Bandung Laut(an) Kendaraan
Setelah hampir setahun,
sejak November 2011, Penulis meninggalkan hiruk-pikuk Bandung. September ini
Penulis menjajal hiruk-pikuk jalanan Bandung saat sore dan malam hari. Penulis
melewati beberapa titik, seperti Cileunyi, Cibiru, Ujung Berung, Dago, dan M
Toha. Pada waktu itu bukan sengaja ingin menjajal, melainkan Penulis harus
melewati jalur tersebut untuk bertemu dengan beberapa rekan.
Perubahan
drastis terjadi di titik-titik tersebut. Telah terjadi perubahan dalam kurun
waktu hampir setahun. Pada saat Penulis masih kuliah, dan sering melewati
titik-titik tersebut, jalanan belum terlalu macet. Macet masih dapat terurai
selang beberapa menit. Artinya, dalam hitungan tidak lebih dari lima menit
kemacetan masih dapat terurai. Tetapi, kini Cileunyi, Cibiru, Ujung Berung, Dago,
dan M Toha, macetnya sulit terurai. Bahkan, dari Ujung Berung hingga Cicaheum
kendaraan melaju hanyamelaju perlahan,
tidak lebih 40 km/jam.
Penduduk
Bandung memang semakin ramai, semakin bertambah, sebagai siklus rasio
kehidupan. Seiring pertambahan manusia tersebut, volume kendaraan di jalan raya
pun drastis bertambah, sehingga menyebabkan kemacetan parah. Bandung, sebagai
kota mode dan dikenal Paris Van Java, termasuk suatu wilayah masyarakat yang
produktivitas konsumsinya cukup tinggi dibandingkan wilayah-wilayah berbasis
metropolis lainnya. Faktor kondisi masyarakat seperti itulah yang menyebabkan
pasar komoditas kendaraan ramai ditaksir masyarakatnya.
Pertumbuhan
Pada
akhir tahun 2011, jumlah kendaraan pribadi di Bandung mencapai 1,2 juta unit,
dengan rincian 800 ribu unit sepeda motor dan 400 ribu unit mobil. Data ini
tercatat di Dinas Perhubungan Bandung. Bila mengacu pada kota Megametropolitan
Jakarta, yang tiap harinya ada penambahan kendaraan pribadi sekitar 2.000, bisa
jadi penambahan kendaraan pribadi di Kota Bandung pun mencapai 2.000 unit.
Apalagi bila mengacu pada data Dinas Perhubungan Kota Cimahi, Juli 2012, yang
menyatakan bahwa ada penambahan 820 unit kendaraan baru tiap hari.
Dalam
mengatasi persoalan laju kepemilikan (konsumsi) kendaraan itu, pemerintah
Bandung berencana membangun Trans Metro Bandung (TMB), Monorail, Kereta
Gantung, serta terminal terpadu di Gedebage. Selesaikah persoalan? Belum tentu,
sebab persoalan bukanlah pada infrastruktur maupun akses yang akan digunakan
kendaraan.
Persoalannya ialah
kesadaran masyarakat dan kesadaran pemerintah. 1.000 jalan tol dibangun pun
tidak akan mengatasi kemacetan Kota Bandung. 1.000 pembangunan kereta gantung
pun tidak akan mengatasi kemacetan. Solusi jalan tol maupun pelebaran jalan
justru mendukung masyarakat mengonsumsi kendaraan. 1.000 kereta gantung tanpa
ada jaminan kelayakan dan kenyamanan penumpang, seperti Busway (Trans Jakarta)
saat ini, justru hanya menjadi perhiasan publik semata, karena pada akhirnya
masyarakat akan tetap memilih kendaraan pribadi sebagai alat transportasi yang
nyaman dan aman.
Kesadaran
Kesadaran mengenai
konsumsi kendaraan perlu dibina. Pembentukan kesadaran akan lebih efektif bila
dilakukan sejak dalam pendidikan. Artinya, skala sekolah menengah atas (SMA)
perlu disertakan kurikulum mengenai konsumsi dalam kehidupan bermasyarakat.
Konsumsi di dalam
kehidupan bermasyarakat perlu dibatasi. Di tengah-tengah derasnya komoditas,
seseorang perlu pemahaman konsumsi secara bijak. Konsumsi yang bijak ialah
konsumsi yang tidak mengedepankan nilai prestise, melainkan memahami antara
kebutuhan dan keseimbangan sosial. Seperti konsumsi kendaraan, misalnya,
kebutuhan “alat” perpindahan (akses ke suatu wilayah ke wilayah lainnya)
sesungguhnya dapat diatasi dengan transportasi publik. Kendaraan pribadi
bukanlah suatu prioritas bila transportasi publik telah tersedia dengan baik,
sesuai standar keamanan dan kenyamanan masyarakat. Kesadaran masyarakat seperti
ini tentu akan berimbas pula terhadap kesadaran pemerintahan di masa yang akan
datang (perputaran generasi).
Mengenai kesadaran
pemerintah, sudah selayaknya pemerintah meniru negara-negara yang mampu
mengatur kebijakan jual beli kendaraan di masyarakat. Contohnya, Jepang, Cina,
dan Singapura. Pemerintahan dari ketiga negara ini berperan aktif dalam
mengelola kebijakan jual beli kendaraan. Di Singapura, misalnya, menerapkan
sistem kuota (vehicle quota system)
dan pemberian pajak yang tinggi terhadap kepemilikan kendaraan. Tentunya,
selain regulasi seperti itu, pemerintah pun perlu mewujudkan adanya
transportasi publik yang aman dan nyaman guna mendukung pembatasan konsumsi
kendaraan. Apabila regulasi berjalan dan transportasi umum tidak layak, maka
masyarakat tetap berprioritas pada konsumsi kendaraan pribadi.
Solusi yang selama ini
ditawarkan bukanlah solusi efektif. Hanya bersifat temporari atau sementara dan
seakan solusi fiktif. Sekali lagi, masyarakat membutuhkan solusi nyata:
pemahaman atau kesadaran serta didukung transportasi publik yang diciptakan
sesuai standar kenyamanan dan keamanan. Dengan begitu, semoga kelak, Penulis
tidak mengalami persoalan waktu pertemuan dengan rekan Penulis, yang pasti
dialami juga oleh warga Bandung, akibat kemacetan di Bandung.
Fredy
Wansyah
-Dimuat di harian Inilah Koran-
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.