Ilustrasi Media-Media Online di Indonesia |
Online vs Cetak
Tiras penjualan
media cetak terus menurun seiring perkembangan media online (daring). Media online
mampu memberi ruang transformasi jurnalisme, sehingga pasar media cetak yang
telah berjalan sejak adanya mesin cetak yang ditemukan oleh Gutenberg mengalami
himpitan pasar. Dalam peta persaingan bisnis, media cetak seakan “dipaksa”
mengikat pinggangnya kuat-kuat agar mampu bertahan hidup.
World
Association of Newspaper (WAN), seperti diungkapkan Titok Leksono di dalam
sebuah buku, menyatakan bahwa pada rentang tahun 1995 – 2003 tren sirkulasi
koran turun 5 persen di Amerika, 3 persen di Eropa, dan 2 persen di Eropa. Sama
halnya dengan data di Indonesia. Dalam rentang tahun 1998 hingga 2003 Survei
Kantor Menteri Negara Komunikasi dan Informasi menyatakan bahwa total tiras
penerbitan media cetak mengalami penurunan hingga setengahnya, dari 14 juta
menjadi 7 juta. Baru-baru ini, tepatnya 21 Februari 2013, mencuat kabar
penjualan aset media ternama di Amerika Serikat. The New
York Times tengah merencanakan penjualan Boston Globe dan
aset-asetnya di New England (Republika
Online. Kamis, 21 Februari 2013).
Ada banyak
faktor penurunan tiras media cetak. Diantaranya faktor perkembangan teknologi,
faktor budaya, faktor ekonomi, dan faktor politik internasional. Keempat faktor
itu tentu saling terhubung satu sama lain. Faktor teknologi, misalnya, yang
sangat erat terkait dengan perkembangan budaya. Istilah terkini “instannisme”
seakan menjadi cara pikir dan karakter manusia, yang membentuk suatu budaya
kini. Faktor budaya ini terkait atas kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh
politisi-politisi, baik itu kebijakan internal negara maupun kebijakan intra
negara.
Bahasa dan Jurnalistik
Sesungguhnya
karakter digital menjadi dua sisi mata uang bagi kelangsungan masyarakat.
Perkembangan teknologi yang terus mengembangkan perilaku digital –melalui
kemasifan korporasi besar seperti Apple- yang tentu berpengaruh terhadap
karakter, cara berpikir, dan perkembangan (biologis) manusia itu sendiri.
Teknologi digital memberikan kemudahan-kemudahan. Di sisi lain, teknologi
digital memengaruhi –kita lihat dampak buruknya- karakter dan cara pikir
manusia, yang secara behavior akan berdampak buruk hingga membentuk karakter.
Apabila media online dilihat dari analogi dua sisi
mata uang tersebut, maka dapat terlihat bahwa media online membawa kemunduruan jurnalistik. Parameternya ialah kualitas
jurnalistik dan kualitas bahasa.
Media online mengutamakan liputan-liputan
cepat saji. Dalam liputan cepat saji tidak memerlukan pengolahan terhadap
kedalaman berita, tidak memerlukan ketajaman analisis, tidak memerlukan waktu
koreksi yang panjang, dan tidak memerlukan deadline yang cukup lama dari waktu
peristiwa. Media online “menghamba”
pada kecepatan demi mendapatkan rating dan pageview yang tinggi. Perilaku
seperti ini, praktisi-praktisi media sering menyebut dengan istilah “in the
hour”. Melalui bentuk strike news (berita singkat), hasil liputan mengutamakan
kecepatan. Waktu pemberitaan dibentuk sedemikian rupa agar mendekati waktu
peristiwa.
Tradisi
jurnalisme investigasi secara perlahan larut. Jurnalisme cepat saji lebih
diutamakan. Akibatnya, berita-berita singkat seperti berita-berita sepenggal
ucapan “quote” justru berkembang. Jurnalisme investigasi dianggap tidak relevan
terhadap karakter online karena
membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk mengolahnya. Seiring itu, bentuk
jurnalisme sastrawi –pernah booming pada era tahun 1970-an di Amerika dan era
1990-an di Indonesia- kalah “pamor” dengan berita cepat saji.
Dampaknya yang
terasa bagi pembaca (kritis) ialah penyajian berita mengabaikan aspek bahasa.
Media online mainstream seperti Detik.com dan Kompas.com seakan “mengabaikan” prinsip-prinsip bahasa yang baik
–tentu baik dalam arti perpaduan ketepatan bahasa secara EYD yang tidak kaku-
sehingga pembaca kerap menemui berita yang tidak layak baca. Pembaca kritis
tentu memerlukan berita yang baik secara khaidah bahasa, sebab secara tidak
sadar bahasa mampu memengaruhi cara berpikir seseorang.
Banyak sisi
kesalahan di dalam media online.
Diantaranya, gramatika, peristilahan, dan bahkan kasus ringan salah ketik.
Akibatnya yang kerap ditemui dalam kasus-kasus seperti itu ialah ambiguitas
makna.
Di sinilah tugas
berat jurnalisme online saat ini.
Secara jurnalistik harus menguatkan kualitas dan kedalaman isi berita. Secara
bahasa juga harus mengikuti pakem bahasa yang baik –kerapkali saya mendengar
alasan praktisi media online yang
menyatakan bahwa bahasa jurnalistik media online
harus mengikuti bahasa yang berterima secara luas, bahasa percakapan
sehari-hari. Lalu pertanyaan resposifnya ialah mengapa bahasa media cetak
mainstream mampu tidak terjebak pada bahasa percakapan-
Fredy Wansyah.
Mantan editor Okezone.com
*tulisan ini dipublis awal di harian Analisa
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.