Media massa, dalam hal ini pers,
tidak mampu beroperasi tanpa pendapatan iklan. Coba hitung ada berapa
media-media cetak di Jakarta yang tidak beroperasi lagi akibat kendala
finansial. Majalah, tabloid, dan koran tidak bisa hanya bergantung pada
penjualan oplah. Penjualan oplah tidak mampu menutup biaya opresional. Ketika
iklan tidak didapatkan, oplah jadi titik nadir “kehidupan” perusahaan. Iklan
sebagai tonggak “kehidupan” media massa. Ruh, dalam arti filsafat, kehidupan
media massa adalah iklan.
Atas perkembangan IT-isme, media
massa mulai beralih ke ruang online, yang dinilai sangat menguntungkan, dengan
modal kecil (2 juta s.d 100 juta saja) dapat meraup keuntungan besar (bila
statistik 1.000 pengunjung per hari, harga iklan dapat dipatok 3 juta s.d 15
juta per minggu, sesuai letak dan kesepakatan). Coba bandingkan modal media
cetak. Seorang rekan pernah menyatakan, modal awal untuk mendirikan usaha
majalah lifestyle mencapai 220 juta. Dibandingkan cetak, media online jauh
lebih murah karena tidak perlu biaya cetak. Namun, terlepas dari perhitungan
ekonomi keduanya, wartawan justru menjadi nilai plus minus. Artinya, wartawan
dapat menguntungkan bila ia bisa merangkap promosi ke para pejabat atau para
pengusaha. Di sisi lain, ia menjadi minus ketika wartawan dianggap tidak
membantu peran promosi, dan minus-minus lainnya.
Faktanya, masih banyak wartawan
bergaji di bawah 2 juta. Misalnya, salah satu koran ekonomi di wilayah Jakarta
masih menggaji wartawan sebesar 1,75 juta. Di bawah otoritas kapital,
perusahaan besar dengan penghasilan komoditas yang berpengaruh besar di
masyarakat juga tidak menjamin pekerjanya dapat gaji yang layak. Biaya hidup,
akumulasi ekonomi, terus berjalan seiring laju saham di pasar internasional,
sehingga wartawan bergaji rendah pun terus terdesak. Pada akhirnya wartawan
berpikir pragmatis.
Wartawan pun jadi terbelah. Ada
wartawan profesinal-ideologis, ada wartawan profesional, dan ada wartawan
pragmatis. Ignatius pernah mengurai perihal ini di koran Kompas, tentang dua
sisi mata uang profesi wartawan, yang melihat kewartawanan dari sebuah lensa
(film). Wartawan ada sisi gelap dan sisi terangnya bagi kehidupan masyarakat.
Wartawan terang mengungkap berbagai skandal, mengungkap ketidakadilan sosial,
mengungkap kongkalikong bisnis yang terkait dengan kehidupan pemerintah, dan
sisi bawah tanah lainnya. Sedang wartawan gelap sebaliknya, ia sangat dekat
dengan sosok pebisnis maupun sosok politisi. Pebisnis bisa memanfaatkan “jasa”
wartawan untuk menginformasikan produknya agar sampai ke tengah-tengah
kehidupan masyarakat (akibat informasi produk di media melalui cara lembut
seperti ini, berita info produk dianggap lumrah, masyarakat menjadi seakan-akan
butuh produk tersebut).
Beberapa wartawan (melalui cerita
santai dengan saya) mengaku pernah dikontak oleh politisi begini: “Wartawan,
ada informasi menarik ini. Ada yang mau wawancarai saya?” // ”Kepada wartawan,
bisa tidak kita ketemu besok di tempat bla..bla...” Selain dua ajakan orang
yang kerap dijadikan narasumber itu (entah mengapa wartawan selalu menjadikan
politisi atau pengusaha sebagai narasumber, meski kadang beritanya tidak
terkait terhadap kehidupannya, cuma sebatas minta quote atau pendapat).
Seno Gumira, dalam Jangan (Terlalu) Percaya Media Massa,
pernah menulis begini: Namun denotasi
mendapat konotasi baru jika yang bergulat dengan pascabajir adalah Homo
Jakartensis yang disebut selebritis (mengikuti celebrity mestinya
selebritas), tetapi siapa pesohor (nah, ini terjemahan resminya) yang merasa
perlu kekumalan hidupnya tergelar di media massa? Para pesohor menelpon wartawan meski hanya kejentit jarinya, apalagi
jika mau kawin atau punya anak, tetapi tentu tidak jika rumahnya terendam
lumpur. Tidak cocok dengan citra pesohor dong. Itulah, meski perumahan
mewah juga ikut terendam sampai ke atap, lumpur banjir seperti hanya memberikan
satu konotasi: sial bener dah! Jangan sampai konotasi terkukuhkan dalam media
massa dan menjadi mitologi baru: pesohor itu rumahnya terendam banjir. Cerita
ini “tak layak berita”, jadi malah harus dirahasiakan.
Selanjutnya, tulisan Seno ini direspon oleh Agung
Rahmadsyah. Ia berpendapat begini: Meskipun
(tak jarang) esensi warta yang dihasilkannya tak lebih berarti dari sebuah
hasil yang rutin diproduksi oleh makhluk di seluruh belahan bumi manapun yang
memiliki pantat. Sebut saja defekasi, kalau anda masih sungkan menyebutnya
dengan kata berak. Jadi sekarang siapa yang salah? Medianya atau konsumennya? Konsumen (baca: masyarakat) seringkali
berujar bahwa berita yang dihasilkan oleh media A atau B adalah sampah. Tapi
ingat, media massa punya jurus penangkal maut, jurus itu bernama “atas
kebutuhan masyarakat.” Ingat, ke-bu-tuh-an. Dengan tingkat urgensi yang
lebih krusial ketimbang keinginan. Dengan kata lain, jika masyarakat tidak
butuh, media massa jelas tidak akan memuatnya. Begitu kan logika sederhananya?
Sehingga kalau kita komplain tentang berita A atau B adalah sampah, maka kita
memang (benar-benar) butuh sampah karena media massa secara terang-terangan
memuatnya. Bahkan tak jarang dengan porsi yang melebihi takaran.
Maman Suherman dalam bukunya yang
berjudul “Bokis: Kisah Gelap Dunia Seleb” menulis sketsa sisi gelap kehidupan
profesi wartawan. Wartawan retan terhadap amplop beruang, wartawan retan
terhadap godaan seks, tapi wartawan juga retan terhadap ancaman. Seorang
wartawan wilayah Jabar, untuk harian tersohor, menyatakan bahwa hampir setiap
hari menemukan amplop-amplop berisi di tengah-tengah proses peliputan. “Minimal
50 ribu. Jadi, tulisannya gak cerdas. Tulisannya jadi tulisan positif. Pernah
ada teman saya dikasih duit, tapi pas ada sisi berita negatifnya dia langsung
ditanyai narasumber.” Perlu dicatat, pada mekanisme kerja wartawan tidak
sedikit yang diperintah atasan untuk dekat dan menjalin hubungan dekat dengan
para politisi maupun pengusaha agar orang yang dianggap narasumber kompeten itu
mudah memberikan informasi maupun dimintai pendapat.
Tidak sedikit pula wartawan yang
menjadi sosok protagonis, yang menjalankan profesi mulianya, bagi masyarakat
(di dalam sejarah pers Indonesia, Pramoedya Ananta Toer mengulas Tirto Hadi
Soerjo, yang dianggapnya sebagai tokoh pers pertama Indonesia). Pram mengulas
tentang tanggung jawab moral Tirto sebagai tokoh pers. Tirto, guru Mas Marco
ini, tidak sungkan-sungkan memuat berita-berita pemerasan terhadap masyarakat
Banten, salah satunya.
Selain itu, Yus Aryanto pun
bercerita, dalam buku yang berjudul “Jurnalis Berkisah”, tentang wartawan yang
tetap berada pada garis ideologis. Wartawan juga mampu menembus batas-batas
informasi yang sulit terlacak, dan mengungkap skandal pajak perusahaan.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.