ARTIKEL PINTASAN

Saturday, November 24, 2012

Jangan Percaya Teks Media Massa (Semata)




Media massa, dalam hal ini pers, tidak mampu beroperasi tanpa pendapatan iklan. Coba hitung ada berapa media-media cetak di Jakarta yang tidak beroperasi lagi akibat kendala finansial. Majalah, tabloid, dan koran tidak bisa hanya bergantung pada penjualan oplah. Penjualan oplah tidak mampu menutup biaya opresional. Ketika iklan tidak didapatkan, oplah jadi titik nadir “kehidupan” perusahaan. Iklan sebagai tonggak “kehidupan” media massa. Ruh, dalam arti filsafat, kehidupan media massa adalah iklan.

Atas perkembangan IT-isme, media massa mulai beralih ke ruang online, yang dinilai sangat menguntungkan, dengan modal kecil (2 juta s.d 100 juta saja) dapat meraup keuntungan besar (bila statistik 1.000 pengunjung per hari, harga iklan dapat dipatok 3 juta s.d 15 juta per minggu, sesuai letak dan kesepakatan). Coba bandingkan modal media cetak. Seorang rekan pernah menyatakan, modal awal untuk mendirikan usaha majalah lifestyle mencapai 220 juta. Dibandingkan cetak, media online jauh lebih murah karena tidak perlu biaya cetak. Namun, terlepas dari perhitungan ekonomi keduanya, wartawan justru menjadi nilai plus minus. Artinya, wartawan dapat menguntungkan bila ia bisa merangkap promosi ke para pejabat atau para pengusaha. Di sisi lain, ia menjadi minus ketika wartawan dianggap tidak membantu peran promosi, dan minus-minus lainnya.


Faktanya, masih banyak wartawan bergaji di bawah 2 juta. Misalnya, salah satu koran ekonomi di wilayah Jakarta masih menggaji wartawan sebesar 1,75 juta. Di bawah otoritas kapital, perusahaan besar dengan penghasilan komoditas yang berpengaruh besar di masyarakat juga tidak menjamin pekerjanya dapat gaji yang layak. Biaya hidup, akumulasi ekonomi, terus berjalan seiring laju saham di pasar internasional, sehingga wartawan bergaji rendah pun terus terdesak. Pada akhirnya wartawan berpikir pragmatis.

Wartawan pun jadi terbelah. Ada wartawan profesinal-ideologis, ada wartawan profesional, dan ada wartawan pragmatis. Ignatius pernah mengurai perihal ini di koran Kompas, tentang dua sisi mata uang profesi wartawan, yang melihat kewartawanan dari sebuah lensa (film). Wartawan ada sisi gelap dan sisi terangnya bagi kehidupan masyarakat. Wartawan terang mengungkap berbagai skandal, mengungkap ketidakadilan sosial, mengungkap kongkalikong bisnis yang terkait dengan kehidupan pemerintah, dan sisi bawah tanah lainnya. Sedang wartawan gelap sebaliknya, ia sangat dekat dengan sosok pebisnis maupun sosok politisi. Pebisnis bisa memanfaatkan “jasa” wartawan untuk menginformasikan produknya agar sampai ke tengah-tengah kehidupan masyarakat (akibat informasi produk di media melalui cara lembut seperti ini, berita info produk dianggap lumrah, masyarakat menjadi seakan-akan butuh produk tersebut).

Beberapa wartawan (melalui cerita santai dengan saya) mengaku pernah dikontak oleh politisi begini: “Wartawan, ada informasi menarik ini. Ada yang mau wawancarai saya?” // ”Kepada wartawan, bisa tidak kita ketemu besok di tempat bla..bla...” Selain dua ajakan orang yang kerap dijadikan narasumber itu (entah mengapa wartawan selalu menjadikan politisi atau pengusaha sebagai narasumber, meski kadang beritanya tidak terkait terhadap kehidupannya, cuma sebatas minta quote atau pendapat).

Seno Gumira, dalam Jangan (Terlalu) Percaya Media Massa, pernah menulis begini: Namun denotasi mendapat konotasi baru jika yang bergulat dengan pascabajir adalah Homo Jakartensis yang disebut selebritis (mengikuti celebrity mestinya selebritas), tetapi siapa pesohor (nah, ini terjemahan resminya) yang merasa perlu kekumalan hidupnya tergelar di media massa? Para pesohor menelpon wartawan meski hanya kejentit jarinya, apalagi jika mau kawin atau punya anak, tetapi tentu tidak jika rumahnya terendam lumpur. Tidak cocok dengan citra pesohor dong. Itulah, meski perumahan mewah juga ikut terendam sampai ke atap, lumpur banjir seperti hanya memberikan satu konotasi: sial bener dah! Jangan sampai konotasi terkukuhkan dalam media massa dan menjadi mitologi baru: pesohor itu rumahnya terendam banjir. Cerita ini “tak layak berita”, jadi malah harus dirahasiakan.

Selanjutnya, tulisan Seno ini direspon oleh Agung Rahmadsyah. Ia berpendapat begini: Meskipun (tak jarang) esensi warta yang dihasilkannya tak lebih berarti dari sebuah hasil yang rutin diproduksi oleh makhluk di seluruh belahan bumi manapun yang memiliki pantat. Sebut saja defekasi, kalau anda masih sungkan menyebutnya dengan kata berak. Jadi sekarang siapa yang salah? Medianya atau konsumennya? Konsumen (baca: masyarakat) seringkali berujar bahwa berita yang dihasilkan oleh media A atau B adalah sampah. Tapi ingat, media massa punya jurus penangkal maut, jurus itu bernama “atas kebutuhan masyarakat.” Ingat, ke-bu-tuh-an. Dengan tingkat urgensi yang lebih krusial ketimbang keinginan. Dengan kata lain, jika masyarakat tidak butuh, media massa jelas tidak akan memuatnya. Begitu kan logika sederhananya? Sehingga kalau kita komplain tentang berita A atau B adalah sampah, maka kita memang (benar-benar) butuh sampah karena media massa secara terang-terangan memuatnya. Bahkan tak jarang dengan porsi yang melebihi takaran.

Maman Suherman dalam bukunya yang berjudul “Bokis: Kisah Gelap Dunia Seleb” menulis sketsa sisi gelap kehidupan profesi wartawan. Wartawan retan terhadap amplop beruang, wartawan retan terhadap godaan seks, tapi wartawan juga retan terhadap ancaman. Seorang wartawan wilayah Jabar, untuk harian tersohor, menyatakan bahwa hampir setiap hari menemukan amplop-amplop berisi di tengah-tengah proses peliputan. “Minimal 50 ribu. Jadi, tulisannya gak cerdas. Tulisannya jadi tulisan positif. Pernah ada teman saya dikasih duit, tapi pas ada sisi berita negatifnya dia langsung ditanyai narasumber.” Perlu dicatat, pada mekanisme kerja wartawan tidak sedikit yang diperintah atasan untuk dekat dan menjalin hubungan dekat dengan para politisi maupun pengusaha agar orang yang dianggap narasumber kompeten itu mudah memberikan informasi maupun dimintai pendapat.

Tidak sedikit pula wartawan yang menjadi sosok protagonis, yang menjalankan profesi mulianya, bagi masyarakat (di dalam sejarah pers Indonesia, Pramoedya Ananta Toer mengulas Tirto Hadi Soerjo, yang dianggapnya sebagai tokoh pers pertama Indonesia). Pram mengulas tentang tanggung jawab moral Tirto sebagai tokoh pers. Tirto, guru Mas Marco ini, tidak sungkan-sungkan memuat berita-berita pemerasan terhadap masyarakat Banten, salah satunya.

Selain itu, Yus Aryanto pun bercerita, dalam buku yang berjudul “Jurnalis Berkisah”, tentang wartawan yang tetap berada pada garis ideologis. Wartawan juga mampu menembus batas-batas informasi yang sulit terlacak, dan mengungkap skandal pajak perusahaan.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes