ARTIKEL PINTASAN

Wednesday, November 21, 2012

Bandung Laut(an) Kendaraan





Bandung Laut(an) Kendaraan


Bandung Kota Macet

Setelah hampir setahun, sejak November 2011, Penulis meninggalkan hiruk-pikuk Bandung. September ini Penulis menjajal hiruk-pikuk jalanan Bandung saat sore dan malam hari. Penulis melewati beberapa titik, seperti Cileunyi, Cibiru, Ujung Berung, Dago, dan M Toha. Pada waktu itu bukan sengaja ingin menjajal, melainkan Penulis harus melewati jalur tersebut untuk bertemu dengan beberapa rekan.
            Perubahan drastis terjadi di titik-titik tersebut. Telah terjadi perubahan dalam kurun waktu hampir setahun. Pada saat Penulis masih kuliah, dan sering melewati titik-titik tersebut, jalanan belum terlalu macet. Macet masih dapat terurai selang beberapa menit. Artinya, dalam hitungan tidak lebih dari lima menit kemacetan masih dapat terurai. Tetapi, kini Cileunyi, Cibiru, Ujung Berung, Dago, dan M Toha, macetnya sulit terurai. Bahkan, dari Ujung Berung hingga Cicaheum kendaraan melaju hanyamelaju  perlahan, tidak lebih 40 km/jam.
            Penduduk Bandung memang semakin ramai, semakin bertambah, sebagai siklus rasio kehidupan. Seiring pertambahan manusia tersebut, volume kendaraan di jalan raya pun drastis bertambah, sehingga menyebabkan kemacetan parah. Bandung, sebagai kota mode dan dikenal Paris Van Java, termasuk suatu wilayah masyarakat yang produktivitas konsumsinya cukup tinggi dibandingkan wilayah-wilayah berbasis metropolis lainnya. Faktor kondisi masyarakat seperti itulah yang menyebabkan pasar komoditas kendaraan ramai ditaksir masyarakatnya.
           
            Pertumbuhan
            Pada akhir tahun 2011, jumlah kendaraan pribadi di Bandung mencapai 1,2 juta unit, dengan rincian 800 ribu unit sepeda motor dan 400 ribu unit mobil. Data ini tercatat di Dinas Perhubungan Bandung. Bila mengacu pada kota Megametropolitan Jakarta, yang tiap harinya ada penambahan kendaraan pribadi sekitar 2.000, bisa jadi penambahan kendaraan pribadi di Kota Bandung pun mencapai 2.000 unit. Apalagi bila mengacu pada data Dinas Perhubungan Kota Cimahi, Juli 2012, yang menyatakan bahwa ada penambahan 820 unit kendaraan baru tiap hari.
            Dalam mengatasi persoalan laju kepemilikan (konsumsi) kendaraan itu, pemerintah Bandung berencana membangun Trans Metro Bandung (TMB), Monorail, Kereta Gantung, serta terminal terpadu di Gedebage. Selesaikah persoalan? Belum tentu, sebab persoalan bukanlah pada infrastruktur maupun akses yang akan digunakan kendaraan.
Persoalannya ialah kesadaran masyarakat dan kesadaran pemerintah. 1.000 jalan tol dibangun pun tidak akan mengatasi kemacetan Kota Bandung. 1.000 pembangunan kereta gantung pun tidak akan mengatasi kemacetan. Solusi jalan tol maupun pelebaran jalan justru mendukung masyarakat mengonsumsi kendaraan. 1.000 kereta gantung tanpa ada jaminan kelayakan dan kenyamanan penumpang, seperti Busway (Trans Jakarta) saat ini, justru hanya menjadi perhiasan publik semata, karena pada akhirnya masyarakat akan tetap memilih kendaraan pribadi sebagai alat transportasi yang nyaman dan aman.

Kesadaran
Kesadaran mengenai konsumsi kendaraan perlu dibina. Pembentukan kesadaran akan lebih efektif bila dilakukan sejak dalam pendidikan. Artinya, skala sekolah menengah atas (SMA) perlu disertakan kurikulum mengenai konsumsi dalam kehidupan bermasyarakat.
Konsumsi di dalam kehidupan bermasyarakat perlu dibatasi. Di tengah-tengah derasnya komoditas, seseorang perlu pemahaman konsumsi secara bijak. Konsumsi yang bijak ialah konsumsi yang tidak mengedepankan nilai prestise, melainkan memahami antara kebutuhan dan keseimbangan sosial. Seperti konsumsi kendaraan, misalnya, kebutuhan “alat” perpindahan (akses ke suatu wilayah ke wilayah lainnya) sesungguhnya dapat diatasi dengan transportasi publik. Kendaraan pribadi bukanlah suatu prioritas bila transportasi publik telah tersedia dengan baik, sesuai standar keamanan dan kenyamanan masyarakat. Kesadaran masyarakat seperti ini tentu akan berimbas pula terhadap kesadaran pemerintahan di masa yang akan datang (perputaran generasi).
Mengenai kesadaran pemerintah, sudah selayaknya pemerintah meniru negara-negara yang mampu mengatur kebijakan jual beli kendaraan di masyarakat. Contohnya, Jepang, Cina, dan Singapura. Pemerintahan dari ketiga negara ini berperan aktif dalam mengelola kebijakan jual beli kendaraan. Di Singapura, misalnya, menerapkan sistem kuota (vehicle quota system) dan pemberian pajak yang tinggi terhadap kepemilikan kendaraan. Tentunya, selain regulasi seperti itu, pemerintah pun perlu mewujudkan adanya transportasi publik yang aman dan nyaman guna mendukung pembatasan konsumsi kendaraan. Apabila regulasi berjalan dan transportasi umum tidak layak, maka masyarakat tetap berprioritas pada konsumsi kendaraan pribadi.
Solusi yang selama ini ditawarkan bukanlah solusi efektif. Hanya bersifat temporari atau sementara dan seakan solusi fiktif. Sekali lagi, masyarakat membutuhkan solusi nyata: pemahaman atau kesadaran serta didukung transportasi publik yang diciptakan sesuai standar kenyamanan dan keamanan. Dengan begitu, semoga kelak, Penulis tidak mengalami persoalan waktu pertemuan dengan rekan Penulis, yang pasti dialami juga oleh warga Bandung, akibat kemacetan di Bandung.

Fredy Wansyah
-Dimuat di harian Inilah Koran-

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes