ARTIKEL PINTASAN

Friday, April 19, 2013

Mendengar Kisah Para Jurnalis


Judul: Jurnalis Berkisah
Penulis: Yus Ariyanto
Penerbit: Metagraf
Terbit: September 2012
Tebal: 228 halaman
ISBN: 9786029212310


            “Raden Mas Tirto Hadi Soejo, yang seorang bangsawan asli dan juga kafikiran, bumiputra pertama kali menjabat jurnalis; boleh bilang tuan T. A. S. induk jurnalis bumiputra di tanah Djawa, tadjam sekali beliau punya pena, banyak pembesar-pembesar yang kena kritiknya jadi muntah darah dan sebagian besar suka memperbaiki kelakuannya yang kurang senonoh.” (Mas Marco Krtodikromo).
            Dahulu Tirto hidup di saat penjajah asing mengeksploitasi manusia dan sumber daya alam Nusantara. Dengan ikatan tali sebangsa, masyarakat yang hidup pada titik geografis tertentu menunjukkan sikap perlawanan terhadap penjajah. Musuhnya jelas secara fisik, yakni bangsa lain yang dianggap bukan sebangsa. Ketika masyarakat dan tokoh-tokoh revolusioner menunjukkan perlawanan dengan mengangkat senjata dan perlawanan politik, Tirto mampu menunjukkan perlawanannya dengan tinta, dengan jurnalisme. Meski kadang Mas Tirto juga melawan/mengkritik orang-orang pribumi yang menjadi kaki tangan penjajah, Mas tirto adalah Mas Tirto, yang dikenal sebagai Bapak Jurnalis Pertama Indonesia.
            Zaman telah berubah. Penjajahan fisik tidak lagi terjadi, namun penjajahan hegemonik tetap terjadi sampai saat ini. Bangsa ordinat melalui keberlimpahan nilai (uang) yang dimiliki masih memegang peranan penting sebagai pengeksploitasi bangsa-bangsa yang tidak memiliki keberlimpahan nilai (uang). Sosok “heroik” seperti Mas Tirto masih dibutuhkan masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap fenomena-fenomena ketidakadilan era pascaimperialisme seperti saat ini.
            Di dalam buku Jurnalis Berkisah yang berisi 228 halaman ini mengandung sisi kisah para jurnalis bekerja sebagai profesionalis nan heroik. Seorang narator yang mengisahkan 10 jurnalis, yang berasal dari jurnalis media cetak dan media elektronik, menampilkan profesionalitas para jurnalis tersebut tidak hanya sekadar profesi, melainkan profesi yang berada pada tiap-tiap visi dan karakter masing-masing. Seakan presentasi sisi terang dari profesi jurnalis, di balik sisi gelap kehiduapan jurnalis pada umumnya yang tergambarkan sebagai sosok pragmatik nan oportunistis akibat kedekatan para jurnalis terhadap narasumber (politisi dan pengusaha) hingga memunculkan preseden buruk dalam kubangan cerita-cerita tentang para jurnalis di mata publik. Sisi jurnalis itu memang seperti mata uang, di balik sisi terang ada sisi gelap. Kesepuluh jurnalis lokal yang disajikan dalam buku ini memanglah merangkum satu benang merah atas dedikasi yang luar biasa tinggi pada profesi mereka, yakni keberanian (halaman v). Kesepuluh nama jurnalis, yang terpilih atas dasar pemilihan sang penulis, tersebut ialah Najwa Shihab, Telni Rusmitantri, Metta Dharmasaputra, Maria Hartiningsih, Tosca Santoso, Muhlis Suhaeri, Mauluddin Anwar, Erwin Arnada, Ramdan Malik, dan Linda Christanty.
            Sebab adanya keberanialah Metta Dharmasaputra dinarasikan sebagai sosok jurnalis yang mampu membongkar sekelumit permasalahan Asian Agri –baru-baru ini saya dapati kisah tentang Metta pada masa itu dari seorang kenalan Metta yang kini bekerja di media online ternama, sebelum Metta pergi ke Singapura salah seorang wartawan media cetak skala nasional telah lebih dulu datang ke Singapura, namun wartawan tersebut kurang lihai dalam mengambil kesempatan guna menguras informasi dari narasumber. Wartawan Tempo ini dikisahkan secara dramatik dalam penelusuran informasi pajak Asian Agri. Awalnya laki-laki berkacamata tersebut tidak mulus mengorek informasi, namun setelah dapat informasi dan mempublikasikannya melalui sebuah berita di Tempo dirinya justru mendapat ancaman.
            Kisah dramatik lainnya juga terjadi pada seorang pemred (pemimpin redaksi) majalah kontroversi Playboy, Erwin Arnada. Dengan menyoroti kebebasan pers semata tanpa narasi latar sosial yang dominan hidup pada tatanan moral ini, Erwin dikisahkan sebagai jurnalis tanpa kebebasan pers hingga akhirnya harus mendekam di penjara selama dua tahun. Pada 29 Juli 2009, majelis hakim kasasi MA menyatakan Erwin terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana kesusilaan (halaman 160). Pemenjaraan Erwin ini berarti ancaman kebebasan pers, yang dapat diartikan sebagai ancaman kebebasan demokrasi Indonesia.
            Terkait demokrasi Indonesia, Linda Christanty tergambar seperti jurnalis penjaga perdamaian. Narasinya, Linda memiliki “tanggung jawab sosial” sebagai seorang jurnalis, yang kisahkan dengan kekuatan narasi yang berusaha memunculkan alur, sehingga sesekali narator memunculkan nama-nama lembaga beserta foundingfathernya: Aceh News Service bekerja dengan bantuan dana dari Open Society Institute (OSI) dan Cordaid. Sejak 2011, Open Society Institute bersalin nama menjadi Open Society Foundation. Lembaga ini didirikan filantrop George Soros. Akan halnya Cordaid, ini lembaga donor Belanda. Donatur terbesar adalah OSI, dana dari Cordaid kecil saja. (halaman 208).
            Buku bersampul putih yang lahir dari tangan Yus Ariyanto (narator) ini –kini menjadi bagian dari politik staf pengajar, sebab kini buku ini menjadi buku wajib para mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri yang berada di wilayah Jatinangor- memang dapatlah dianggap layak bagi pembaca yang ingin mengetahui sekelumit sisi putih kehidupan jurnalis dalam menjalani profesinya. Dalam narasinya pembaca tidak akan menemui sisi gelap para jurnalis yang kerap menjadi “hantu” masyarakat: “wartawan bodrek”, “wartawan goodybag”, hingga sisi “kerja sampingan jurnalis” yang kerap dituding mendapat uang dari narasumber/korporasi guna menghentikan pemberitaan buruk. Inilah zaman sosial kapitalis, yang hidup di kubangan nilai, bukan lagi zaman imperialis yang dapat memunculkan sosok jurnalis seperti Mas Tirto.

Peresensi: Fredy Wansyah, penulis lepas.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes