ARTIKEL PINTASAN

Friday, June 7, 2013

Kesehatan


Iklan Rokok (capkucing.com)
Masih terngiang mungkin lantunan lirik lagu “bangun tidur, tidur lagi. Bangun... tidur lagi.” Ketika lantunan itu menggema, mungkin pula kita langsung teringat sosok penyanyinya, Mbah Surip (Urip Surianto). Penyanyi berambut gimbal itu meninggal pada 4 Agustus 2009, empat tahun silam. Seniman berpenampilan kumuh itu meninggal pada usia 60 tahun. Penyebab kematian Mbah Surip banyak dibincangkan publik, sebab Mbah Surip merupakan sosok pecandu kopi dan rokok. Menurut pengakuannya ketika masih hidup, ia mampu menghabiskan 20-30 gelas kopi per hari.

Seniman lain, Pramoedya Ananta Toer, meninggal pada usia 70 tahun. Sastrawan yang pernah masuk nominasi penerima Nobel itu meninggal tahun 2004. Salah satu penyebab kematiannya ialah penyakit jantung. Sebelum meninggal, ia dikenal sebagai sastrawan yang sangat aktif merokok. Pada rentang waktu tahun 2002 – 2003 ia sering menerima tamu untuk keperluan wawancara. Di kala momen wawancara itu, ia tak lupa menghisap rokok Djarum.

Apa yang kita bahas di atas adalah kematian dua figur publik yang tidak terlepas dari tingginya tingkat konsumsi rokok. Dua figur di atas merupakan perokok berat, yang meninggal di atas usia 50.
//
Saat ini kesadaran masyarakat terhadap rokok terus terkontaminasi. Berbagai cara produsen rokok terus berupaya memberi persuasifitas terhadap masyarakat (sebagai pasar komoditas). Iklan-iklan rokok muncul di berbagai media, baik media televisi, radio, cetak, online, papan reklame, hingga poster-poster di tempat-tempat keramaian. Cara persuasifitas dalam iklan rokok tidak dapat dianggap remeh di dalam stratregi kreatifitas periklanan. Iklan rokok dapat diacungkan jempol. Produsen rokok tidak sungkan-sungkan menghabiskan biaya iklan untuk membuat kreatifitas iklan semakin tinggi. Lihat saja, misalnya, iklan rokok di televisi yang memanfaatkan keindahan alam/wisata tanah air. Di dalam iklan tidak ada percakapan tentang rokok, sebab persuasifitas iklan dilakukan simbolik. Kemapanan, ketangguhan, kejantanan, keberanian, dan kreatifitas individu ialah simbol-simbol yang dimainkan.

Iklan rokok di televisi dibatasi, diatur sesuai primetime atau waktu-waktu utama menonton televisi. Namun, iklan-iklan di media lain tidak dibatasi. Artinya, persuasifitas iklan tetap ada di tengah-tengah ruang publik.

Target iklan ditunjukkan melalui objek di dalam iklan. Apabila diperhatikan, tokoh-tokoh iklan rokok pada umumnya ialah lelaki yang baru beranjak dewasa. Bukan lelaki dewasa yang telah berstatus orangtua atau kebapak-bapakan. Hal ini menunjukkan target pasar komoditas berada di rentang remaja dan dewasa atau dapat dikatakan dua dimensi usia sekaligus (dewasa dan remaja).

Iklan adalah salah upaya memengaruhi kesadaran masyarakat (pasar). Tingginya tingkat iklan di ruang publik akan mengakibatkan tinggi pula keterpengaruhan masyarakat. Keberhasilan iklan rokok dapat dilihat dari tingginya perokok anak muda (remaja) dan anak-anak. Di tempat-tempat umum sudah menjadi pemandangan biasa apabila ada anak-anak merokok. Fenomena anak-anak merokok yang terjadi secara terus-menerus tentu akan menjadi kelumrahan. Kelumrahan tersebut pun akan menjadi suatu tradisi yang bakal sulit dihilangkan begitu saja.

Apabila produsen rokok memainkan peranan penting di dalam kesadaran masyarakat, mengapa pemerintah tidak melakukan “perlawanan” melalui kesadaran pula? Pemerintah dan lembaga-lembaga antirokok atau lembaga peduli kesehatan masyarakat seharusnya menunjukkan intensitas iklan antirokok dan bahaya rokok bagi kesehatan maupun lingkungan. Beriklan sekreatif mungkin harus dilakukan, meski dana yang dibutuhkan tidak sedikit. Iklan dibuat sangat menarik dan objektif secara kesehatan. Iklan pun memainkan aspek-aspek simbol. Sampai saat ini iklan “tandingan” rokok yang sangat menarik tidak pernah terdengar di televisi. Bila asap rokok berbahaya bagi kesehatan jantung perokok, sebaiknya dijelaskan pula di dalam iklan antirokok bagaiman jantung bekerja dengan rokok dan tanpa rokok. Dengan begitu, publik seakan-akan tidak merasa “digurui” melalui ucapan, melainkan simbolis.

Persoalan rokok yang telah berlarut-larut di Indonesia saat ini bukan menitikberatkan pada kesehatan atau kematian. Benar apa yang disuarakan kelompok-kelompok pendukung rokok, bahwa manusia tidak bisa mengukur kematian seseorang. Seperti contoh dua sosok di awal tulisan ini, Mbah Surip dan Pram merupakan sosok perokok aktif yang mampu bertahan hidup hingga usia 60 tahun lebih. Apalagi, persoalan kesehatan masyarakat tidak berdasarkan satu aspek saja, melainkan banyak aspek yang memengaruhi.

Sudah masanya iklan mengenai kesadaran kesehatan dikampanyekan/diiklankan semenarik mungkin. Masyarakat hanya butuh paparan ril dan objektif perihal kesehatan dan tidak sehat.


Fredy Wansyah

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes