ARTIKEL PINTASAN

Friday, April 19, 2013

Visual Arsitektur dan Tunarungu


Mata Judul: Mata yang Mendengar, Arsitektur Bagi Tunarungu
Penulis: Meutia Rin Diani  
Penerbit: Lamalera
Terbit: Mei 2012
Tebal: 167 halaman
ISBN: 9792548378


            Tunarungu tidak memiliki kemampuan mendengar seperti orang normal, namun fungsi pendengarannya seakan dialihkan ke pancaindera lainnya. Tunarungu mampu membaca dan memahami sesuatu hal dengan mata. Bagi tunarungu, mata mampu berfungsi mendengarkan dan mata mampu menjadi salah satu media komunikasi selayaknya telinga orang normal.
Tidak berlebihan bila disematkan pernyataan “mata mampu mendengar” bagi tunarungu. Visualisasi sangat penting dan berarti. Karena itulah, tepat kiranya buku ini diberi judul Mata yang Mendengar guna mewakili pencapaian mata dalam melampaui fungsi-fungsinya dari batas normal.
            Di dalam buku Mata yang Mendengar ini menggambarkan kebutuhan ruangan yang mendukung atau tidak mendiskriminasi bagi kehidupan tunarungu. Melalui sebuah pengantar buku ini, Avianti Armand, yang juga dikenal sebagai cerpenis, menyatakan, “saya berharap buku akan menjadi awal untuk menghasilkan ‘arsitektur yang mendengar’ di kemudian hari.”
            Ruang-ruang publik dan mediasi-mediasi publik belum mampu secara optimal menyajikan ruang dan mediasi yang mendukung terhadap kondisi tunarungu. Bangunan-bangunan kerap kali hanya dirancang untuk individu-individu normal. Memang kadang ada simbol-simbol tertata atau melekat di suatu ruang publik, seperti mall, untuk fasilitas. Namun, itu saja tidak cukup. Seperti apa yang disunggung di atas, visual sangatlah penting. Akses visual adalah penghubung antara tunarungu dan dunia luar (halaman 165).
            Kondisi umum yang (masih) diskriminatif bagi mereka yang hidup dalam keterbatasan tubuh menunjukkan bahwa relevansi Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 30/PRT//M/2006 tentang pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas  Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan dengan kebutuhan ruang penyandang tunarungu. Gedung-gedung umum belum dipenuhi petunjuk-petunjuk visual. Fasilitas-fasilitas umum belum optimal menunjukkan visualisasi. Tunarung membutuhkan dukungan gedung-gedung dan fasilitas-fasilitas umum, yang diupayakan oleh pemerintah, dalam arsitektur yang mengupayakan visualisasi bagi tunarungu.
            Sang penulis buku ini, Meutia Rin Diani, yang hidup dalam tunarungu –narasi yang tepat untuk menggambarkan kebutuhan tunarungu dari seorang tunarungu- dan juga sebagai arsitek, menegaskan, “adanya kebutuhan ruang bagi penyandang tunarungu terkait visual dan getaran yang kurang diperhatikan selama ini.” Seperti apa yang dipaparkan penulis, aspek visual dalam arsitektur merupakan suatu proteksi diri, kenyamanan, komunikasi, dan natural surveillance. Kebutuhan ruang penyandang tunarungu lebih dari sekadar pemasangan simbol, rambu atau marka. The Gallaudet Deaf Diverse Desaign Guide telah membuktikan itu (halaman 167).
            Melalui buku ini pembaca yang memiliki kemampuan tubuh secara normal seakan tersadarkan bahwa arsitektur selama ini masih membuat tunarungu “menjerit”. Mata adalah telinga, dan gerak tubuh adalah bibir bagi tunarungu.


Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes