Judul: Jurnalis
Berkisah
Penulis: Yus Ariyanto
Penerbit: Metagraf
Terbit: September 2012
Tebal: 228 halaman
ISBN: 9786029212310
“Raden
Mas Tirto Hadi Soejo, yang seorang bangsawan asli dan juga kafikiran, bumiputra
pertama kali menjabat jurnalis; boleh bilang tuan T. A. S. induk jurnalis
bumiputra di tanah Djawa, tadjam sekali beliau punya pena, banyak
pembesar-pembesar yang kena kritiknya jadi muntah darah dan sebagian besar suka
memperbaiki kelakuannya yang kurang senonoh.” (Mas Marco Krtodikromo).
Dahulu Tirto hidup di saat penjajah
asing mengeksploitasi manusia dan sumber daya alam Nusantara. Dengan ikatan
tali sebangsa, masyarakat yang hidup pada titik geografis tertentu menunjukkan
sikap perlawanan terhadap penjajah. Musuhnya jelas secara fisik, yakni bangsa
lain yang dianggap bukan sebangsa. Ketika masyarakat dan tokoh-tokoh
revolusioner menunjukkan perlawanan dengan mengangkat senjata dan perlawanan
politik, Tirto mampu menunjukkan perlawanannya dengan tinta, dengan jurnalisme.
Meski kadang Mas Tirto juga melawan/mengkritik orang-orang pribumi yang menjadi
kaki tangan penjajah, Mas tirto adalah Mas Tirto, yang dikenal sebagai Bapak
Jurnalis Pertama Indonesia.
Zaman telah berubah. Penjajahan
fisik tidak lagi terjadi, namun penjajahan hegemonik tetap terjadi sampai saat
ini. Bangsa ordinat melalui keberlimpahan nilai (uang) yang dimiliki masih
memegang peranan penting sebagai pengeksploitasi bangsa-bangsa yang tidak
memiliki keberlimpahan nilai (uang). Sosok “heroik” seperti Mas Tirto masih
dibutuhkan masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap fenomena-fenomena
ketidakadilan era pascaimperialisme seperti saat ini.
Di dalam buku Jurnalis Berkisah yang berisi 228 halaman ini mengandung sisi kisah
para jurnalis bekerja sebagai profesionalis nan heroik. Seorang narator yang
mengisahkan 10 jurnalis, yang berasal dari jurnalis media cetak dan media
elektronik, menampilkan profesionalitas para jurnalis tersebut tidak hanya
sekadar profesi, melainkan profesi yang berada pada tiap-tiap visi dan karakter
masing-masing. Seakan presentasi sisi terang dari profesi jurnalis, di balik
sisi gelap kehiduapan jurnalis pada umumnya yang tergambarkan sebagai sosok pragmatik
nan oportunistis akibat kedekatan para jurnalis terhadap narasumber (politisi
dan pengusaha) hingga memunculkan preseden buruk dalam kubangan cerita-cerita
tentang para jurnalis di mata publik. Sisi jurnalis itu memang seperti mata
uang, di balik sisi terang ada sisi gelap. Kesepuluh
jurnalis lokal yang disajikan dalam buku ini memanglah merangkum satu benang
merah atas dedikasi yang luar biasa tinggi pada profesi mereka, yakni
keberanian (halaman v). Kesepuluh nama jurnalis, yang terpilih atas dasar
pemilihan sang penulis, tersebut ialah Najwa Shihab, Telni Rusmitantri, Metta
Dharmasaputra, Maria Hartiningsih, Tosca Santoso, Muhlis Suhaeri, Mauluddin
Anwar, Erwin Arnada, Ramdan Malik, dan Linda Christanty.
Sebab adanya keberanialah Metta
Dharmasaputra dinarasikan sebagai sosok jurnalis yang mampu membongkar
sekelumit permasalahan Asian Agri –baru-baru ini saya dapati kisah tentang
Metta pada masa itu dari seorang kenalan Metta yang kini bekerja di media
online ternama, sebelum Metta pergi ke Singapura salah seorang wartawan media
cetak skala nasional telah lebih dulu datang ke Singapura, namun wartawan
tersebut kurang lihai dalam mengambil kesempatan guna menguras informasi dari
narasumber. Wartawan Tempo ini
dikisahkan secara dramatik dalam penelusuran informasi pajak Asian Agri.
Awalnya laki-laki berkacamata tersebut tidak mulus mengorek informasi, namun
setelah dapat informasi dan mempublikasikannya melalui sebuah berita di Tempo dirinya justru mendapat ancaman.
Kisah dramatik lainnya juga terjadi pada
seorang pemred (pemimpin redaksi) majalah kontroversi Playboy, Erwin Arnada. Dengan menyoroti kebebasan pers semata tanpa
narasi latar sosial yang dominan hidup pada tatanan moral ini, Erwin dikisahkan
sebagai jurnalis tanpa kebebasan pers hingga akhirnya harus mendekam di penjara
selama dua tahun. Pada 29 Juli 2009,
majelis hakim kasasi MA menyatakan Erwin terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan tindak pidana kesusilaan (halaman 160). Pemenjaraan Erwin ini
berarti ancaman kebebasan pers, yang dapat diartikan sebagai ancaman kebebasan
demokrasi Indonesia.
Terkait demokrasi Indonesia, Linda
Christanty tergambar seperti jurnalis penjaga perdamaian. Narasinya, Linda
memiliki “tanggung jawab sosial” sebagai seorang jurnalis, yang kisahkan dengan
kekuatan narasi yang berusaha memunculkan alur, sehingga sesekali narator
memunculkan nama-nama lembaga beserta foundingfathernya: Aceh News Service bekerja dengan bantuan dana dari Open Society
Institute (OSI) dan Cordaid. Sejak 2011, Open Society Institute bersalin nama
menjadi Open Society Foundation. Lembaga ini didirikan filantrop George Soros.
Akan halnya Cordaid, ini lembaga donor Belanda. Donatur terbesar adalah OSI,
dana dari Cordaid kecil saja. (halaman 208).
Buku bersampul putih yang lahir dari
tangan Yus Ariyanto (narator) ini –kini menjadi bagian dari politik staf
pengajar, sebab kini buku ini menjadi buku wajib para mahasiswa di salah satu
perguruan tinggi negeri yang berada di wilayah Jatinangor- memang dapatlah
dianggap layak bagi pembaca yang ingin mengetahui sekelumit sisi putih
kehidupan jurnalis dalam menjalani profesinya. Dalam narasinya pembaca tidak
akan menemui sisi gelap para jurnalis yang kerap menjadi “hantu” masyarakat:
“wartawan bodrek”, “wartawan goodybag”,
hingga sisi “kerja sampingan jurnalis” yang kerap dituding mendapat uang dari
narasumber/korporasi guna menghentikan pemberitaan buruk. Inilah zaman sosial
kapitalis, yang hidup di kubangan nilai, bukan lagi zaman imperialis yang dapat
memunculkan sosok jurnalis seperti Mas Tirto.
Peresensi: Fredy Wansyah, penulis lepas.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.