Mata Judul: Mata yang Mendengar, Arsitektur Bagi Tunarungu
Penulis: Meutia Rin Diani
Penerbit: Lamalera
Terbit: Mei 2012
Tebal: 167 halaman
ISBN: 9792548378
Tunarungu tidak memiliki kemampuan
mendengar seperti orang normal, namun fungsi pendengarannya seakan dialihkan ke
pancaindera lainnya. Tunarungu mampu membaca dan memahami sesuatu hal dengan
mata. Bagi tunarungu, mata mampu berfungsi mendengarkan dan mata mampu menjadi
salah satu media komunikasi selayaknya telinga orang normal.
Tidak berlebihan
bila disematkan pernyataan “mata mampu mendengar” bagi tunarungu. Visualisasi
sangat penting dan berarti. Karena itulah, tepat kiranya buku ini diberi judul Mata yang Mendengar guna mewakili
pencapaian mata dalam melampaui fungsi-fungsinya dari batas normal.
Di dalam buku Mata yang Mendengar ini menggambarkan kebutuhan ruangan yang
mendukung atau tidak mendiskriminasi bagi kehidupan tunarungu. Melalui sebuah
pengantar buku ini, Avianti Armand, yang juga dikenal sebagai cerpenis,
menyatakan, “saya berharap buku akan menjadi awal untuk menghasilkan
‘arsitektur yang mendengar’ di kemudian hari.”
Ruang-ruang publik dan
mediasi-mediasi publik belum mampu secara optimal menyajikan ruang dan mediasi
yang mendukung terhadap kondisi tunarungu. Bangunan-bangunan kerap kali hanya
dirancang untuk individu-individu normal. Memang kadang ada simbol-simbol
tertata atau melekat di suatu ruang publik, seperti mall, untuk fasilitas.
Namun, itu saja tidak cukup. Seperti apa yang disunggung di atas, visual
sangatlah penting. Akses visual adalah penghubung antara tunarungu dan dunia
luar (halaman 165).
Kondisi umum yang (masih)
diskriminatif bagi mereka yang hidup dalam keterbatasan tubuh menunjukkan bahwa
relevansi Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 30/PRT//M/2006 tentang pedoman
Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada
Bangunan Gedung dan Lingkungan dengan kebutuhan ruang penyandang tunarungu.
Gedung-gedung umum belum dipenuhi petunjuk-petunjuk visual. Fasilitas-fasilitas
umum belum optimal menunjukkan visualisasi. Tunarung membutuhkan dukungan
gedung-gedung dan fasilitas-fasilitas umum, yang diupayakan oleh pemerintah,
dalam arsitektur yang mengupayakan visualisasi bagi tunarungu.
Sang penulis buku ini, Meutia Rin
Diani, yang hidup dalam tunarungu –narasi yang tepat untuk menggambarkan
kebutuhan tunarungu dari seorang tunarungu- dan juga sebagai arsitek,
menegaskan, “adanya kebutuhan ruang bagi penyandang tunarungu terkait visual
dan getaran yang kurang diperhatikan selama ini.” Seperti apa yang dipaparkan
penulis, aspek visual dalam arsitektur merupakan suatu proteksi diri,
kenyamanan, komunikasi, dan natural
surveillance. Kebutuhan ruang penyandang tunarungu lebih dari sekadar
pemasangan simbol, rambu atau marka. The
Gallaudet Deaf Diverse Desaign Guide telah membuktikan itu (halaman 167).
Melalui buku ini pembaca yang
memiliki kemampuan tubuh secara normal seakan tersadarkan bahwa arsitektur
selama ini masih membuat tunarungu “menjerit”. Mata adalah telinga, dan gerak
tubuh adalah bibir bagi tunarungu.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.