stigma juga terkait
dengan jender. Stigma terhadap perempuan perokok jauh lebih buruk ketimbang
stigma terhadap laki-laki perokok. Stigma-stigma yang disebutkan di atas
hanyalah stigma yang pada umumnya terarah pada laki-laki perokok. Perempuan
perokok berbeda lagi. Perempuan perokok dianggap jalang, kerap mabuk-mabukan,
amoral, dan sebagainya.
Buku Perempuan Berbicara Kretek ini
memaparkan stigma terhadap perempuan perokok seperti itu. Narasi-narasi
perempuan tertulis di dalam buku setebal 320 halaman ini. Pandangan, penilaian,
pengalaman, dan sense dihadirkan melalui suara-suara perempuan yang kerap
menjadi “korban” stigma perokok.
Bagi 21 (perempuan)
penulis esai di buku ini, stigma berlebihan dan penghakiman (judge) saat
melihat perempuan sedang merokok merupakan suata cara yang tidak adil. Ada
beberapa faktor yang seharusnya lebih diutamakan dalam melihat perempuan
perokok. Faktor psikologis, faktor ekonomis, dan faktor lingkungan.
Anis Mahesaayu, salah
satu penulis, melihat dari segi sosio-histori, bahwa bagi perempuan perilaku
merokok merupakan wujud perlawanan terhadap penjajah yang kerap memaksa
perempuan –pada waktu itu, perempuan Nusantara kerap jadi kacung-kacung seks
penjajah- untuk berbadan dan berwajah bersih. Perempuan Nusantara, bagi
penjajah, dianggap tidak menarik berahi mereka. Salah satunya, dikisahkan Anis,
Mak Pik, memberanikan diri tetap merokok meski pada masa mudanya perempuan
perokok dianggap kotor, tidak menggairahkan, dan bahkan menjijikkan. Namun,
karena rokoklah Mak Pik tidak masuk ke dalam lubang-lubang berahi penjajah,
yang pada masa itu pula rokok sesungguhnya menjadi obat herbal bagi masyarakat
di lingkungan Mak Pik.
Kretek, dalam
perjalanan sejarahnya adalah warisan budaya dan media perlawanan perempuan,
baik dalam bidang politik, ekonomi, bahkan sosial dan budaya (halaman 256).
Kretek di sini dianggap berbeda dengan rokok filter putih atau rokok putih.
Perbedaan berdasarkan ramuannya. Kretek, sorotan utama di dalam ulasan buku
ini, merupakan salah satu ramuan asli Nusantara yang masih tersisa hingga masa
kini. Haji Djamhari penemunya, pada masa abad 19.
Selain itu,
stigma-stigma itu, ada peran-peran lain yang dicatat pula oleh
perempuan-perempuan aktivis di dalam buku bercover warna cokelat ini.
Poster-poster antirokok, slogan-slogan antirokok, maupun kampanye-kampanye
pembencian rokok dengan mudah dapat kita temui di tempat-tempat umum, seperti
angkutan umum, halte, maupun mall-mall. Dengan skeptis pula realitas seperti
itu dipertanyakan. Mengapa harus (sangat) membenci rokok? Mengapa hanya rokok
yang “disalahkan” akibat adanya penyakit paru-paru, jantung, kanker, dan
sebagainya?
Realitas itu hanya
bagian dari persaingan ekonomi global atau persaingan bisnis. Korporasi besar
berada di balik poster-poster itu. Rokok, yang sejatinya hanya mengeluarkan
zat-zat adiksi yang sifat kecil, kerap “disalahkan” melalui kampanye-kampanye
yang tidak fair di dalam mengungkap realitas. Padahal, asap atau polusi
kendaraan dan pabrik-pabrik yang bertebaran (tanpa terkontrol) jauh lebih
berbahaya.
Salah satu penulis,
Atika –pekerja media Kartini- memaparkan, dengan gaya tuturnya (narasi) yang
sangat menarik, bahwa pernyataan polusi rokok menciptakan kanker paru-paru
maupun penyakit-penyakit karena polusi lainnya hanya diakibatkan rokok
merupakan penyesatan dalam pemahaman realita, khususnya polusi di Jakarta. Di
Jakarta, setiap hari ada sekitar 1.500 unit kendaraan baru. Akibatnya, secara
demografis kondisi Jakarta macet parah serta ditambah kondisi polusi yang
tinggi karena kemacetan menyebabkan polusi tiap kendaraan semakin tinggi. Hal
itu menyebabkan “serangan” terhadap otak manusia. Bila otak manusia tidak lagi
baik, maka penyakit akan mudah menyerang, apalagi dengan kondisi udara di
Jakarta yang tidak lagi bersih. Dengan sederhana, paparan Atika menyimpulkan,
seharusnya arus kendaraan dan gas buang kendaraanlah yang ramai dikampanyekan?
Mengapa mesti rokok yang ramai dikampanyekan di tengah-tengah buruknya kondisi
transportasi publik?
Bagi Atika, perokok
bukanlah orang yang mesti dihakimi dengan stigma. Rokok juga mampu memperlihatkan
kepribadian si perokoknya. Dirinya kerap mengamati perokok untuk mendalami
kepribadian si perokok, agar tidak terjebak pada keputusan memilih pasangan
hidup. Perokok yang kerap berganti-ganti rokok, misalnya, kemungkinan besar
akan memperlakukan pasangannya dengan cara seperti itu (tidak setia). Baginya,
betapa bahagianya sang rokok diperlakukan secara terhormat (halaman 50).
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.