Iklan Rokok (capkucing.com) |
Masih
terngiang mungkin lantunan lirik lagu “bangun
tidur, tidur lagi. Bangun... tidur lagi.” Ketika lantunan itu menggema,
mungkin pula kita langsung teringat sosok penyanyinya, Mbah Surip (Urip
Surianto). Penyanyi berambut gimbal itu meninggal pada 4 Agustus 2009, empat
tahun silam. Seniman berpenampilan kumuh itu meninggal pada usia 60 tahun.
Penyebab kematian Mbah Surip banyak dibincangkan publik, sebab Mbah Surip
merupakan sosok pecandu kopi dan rokok. Menurut pengakuannya ketika masih
hidup, ia mampu menghabiskan 20-30 gelas kopi per hari.
Seniman
lain, Pramoedya Ananta Toer, meninggal pada usia 70 tahun. Sastrawan yang
pernah masuk nominasi penerima Nobel itu meninggal tahun 2004. Salah satu
penyebab kematiannya ialah penyakit jantung. Sebelum meninggal, ia dikenal
sebagai sastrawan yang sangat aktif merokok. Pada rentang waktu tahun 2002 –
2003 ia sering menerima tamu untuk keperluan wawancara. Di kala momen wawancara
itu, ia tak lupa menghisap rokok Djarum.
Apa
yang kita bahas di atas adalah kematian dua figur publik yang tidak terlepas
dari tingginya tingkat konsumsi rokok. Dua figur di atas merupakan perokok
berat, yang meninggal di atas usia 50.
//
Saat
ini kesadaran masyarakat terhadap rokok terus terkontaminasi. Berbagai cara produsen
rokok terus berupaya memberi persuasifitas terhadap masyarakat (sebagai pasar
komoditas). Iklan-iklan rokok muncul di berbagai media, baik media televisi,
radio, cetak, online, papan reklame, hingga poster-poster di tempat-tempat
keramaian. Cara persuasifitas dalam iklan rokok tidak dapat dianggap remeh di
dalam stratregi kreatifitas periklanan. Iklan rokok dapat diacungkan jempol.
Produsen rokok tidak sungkan-sungkan menghabiskan biaya iklan untuk membuat
kreatifitas iklan semakin tinggi. Lihat saja, misalnya, iklan rokok di televisi
yang memanfaatkan keindahan alam/wisata tanah air. Di dalam iklan tidak ada
percakapan tentang rokok, sebab persuasifitas iklan dilakukan simbolik.
Kemapanan, ketangguhan, kejantanan, keberanian, dan kreatifitas individu ialah
simbol-simbol yang dimainkan.
Iklan
rokok di televisi dibatasi, diatur sesuai primetime atau waktu-waktu utama
menonton televisi. Namun, iklan-iklan di media lain tidak dibatasi. Artinya,
persuasifitas iklan tetap ada di tengah-tengah ruang publik.
Target
iklan ditunjukkan melalui objek di dalam iklan. Apabila diperhatikan,
tokoh-tokoh iklan rokok pada umumnya ialah lelaki yang baru beranjak dewasa.
Bukan lelaki dewasa yang telah berstatus orangtua atau kebapak-bapakan. Hal ini
menunjukkan target pasar komoditas berada di rentang remaja dan dewasa atau
dapat dikatakan dua dimensi usia sekaligus (dewasa dan remaja).
Iklan
adalah salah upaya memengaruhi kesadaran masyarakat (pasar). Tingginya tingkat
iklan di ruang publik akan mengakibatkan tinggi pula keterpengaruhan
masyarakat. Keberhasilan iklan rokok dapat dilihat dari tingginya perokok anak
muda (remaja) dan anak-anak. Di tempat-tempat umum sudah menjadi pemandangan
biasa apabila ada anak-anak merokok. Fenomena anak-anak merokok yang terjadi
secara terus-menerus tentu akan menjadi kelumrahan. Kelumrahan tersebut pun
akan menjadi suatu tradisi yang bakal sulit dihilangkan begitu saja.
Apabila
produsen rokok memainkan peranan penting di dalam kesadaran masyarakat, mengapa
pemerintah tidak melakukan “perlawanan” melalui kesadaran pula? Pemerintah dan
lembaga-lembaga antirokok atau lembaga peduli kesehatan masyarakat seharusnya
menunjukkan intensitas iklan antirokok dan bahaya rokok bagi kesehatan maupun
lingkungan. Beriklan sekreatif mungkin harus dilakukan, meski dana yang
dibutuhkan tidak sedikit. Iklan dibuat sangat menarik dan objektif secara
kesehatan. Iklan pun memainkan aspek-aspek simbol. Sampai saat ini iklan
“tandingan” rokok yang sangat menarik tidak pernah terdengar di televisi. Bila
asap rokok berbahaya bagi kesehatan jantung perokok, sebaiknya dijelaskan pula
di dalam iklan antirokok bagaiman jantung bekerja dengan rokok dan tanpa rokok.
Dengan begitu, publik seakan-akan tidak merasa “digurui” melalui ucapan,
melainkan simbolis.
Persoalan
rokok yang telah berlarut-larut di Indonesia saat ini bukan menitikberatkan
pada kesehatan atau kematian. Benar apa yang disuarakan kelompok-kelompok
pendukung rokok, bahwa manusia tidak bisa mengukur kematian seseorang. Seperti
contoh dua sosok di awal tulisan ini, Mbah Surip dan Pram merupakan sosok
perokok aktif yang mampu bertahan hidup hingga usia 60 tahun lebih. Apalagi,
persoalan kesehatan masyarakat tidak berdasarkan satu aspek saja, melainkan
banyak aspek yang memengaruhi.
Sudah
masanya iklan mengenai kesadaran kesehatan dikampanyekan/diiklankan semenarik
mungkin. Masyarakat hanya butuh paparan ril dan objektif perihal kesehatan dan
tidak sehat.
Fredy Wansyah
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.