ARTIKEL PINTASAN

Saturday, June 1, 2013

Tugas Berat Era Media Online

Ilustrasi Media-Media Online di Indonesia
Online vs Cetak
Tiras penjualan media cetak terus menurun seiring perkembangan media online (daring). Media online mampu memberi ruang transformasi jurnalisme, sehingga pasar media cetak yang telah berjalan sejak adanya mesin cetak yang ditemukan oleh Gutenberg mengalami himpitan pasar. Dalam peta persaingan bisnis, media cetak seakan “dipaksa” mengikat pinggangnya kuat-kuat agar mampu bertahan hidup.
World Association of Newspaper (WAN), seperti diungkapkan Titok Leksono di dalam sebuah buku, menyatakan bahwa pada rentang tahun 1995 – 2003 tren sirkulasi koran turun 5 persen di Amerika, 3 persen di Eropa, dan 2 persen di Eropa. Sama halnya dengan data di Indonesia. Dalam rentang tahun 1998 hingga 2003 Survei Kantor Menteri Negara Komunikasi dan Informasi menyatakan bahwa total tiras penerbitan media cetak mengalami penurunan hingga setengahnya, dari 14 juta menjadi 7 juta. Baru-baru ini, tepatnya 21 Februari 2013, mencuat kabar penjualan aset media ternama di Amerika Serikat.  The New York Times tengah merencanakan penjualan Boston Globe dan aset-asetnya di New England (Republika Online. Kamis, 21 Februari 2013).
Ada banyak faktor penurunan tiras media cetak. Diantaranya faktor perkembangan teknologi, faktor budaya, faktor ekonomi, dan faktor politik internasional. Keempat faktor itu tentu saling terhubung satu sama lain. Faktor teknologi, misalnya, yang sangat erat terkait dengan perkembangan budaya. Istilah terkini “instannisme” seakan menjadi cara pikir dan karakter manusia, yang membentuk suatu budaya kini. Faktor budaya ini terkait atas kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh politisi-politisi, baik itu kebijakan internal negara maupun kebijakan intra negara.

Bahasa dan Jurnalistik
Sesungguhnya karakter digital menjadi dua sisi mata uang bagi kelangsungan masyarakat. Perkembangan teknologi yang terus mengembangkan perilaku digital –melalui kemasifan korporasi besar seperti Apple- yang tentu berpengaruh terhadap karakter, cara berpikir, dan perkembangan (biologis) manusia itu sendiri. Teknologi digital memberikan kemudahan-kemudahan. Di sisi lain, teknologi digital memengaruhi –kita lihat dampak buruknya- karakter dan cara pikir manusia, yang secara behavior akan berdampak buruk hingga membentuk karakter.
Apabila media online dilihat dari analogi dua sisi mata uang tersebut, maka dapat terlihat bahwa media online membawa kemunduruan jurnalistik. Parameternya ialah kualitas jurnalistik dan kualitas bahasa.
Media online mengutamakan liputan-liputan cepat saji. Dalam liputan cepat saji tidak memerlukan pengolahan terhadap kedalaman berita, tidak memerlukan ketajaman analisis, tidak memerlukan waktu koreksi yang panjang, dan tidak memerlukan deadline yang cukup lama dari waktu peristiwa. Media online “menghamba” pada kecepatan demi mendapatkan rating dan pageview yang tinggi. Perilaku seperti ini, praktisi-praktisi media sering menyebut dengan istilah “in the hour”. Melalui bentuk strike news (berita singkat), hasil liputan mengutamakan kecepatan. Waktu pemberitaan dibentuk sedemikian rupa agar mendekati waktu peristiwa.
Tradisi jurnalisme investigasi secara perlahan larut. Jurnalisme cepat saji lebih diutamakan. Akibatnya, berita-berita singkat seperti berita-berita sepenggal ucapan “quote” justru berkembang. Jurnalisme investigasi dianggap tidak relevan terhadap karakter online karena membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk mengolahnya. Seiring itu, bentuk jurnalisme sastrawi –pernah booming pada era tahun 1970-an di Amerika dan era 1990-an di Indonesia- kalah “pamor” dengan berita cepat saji.
Dampaknya yang terasa bagi pembaca (kritis) ialah penyajian berita mengabaikan aspek bahasa. Media online mainstream seperti Detik.com dan Kompas.com seakan “mengabaikan” prinsip-prinsip bahasa yang baik –tentu baik dalam arti perpaduan ketepatan bahasa secara EYD yang tidak kaku- sehingga pembaca kerap menemui berita yang tidak layak baca. Pembaca kritis tentu memerlukan berita yang baik secara khaidah bahasa, sebab secara tidak sadar bahasa mampu memengaruhi cara berpikir seseorang.
Banyak sisi kesalahan di dalam media online. Diantaranya, gramatika, peristilahan, dan bahkan kasus ringan salah ketik. Akibatnya yang kerap ditemui dalam kasus-kasus seperti itu ialah ambiguitas makna.
Di sinilah tugas berat jurnalisme online saat ini. Secara jurnalistik harus menguatkan kualitas dan kedalaman isi berita. Secara bahasa juga harus mengikuti pakem bahasa yang baik –kerapkali saya mendengar alasan praktisi media online yang menyatakan bahwa bahasa jurnalistik media online harus mengikuti bahasa yang berterima secara luas, bahasa percakapan sehari-hari. Lalu pertanyaan resposifnya ialah mengapa bahasa media cetak mainstream mampu tidak terjebak pada bahasa percakapan-

Fredy Wansyah. Mantan editor Okezone.com

*tulisan ini dipublis awal di harian Analisa

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes