ARTIKEL PINTASAN

Wednesday, November 21, 2012

Memoar Aktivis Buruh Beno Widodo


Nyala Api Pejuang Buruh Beno Widodo
Oleh Fredy Wansyah

Di seberang jalan sana tanah lapang penuh kaos dan bendera berwarna merah. Tanggal 16 September 2012. Di tengahnya sebuah panggung menyurakan suara-suara politik buruh. Mereka seakan curhat yang cerdas, cerita tentang keluhan ekonomi hidup. Suara realitas kehidupan buruh.

Di bawah pohon trotoar jalan, ia duduk bersila. Matanya tajam. Ia menyatakan, “Mati suri gak kerasa apa-apa.”

Pernyataan tentang pengalamannya sendiri. Tentang sakit. Sekitar beberapa bulan sebelumnya, ia mengidap penyakit. Itu seakan puncak, setelah sebelumnya, beberapa tahun yang lalu, beberapa kali ia mengeluh encok. Rumah sakit jadi pelabuhan. “Antara kerasa dan gak kerasa di rumah sakit, tapi pas sadar-sadar udah diimpus.” Ia pun melanjutkan, “Terus diceritai, aku sempat kritis. Garis komputer, kayak film-film itu loh, udah lurus aja.” Sambil menggenggam balckberry ia melanjutkan, “Jantungku sempat gak jalan. Untung waktu itu saudaraku jaga aku di samping kan, langsung dia manggil orang rumah sakit, terus dipompalah jantungku.” Ia semangat hidup di kala kritis. Ia semangat hidup di kala sakit.

“Inilah sekarang,” ucapnya, menutup kisahnya selama rumah sakit. Wajahnya sumringah kala berkisah. Sambil sesekali melihat rekan-rekan berkaos merah hilir mudik di depannya. Di tengah-tengah lapangan, yang terletak di kawasan Cikarang, seberang jalan terdengar suara, “Mari kita dukung mogok nasional. Momen Halal Bihalal ini,” yang lantang dan berani.

Kini, usai Halal Bihalal, sebulan setelah itu, Oktober 2012, aktivitasnya kembali di Rancaekek. Ia masuk ke dalam rumah sederhana. Di tangannya kantung plastik hitam. Sesampainya tepat di ruang tamu, ruang yang biasa dijadikan ruang rapat, tepatnya di depan televisi, ia mengeluarkan isi kantung plastik itu. Dua botol air mineral beserta beberapa cemilan. “Resiko gak ngopi gini,” sindir seorang temannya, Mang Odoy, yang dipercaya rekan-rekan buruh lainnya untuk menghuni rumah sekretariat organisasi buruh itu. “Udah lama gak ngopi, gak berani ngopi ngerokok lagi, selama sakit parah kemarin,” paparnya.

Dalam perbincangan, dengan gestur tubuh tangan kiri di pinggang dan tangan kanan menggenggam blackberry, ia mengisahkan anaknya, Bagas. Bagas, anak laki-laki semata wayangnya, sering kali diceritakannya. Dulu, suatu ketika, ia berujar, “Sama yang lain di Madiun sana dia susah dibilangin. Tapi kalau udah aku yang bilang, lembut aja, pasti langsung nurut aja itu.” Beberapa kali pula ia menceritakan, ia, Bagas, dan rekan seorganisasinya berjalan-jalan ke Jogjakarta. Ia selalu menyinggung, ia selalu berbuat yang terbaik untuk Bagas. Ia berusaha agar Bagas tetap mengaji. Ia berusaha agar Bagas tetap rajin sekolah. Ia berusaha agar Bagas berperilaku baik kepada sesama. Ia sadar, tidak maksimal usaha-usaha itu akibat jarak dan aktivitasnya sebagai pengurus organisasi.

Di organisasi, ia selalu hilir mudik ke berbagai daerah. Andai kata, hari ini di Bandung dengan memegang uang seadanya tetapi esok sudah di Jogjakarta. Jawa, Sulawesi, Sumatera, bahkan daerah-daerah besar lainnya pernah disinggahi. Awalnya ia berkedudukan sebagai Sekretaris Jenderal keorganisasian yang dinaunginya. Ia tak sungkan menemui mahasiswa. Ia tak sungkan berdiskusi bersama mahasiswa. Ia tak ragu berkerjasama dengan mahasiswa yang ada di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jogjakarta, Makassar, hingga Sumatera Utara.

4 s.d 7 Februari 2005, KASBI resmi melakukan kongres pertama. Kongres yang memunculkan ide-ide dasar organisasi, kerja-kerja organisasi, maupun stuktur kepengurusan organisasi secara nasional. Sejak tahun 2005, ia resmi menjabat sekjen KASBI di pusat, Ibu Kota Jakarta. Kongres Aliansi Buruh Seluruh Indonesia. Ia dikenal sebagai Tri Pejuang Buruh PT Kahatex.

KASBI, awalnya hanya, merupakan himpunan serikat buruh yang berskala kecil. PBL (Persatuan Buruh Lampung) Lampung, FSBKU (Federasi Serikat Buruh Karya Utama) Tangerang, SBN (Serikat Buruh Nusantara) Tangerang, SBJP (Serikat Buruh Jabotabek Perjuangan) Bogor, SBI (Solidaritas Buruh Indonesia) Bogor, GSBI (Gabungan Serikat Buruh Independen) Jakarta, SPBDI (Serikat Perjuangan Buruh PT DADA Indonesia) Purwakarta, FPPB (Federasi Persatuan Perjuangan Buruh) Bandung, FSBSK (Federasi Serikat Buruh Setia Kawan) Solo, SERBUK (Serikat Buruh Untuk Keadilan) Wonosobo, FSBI (Federasi Serikat Buruh Independen) Semarang, KP SBY (Komite Persiapan Serikat Buruh Yogyakarta), KKBJ (Kelompok Kerja Buruh Jombang), SBPD (Serikat Buruh Payung Demokrasi) Sidoharjo, SBK (Serikat Buruh Kerakyatan) Surabaya, dan SBDM (Serikat Buruh Demokratik) Malang.

Suatu kali, jauh sebelum kondisi sakit-sakitan, ia bercerita, “Buat apa hidup elite tapi ideologi luntur?” Di kala menjabat sekjen banyak tawaran-tawaran menggiurkan datang kepadanya untuk bermain peran di tengah-tengah gerahnya Ibu Kota Jakarta, tapi ia tetap memilih hidup seperti adanya buruh-buruh yang lain. Suatu ketika ia menegaskan, “Aku itu benci sama orang-orang kaya yang suka ngawur.” “Mengendarai mobil semau-maunya aja,” imbuhnya. Menurutnya, lebih baik hidup menulis opini yang dapat upah ketimbang bermain peranan di Ibu Kota.

Tulisannya memang tak sebanyak para penulis opini atau penulis intelektual lainnya. Tulisannya hanya dapat ditemui dibeberapa ruang media, tetapi ia tetap loyal pada topik perburuhan dan hal-hal yang terkait. Ia pun, kadang, tidak melulu menulis dengan namanya sendiri, demi memenuhi kebutuhan melalui cara yang menurutnya bermartabat di garis ideologi kiri. Kadang menggunakan identitas orang lain karena adanya batasan pengiriman opini.

9 November 2012, Jumat malam, pesan singkat elektronik menggiring rekanan di beberapa daerah untuk menunjukkan simpati, salam doa, dan hormat terakhir, berkumpul di AMC Cileunyi, sebelum ia diberangkatkan ke Madiun. Di tengah-tengah kerumunan saat masa subuh itu, Mang Odoy, rekanan sepermainan kartu di kala waktu senggang, terisak tangis sambil berkata, “Baru kamari heureuy,” sembari dirangkul seseorang untuk menenangkannya. Jam menunjukkan pukul 3 pagi, kerumunan yang berkisar ratusan orang menatapi sebuah ambulan yang membawa jasadnya, Bheno Widodo, lelaki tamatan STM, meninggalkan RS AMC untuk dimakamkan di Madiun.


//
May Day Dan Berkuasanya Kelas Pekerja
May Day dan LMF (Labour Market Flexibility): oleh Beno Widodo

May Day sebagai tongggak kemenangan kaum buruh dalam merebut 8 jam kerja sangat terasa semangatnya dalam 2 tahun terakhir. Ini dikarenakan semangat perlawanan terhadap kebijakan negara yang pro pemodal dilakukan oleh banyak elemen Buruh, bukan saja yang terbiasa dengan aksi massa tetapi juga organisasi yang sebelumnya tidak terbiasa dengan aksi massa pun turun ke jalan. Pada hakikatnya momentum May Day sebagai hari buruh internasional tidak saja hanya sebagai �peringatan� tetapi juga dijadikan ajang konsolidasi kekuatan buruh dan sarana perjuangan kaum buruh di indonesia. 
Aksi-aksi di seputar bulan Mei di beberapa negara oleh serikat buruh atau aliansinya adalah alat untuk menyuarakan dan memperjuangkan kondisi kerja, kepastian kerja dan kesejahteraan kaum buruh. Kebijakan yang dilawan oleh kaum buruh di dunia saat ini adalah sama yakni melawan kebijakan kapitalisme internasional yang menerapkan system kerja yang fleksibel dengan menerapkan sistem kerja kontrak dan outsourcing. Dengan cara itu, kapitalis dengan semena-mena membayar upah murah dan dengan mudah melakukan pemutusahan hubungan kerja kepada buruh. Pengusaha mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat karena hanya mengeluarkan biaya yang rendah. 

Fred dan Henry Magdoff dari Monthly Review, sebuah jurnal sosial terkemuka di Amerika Serikat, menulis di bulan April 2004 bahwa konsep LMF (Labour Market Flexibility/Pasar Tenaga Kerja yang Fleksibel) merupakan jawaban kapitalisme atas kondisi yang menimpanya mulai akhir 1970-an yang ditandai oleh: (1) Lambatnya pertumbuhan ekonomi; (2) Menumpuknya uang di bank-bank (terutama bank kredit); (3) Timbunan hutang dan kredit macet. Selain itu kapitalisme sudah pada titik jenuh, yang ditandai dengan tidak adanya teknologi yang benar-benar baru. 

Untuk penerapan LMF di Indonesia, pemerintah melalui Bappenas, mengeluarkan argument bahwa LMF yang diterapkan melalui sistem kerja kontrak dan oursourcing memungkinkan terciptanya lapangan kerja yang lebih besar. Namun argumen ini tidak melihat akibatnya yang buruk yaitu jumlah penghancuran lapangan kerja yang juga sama besarnya. Pemerintah tidak pernah membicarakan penghancuran lapangan kerja ini. 

Hubungan Industrial Yang Menindas 

Praktek dalam keseharian menunjukkan bahwa sistem kerja kontrak dan outsourcing terjadi pada semua jenis industri dengan waktu yang tidak tentu juga. Bahkan di wilayah padat industri (seperti Surabaya dan Tangerang) hampir 60% buruh dipekerjakan dengan sistem kontrak dan outsourcing (hasil penelitian sistem kerja oleh FPBN tahun 2004, di wilayah Tangerang dan Surabaya). 

Artinya, aturan sudah tidak baik karena memberikan ruang untuk melakukan system kerja kontrak dan outsourscing namun pada pelaksanaannya lebih buruk lagi dari undang-undang yang ada. Selain outsourcing pada buruh melalui yayasan atau penyalur tenaga kerja, di lapangan juga ditemukan banyak sekali outsourcing/sub-kontrak produksi dari perusahaan-perusahaan ke rumah-rumah (Jurnal Akatiga, 2005, informalisasi hubungan industrial). 

Cara-cara memaksakan sistem kontrak dan outsourcing di Indonesia sangat beragam, namun ada kesamaan alasan yang umum dimunculkan oleh pengusaha dan pemerintah yakni agar tercipta lapangan pekerjaan bagi pengangguran. Modus operandi yang dipakai, bisa dilihat dari beberapa kasus yang merupakan hasil survey dan dimuat dalam Jurnal Perburuhan FPBN Mei-Oktober 2004: (1) Perusahaan menutup perusahaan dengan alas an bangkrut, namun membuka perusahaan baru dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing; (2) Perusahaan memberikan iming-iming agar buruh mengundurkan diri dengan pesangon tidak sesuai, selanjutnya sistem kerja dirubah menjadi kontrak; (3) Membuat program pensiun dini; (4) Melakukan �pemutihan�/pembaruan masa kerja. 
Namun di luar hal di atas, mayoritas perusahaan baru menerapkan sistem kerja kontrak dan outsourcing. 

Kemudian dampaknya bagi buruh akibat sistem kontrak dan outsourcing adalah: Pertama, Tidak adanya kepastian jaminan kerja bagi kaum buruh. Dengan sistem taktik sistim kerja kontrak dan outsourcing untuk mendapatkan upah buruh yang murah pengusaha melakukan penutupan perusahaan dengan berbagai dalih; Kedua, Tingkat kesejahteraan yang menurun dan tidak mampu menjawab kebutuhan sehari-hari. Ini dibuktikan oleh Survey Sosial Ekonomi Nasional, Maret 2006 oleh BPS dimana pendapatan per kapita di daerah perkotaan adalah Rp. 150.799,-/bulan. Artinya di daerah industri mengalami penurunan tingkat pendapatan dan ini berimbas pada pemenuhan kebutuhan hidup; Ketiga, Melemahnya kekuatan serikat buruh. Ini dikarenakan mengurangnya anggota yang ter-PHK dan buruh yang dikontrak tidak berani berserikat disebabkan ancaman PHK; Keempat, Daya tawar buruh/pekerja menjadi lemah. Hal ini disebabkan perjanjian kerja yang individual dan lebih banyak hanya dalam bentuk lisan. 

Gagalnya LMF 

Pengadopsian kebijakan LMF oleh pemerintah telah menunjukkan kegagalannya dalam mengatasi pengangguran. Terbukti dari data yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009 dalam BAB 23 tentang Ketenagakerjaan, Bagian IV.16 � 4, sebagai berikut: 

Kondisi ketenagakerjaan pada tahun 2003 menunjukkan belum adanya perbaikan, bahkan berdasarkan perkembangan angka pengangguran terbuka selama 5 tahun terakhir menunjukkan jumlah yang terus meningkat. Pengangguran terbuka yang berjumlah sekitar 5,0 juta orang atau 4,7 persen dari jumlah angkatan kerja pada tahun 1997 meningkat menjadi sekitar 6 juta orang atau 6,4 persen di tahun 1999, dan sekitar 9,5 juta orang atau 9,5 persen pada tahun 2003. Tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2003 berdasarkan jenis kelamin, sebanyak 13 persen perempuan dan laki-laki 7,6 persen. Berdasarkan tingkat pendidikan dan kelompok usia, pengangguran terbuka sebagian besar untuk kelompok Sekolah Menengah Umum yaitu 16,9 persen, dan perguruan tinggi 9,1 persen, sedangkan untuk kelompok usia didominasi oleh usia muda (15-19 tahun)yaitu sebesar 36,7 persen.

Selain itu, penelitian Cesar Alonso-Borrego (Universitas Carlos III de madrid), Jesus Fernandez-Villaverde (Universitas of Pennsylvania) dan Jose E. Galdon-Sanchez (Universidad Publica de Navarra) di tahun 2004 juga menunjukkan bahwa LMF justru menciptakan tingkat pengangguran yang lebih besar. Maka sistem yang merugikan buruh dan gagal diterapkan untuk mengurangi pengangguran serta meningkatkan taraf hidup harus diganti dengan sistem yang lebih maju, lebih baik dan berkeadilan. 

Politik Kelas Pekerja 

Kondisi obyektif di Indonesia sekarang ini, adalah kurangnya kondisi subyektif dalam usaha sendiri dari kelas buruh untuk menahan gempuran kapitalisme, misalnya ketiadaan pemimpin potensial kaum buruh dengan program ideologi buruh yang jelas. Akibatnya gerakan buruh mengalami kemunduran yang sangat membahayakan dalam kondisi sekarang ini. Meskipun UU PPHI sempat ditunda selama satu tahun atau penundaan revisi UUK 13/2003, para pemimpin kaum buruh (serikat pekerja konservatif) nampaknya menyetujui upaya itu tanpa berusaha untuk membatalkan dan membuat format baru yang lebih adil untuk kepentingan kaum buruh, mereka lebih percaya dengan forum tripartite (pemerintah, pengusaha dan wakil serikat yang pro pemerintah/pengusaha). 

Cara ini hanyalah metode lain dari para kapitalis dalam mengimplementasikan program mereka, apalagi dengan adanya persetujuan dari para pemimpin kaum buruh. Yang pada akhirnya mereka akan mencoba meyakinkan serikatnya masing�masing untuk menerima keputusan yang ada, dan yang lebih celaka adalah para pemimpin buruh tersebut sungguh�sungguh setuju dengan argumentasi dari kaum kapitalis/pemilik modal. 

Untuk melawan pengaruh program kapitalis terhadap para pemimpin kaum buruh, serikat buruh dan pemimpin serikat buruh haruslah berupaya mengemukakan program alternatif. Alasan penolakan belaka tidak akan pernah meningkatkan kesadaran kelas buruh. Apa yang diperlukan adalah program yang berawal dari realitas nyata untuk merumuskan alternatif yang diinginkan dan yang dapat meletakkan kelas buruh di jalan yang menuju masyarakat yang adil. 

Setiap hasil yang didapat dalam pembuatan undang�undang perburuhan merupakan keuntungan yang diperoleh bagi kelas buruh. Namun, kita tidak melakukan pendekatan melalui undang�undang perburuhan sebagai tujuan dari pendekatan itu sendiri. Upaya perjuangan bagi hukum perburuhan yang baik merupakan pelengkap dalam pembangunan oganisasi kelas buruh dengan tujuan seperti masyarakat lainnya yakni demokrasi yang adil. Dan pada jaman Indonesia sekarang ini, hukum merupakan sudut pandang awal yang baik dalam memulai, jika kita tetap berpijak pada pendekatan perundangan dari sudut pandang yang luas dari perubahan sosial. Kenyataan yang nyata sekarang ini adalah kaum buruh, walaupun mereka dapat tumbuh secara radikal, mereka masih banyak terindokrinisasi oleh ideologi gerakan anti�komunis dari rezim Orde Baru. Akibatnya, mayoritas atau sebagian besar tidak mempunyai arahan ketika berbicara mengenai teori�teori besar ideologi buruh. Namun dengan melihat hukum perburuhan di masa Orde Lama, jembatan yang akan menghubungkan dengan ide�ide ideologi buruh akan terbentuk. Pertanyaan yang ada seharusnya melihat dari jawaban mengapa di masa yang lalu undang�undang perburuhan jauh lebih baik. 

Yang berarti pembentukan kesadaran kaum buruh tentang sejarah kelas mereka. Setiap pergerakan membutuhkan akar sejarah, untuk membentuk identitas dan juga untuk belajar dari kesalahan masa lalu. Sekarang bila terfokus pada undang�undang perburuhan dari Orde Baru, maka tidak akan dapat menyelesaikan permasalahan. Dan bukanlah alasan dengan mengatakan bahwa gerakan buruh di masa yang lalu lebih kuat daripada gerakan di masa sekarang. Hal yang utama serta mendasar adalah gerakan buruh kuat dikarenakan adanya ideologi buruh yang sebenar-benarnya! 

Perjuangan kaum buruh tidak membatasi mereka hanya untuk mencapai perundang�undangan yang baik saja. Karena kenyataan menunjukan bahwa di bawah kekuasaan kaum pengusaha/pemilik modal perundang�undangan tersebut tidak pernah akan terlaksana. Dalam perjuangan mereka untuk menegakan hak� hak bagi kaum buruh, kaum buruh akan berhadapan dengan kepentingan majikan, sudah tentu majikan akan menentang kepentingan kaum buruh. Kaum buruh seharusnya memulai mencari bentuk alternatif yang lain. Dan didorong agar diarahkan pada persoalan tentang pentingnya ideologi kelas pekerja. Pada masa sekaranglah semua individu yang mengakui ideologi kelas pekerja dengan serikat�serikat buruh seharusnya dapat memanfaatkan setiap kesempatan dalam upaya mempercepat proses penyadaran ideologi agar lebih progresif. Kesabaran untuk menjelaskan potensi tersebut bisa dipastikan akan menjadi kenyataan. 

Menyatukan ideologi kelas buruh tentunya tidak cukup dalam serikat buruh tetapi kaum buruh juga harus sadar dan mulai membangun kekuatan partai politik kelas pekerjanya sendiri. Ini sebagai jawaban bahwa kelas pemilik modal/borjuis juga memakai partai borjuis untuk memaksakan kepentingan ekonominya, selain alat-alat lainnya yang dipakai. 

Untuk itulah jawaban kaum buruh dalam melawan kapitalisme harus dengan cara-cara politik, dari berserikat buruh sampai berpartai politik. Tentunya juga dengan cara-cara lain yang bisa mengurangi dan merongrong kekuatan kapitalisme. Hingga pada satu titik, kapitalisme bisa dihancurkan secara bersama-sama dan merubahnya menuju berkuasanya kelas pekerja yang mengatur kehidupan tanpa penghisapan manusia terhadap manusia lainnya. 
--------------------------------------------------------------------- 
[1] Penulis adalah Sekjen Pengurus Pusat Konggres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek. 



//

SAJAK-SAJAK BENO WIDODO

PERSELINGKUHAN

( Episode sang pengkhianat-1 )
Rentetan waktu selalu memberi pilihan-pilihan
Pilihan menjadi cermin sikap, komitmen dan tujuan hidup
Dia tidak bisa memungkiri dari kasat mata sahabat, kawan atau keluarga
Sumpah yang kita ucapkan untuk bersama memperjuangkan nasib
Adalah ikatan indah di tengah cibiran dan ancaman dari orang berdasi
Terurai menjadi pilar-pilar penyangga perjalanan kita
Tengah hari perjalanan kita, terik membakar jiwa
Gersang tanah tempat berpijak dan keringnya kerongkongan
Adalah keindahan berharga didesah resah
Godaan dan rayuan adalah juga pilihan
Kursi empuk dan ruang berAC, juga dengan gaji gede
Membawaku untuk meninggalkan semua
Meninggalkan semua komitmen dan sumpah
Meninggalkan keindahan-keindahan dalam kebersamaan
Meninggalkan semua pengertian dan menjadi musuh bersama pilihan kita dahulu
Tengah hari perjalanan, sesaat kuhirup udara AC dan gaji gede
Sesaat kunikmati kursi empuk dengan menjadi robot majikan
Sesaat saja semua telah kutikam untuk amannya posisi
Sesaat memang telah menghancurkan semuanya,
Semua komitmen, sumpah dan pilihan-pilihan
Dan sesaat itu pula perselingkuhanku membuahkan hasil
Pilihan sesaatku telah mengantarkan pada kenistaan
Sesaat kunikmati kemewahan dan sesaat itu pula berakhir
Seiring hancurnya kebersamaan, akupun di PHK
Sesaat memang hanya sesaat
Apa yang kubisa kunikmati dari perselingkuhan nista ini
Semua kawan pergi dan waktu tiada yang bisa kembali
( Rancekek, 1999, Koeli yang tak mau diakali. Untuk Sop, Ar, Nd, BB dalam K-97 )

Baru dan Hilang
(Episode sang pengkhiat-2)
Dua bulan telah kuterima jabatan sebagai supervisor,
Hebat….gengsiku naik dihadapan banyak orang,
Gajiku ikut naik….
Telah kubeli sepeda motor impian,
Dan rumah mewah untuk ukuran pekerja pabrik,
Plus kudapatkan selingkuhan baru……
Ini bulan ketiga, banyak kudapatkan hal yang baru
Tetapi aku menjadi sepi, kawanku pada pergi
Irikah mereka ?……
Ohhh..ternyata tidak, mereka masih menyapaku
Mereka masih menengokku saat aku tidak masuk kerja
Mereka perhatian memberiku obat dan nasehat
Aku baru sadar, yang hilang adalah ingatan sehatku
Janjiku untuk bersama memperjuangkan hak,
Telah kuingkari menggantinya dengan jabatan
Kini, aku terpenjara
Dalam keputusan besar yang salah
Segala yang baru telah menghilangkan nilaiku sebagai manusia
(Rancaekek feb-2000, Koeli yang tak mau diakali. Untuk Sop, Ar, Nd, BB dalam K-97)

DI UJUNG SENJA DI SIMPANG JALAN

( Episode sang pengkhianat-3 )
Lembayung mengejekku, apa yang kau punya sekarang?
Bertahun tahun mengabdikan diri pada majikan
Menyerahkan tenaga, pikiran dan waktu,
Mencibir kawan yang dikecewakan majikan,
Manjadi anjing penjaga yang patuh setia
Kini, kau dilempar seperti sepah ketempat sampah
Terkucil membuat bangun kesadaranku.
Kesalahan besar mengabdi pada keserakahan,
Aku mengumpat tak menjawab,
Tangis anak dan tatap nanar istri
Lebih menggairahkanku, untuk mengatakan
Besok makan apa? besok anakku mau jadi apa?
Mentari mengintip digaris langit, sambil mengingatkanku
Mengapa kemarin kau penurut, menjilat dan mau ditipu
Kau memisahkan dirimu dari kawan kawanmu
Mengapa kemarin kau diam saat ditindas,
Menyingkirkan kaum duafa pada kenistaan,
Dan melupakan bahwa kaum duafalah pemimpin terpilih
Aku tak mampu mengeja lagi, bahkan bergumampun
Diperempatan ini menjadi sandaran hidup
Menanti tangan menaruh kasihan, dibawah sinis kedip mata
Sampai malam menjelang dan pagi tiba.
Tiada yang bisa dibanggakan sedikitpun oleh pengkhinat kaumku sendiri
Sejarah sekalipun tak pernah memaafkanny
( Rancaekek 080801, Koeli yang tak mau diakali )

Watak diri
Kebimbangan adalah pertentangan dalam diri
Setiap sikap yang diambil adalah cermin watak diri
Apakah mengikuti watak penindas atau tertindas
Penindas mencari untung sendiri dengan segala cara
Yang tertindas selalu melawan, penuh setia kawan
Semua kita pertanggung jawabkan dihadapan massa dan sejarah
(Rancaekek, 020100, pada titik 00.15)

PERTEMUAN
Setiap Pertemuan selalu ada makna yang terpendam
Entah bagaimana kita mengartikannya
Perjalanan ini hanya sesaat, sangat singkat
Untuk kita bisa mengurai menjadi cerita indah
Datang dan pergi adalah keharusan sejarah
Maka, menghadapi yang ada dan menjalaninya dengan keyakinan
Adalah keharusan pula
Kenangan-kenangan adalah bunga-bunga
Yang tak bisa kita gapai dalam alam nyata
Dia hanya bisa kita hadirkan dengan Pertemuan
(Teruntuk Sahabatku: Mirah dan Laras Ati, feb-2000)



//
Beberapa Wawancara dengan Beno Widodo:

Beno Widodo: Kelas Pekerja Perlu Perjuangan Politik

Sejak rejim Soeharto dilengserkan pada 21 Mei 1998, gerakan buruh menikmati ruang demokrasi yang relatif lebar. Buruh kini bebas beroganisasi, bebas berekspresi, dan juga bebas berdemonstrasi. Sesuatu yang terkutuk di masa rejim Soeharto.

Tetapi, soalnya sejauh mana ruang keterbukaan dan kebebasan itu memperkuat posisi tawar buruh di hadapan kapital? Bagaimana strategi klas pekerja menghadapi dominasi dan kuasa kapital yang didukung negara? Untuk membedah soal ini, berikut wawancara kolektif pimpinanPerhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), dengan Beno Widodo, sekretaris jenderal Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI).

Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP): Apa definisi ‘klas pekerja’ menurut anda?

Beno Widodo (BW): Klas merupakan dialektika bentuk ekonomi politik dalam sejarah panjang perkembangan masyarakat. Dan ini terbentuk jauh berabad-abad lalu, yang telah membagi masyarakat ke dalam dua bentuk yaitu, penindas/penguasa dengan yang tertindas. Dalam artian, penindas/penguasa adalah klas yang menguasai alat-alat produksi, sedangkan yang tertindas adalah klas yang hanya menjual tenaga/keahliannya untuk bertahan hidup. Karakter inilah yang saling membedakan dari keduanya, antara reaksioner dengan revolusioner.

PRP: Maksud anda antara reaksioner dengan revolusioner?

BW: Klas yang tertindas atau klas pekerja memiliki budaya kolektif (bersama-sama) dan egaliter (persamaan), dimana budaya ini telah mengakar dan menjadi sebuah karakter yang kuat di dalam kehidupannya. Perjuangannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, penuh dengan kerja keras serta keuletan dan ini merupakan cerminan dari watak yang revolusioner. Berbeda dengan klas penguasa, yang lebih mengandalkan kepemilikannya akan alat-alat produksi, karena bagi mereka (klas penguasa) hal yang terpenting adalah bagaimana caranya untuk mempertahankan kekayaannya. Di era perbudakan, untuk menghindari perlawan para budak belian, sang majikan pun harus tega untuk mengekang kebebasan budak-budaknya sendiri. Begitu pula di era kapitalisme seperti saat-saat ini. Dengan semangat neoliberalisme, sang kapital (pemilik modal/penguasa) memiliki motif yang sama yaitu, mengekang kebebasan klas pekerja di dalam lingkungannya sendiri, melalui sebuah institusi hukum yang dilahirkan oleh sebuah negara yang memihak kapital. Sebagai contoh adalah UUK No.13/2003 yang mencerminkan praktek-praktek kejam klas penguasa (pemodal) terhadap klas pekerja. Melalui UU itu, sistem kerja kontrak danoutsourching dilegalkan sehingga, semakin menghilangkan cita-cita untuk dapat hidup damai dan sejahtera bagi klas pekerja.

PRP: Lalu bagaimana cara yang seharusnya dilakukan oleh klas pekerja dalam memandang UUK No.13/2003 ini?

BW: Kapitalisme adalah corak yang berbasiskan modal yang memroduksi komoditi (barang dagangan) untuk dijual dan meraup keuntungan. Sedangkan, di dalam proses produksi sendiri membutuhkan tenaga kerja (buruh) yang bekerja penuh untuk mengubah bahan mentah menjadi sekian banyak komoditi yang memiliki nilai di pasar. Artinya, ada dua unsur yang terdapat di dalam kapitalisme yaitu, modal (uang dan alat-alat produksi seperti pabrik atau mesin-mesin) dan tenaga kerja, sehingga dengan demikian, dengan logika kapital, untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar adalah dengan menekan modal seminimal mungkin sembari meningkatkan produktifitas (jumlah produksi). Inilah akar permasalahan di dalam proses produksi kapitalisme. Dan ini pula yang menjadi salah satu kekuatan bagi negara untuk melahirkan UUK N0.13/2003.

Sedangkan yang kedua, adalah desakan dari kekuatan-kekuatan modal internasional, akibat krisis kapitalisme global yang menyapu bersih perekonomian bangsa-bangsa dunia. Sebagai konsesi yang harus diterima akibat ketertundukan terhadap modal internasional (perusahaan multi nasional, MNC: multi nasional coorporation), yang tertuang di dalam kesepakatan-kesepakatan (LoI, MoU) antara pemerintah dengan badan-badan organisasi dunia (WB, CGI, WTO), pemerintah dipaksa menghapus segala kebijakan yang sifatnya sosial serta meratifikasi semua kebijakan industrialisasi (UUK, UU Penanaman Modal Asing, dan UU Jamsostek) dan masuk ke dalam jaring Labour Market Flexiblety (LMF). Artinya, cara-cara kapitalis untuk mengatasi krisis ini adalah dengan memangkas segala bentuk kesejahteraan klas pekerja serendah mungkin serta, menghapuskan jaminan dan keselamatan kerja. Bahkan, tidak hanya itu, untuk terus menghilangkan tanggung jawab kapitalis terhadap klas pekerja dan yang tengah berkembang saat-saat ini, adalah membangun kerjasama dengan perusahaan-perusahaan penyalur tenaga kerja, sehingga klas pekerja pun semakin tidak memiliki nilai tukar terhadap sang kapitalis. Inilah yang termaktub didalam UUK No.13/2003 dengan sistem kontrak dan outsourching.

PRP: Lalu bagaimana dengan revisi UUK itu sendiri?

BW: Esensinya tidaklah berbeda dengan UUK itu sendiri yaitu, tetap menindas klas pekerja dengan menghapuskan jaminan serta kesejahteraan klas pekerja.

PRP: Jika demikian, bisakah klas pekerja mengubahnya? Jika bisa dengan cara apa?

BW: Kontradiksi yang ada di dalam corak kapitalisme ini adalah antara klas pekerja sebagai klas yang tertindas berhadapan dengan klas pemilik modal (kapital/penguasa/pengusaha). Dan ini tidak mungkin bisa terdamaikan. Klas yang berkuasa, misalnya, tidak akan mungkin secara sukarela bersedia mengalah, membagi atau menyerahkan kekuasaannya kepada klas yang lain (klas pekerja).

Di Indonesia, keseriusan pemerintah untuk membangun keterpurukan ekonomi akibat krisis global adalah dengan menanggok hutang serta memangkas hak-hak klas pekerja (subsidi) dan ini bukanlah satu hal yang mampu menyentuh pokok permasalahan yang ada. Jerat kapitalisme harus dilawan dengan kekuatan yang terstruktur dan bahkan hingga saat ini kekuatan-kekuatan tersebut barulah mencapai tingkat sektoral. Untuk itu perlu satu kekuatan politik yang di dalamnya terhimpun berbagai macam kekuatan dan yang harus dikuasai oleh klas pekerja sendiri sebagai sentral perjuangan politik klas pekerja.

Inilah agenda yang mendesak bagi klas pekerja untuk menandingi kekuatan negara dan hanya alat ini pula yang mampu merumuskan arah perjuangan politik dengan tepat menuju demokrasi klas pekerja.***

Dimuat di Indoprogress.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes