Lebaran baru saja usai, dan berbagai macam keriuhan telah dilalui masyarakat, seperti keriuahan jalan raya, keriuhan mall-mall, keriuhan tempat-tempat wisata, dsb. Keriuhan itu akan membuat dampak buruk bagi perkembangan psikologi seseorang setelah mendapati tuntutan sosial dalam wujud kultural. Tunututan tersebut ialah tuntutan berpakaian baru. Seakan pakaian baru telah menjadi syarat berlebaran. Pakaian yang mahal membuat seseorang harus berpikir lebih dalam lagi untuk mendapatkan pakaian baru. Demi prestise tertentu, kadang seseorang rela mengeluarkan uang sebesar apa pun demi nilai dalam simbol sosial yang tersaji di dalam suatu pakaian.
Begitu hebatnya sebuah pakaian, mampu membuat nilai prestise, derajat, maupun status (strata) sosial. Pakaian rapi berdasi menempatkan pemakainya sebagai orang yang memiliki posisis penting dalam suatu ruang lingkup, seperti pengusaha, pegawai kantor, dan pejabat. Biasanya pemakai pakaian jenis ini dianggap sebagai orang yang berekonomi tinggi, berpikir matang, dan ambisius. Pakaian casual (kaos dan celana jins) menempatkan pemakaian sebagai orang yang biasa-biasa saja, seperti pelancong dan wisatawan. Biasanya pemakai pakaian jenis ini dianggap sebagai orang yang berekonomi menengah ke atas. Begitulah dua wujud pakaian yang menempatkan seseorang ke dalam suatu strata tertentu.
Pakaian memiliki nilai simbol sosial tersendiri, selain didasarkan pada latar si pemakainya. Pakaian memiliki identitas sosial dan sekaligus memiliki identitas pribadi. Seseorang pun rela mengeluarkan uang dengan harga tinggi demi nilai prestise yang menguntungkan bagi dirinya, untuk mendapatkan cita rasa dan untuk mendapatkan nilai sosial tadi.
Tubuh tiap-tiap individu jelaslah berbeda. Tubuh si Anu dengan tubuh si Inu berbeda ukurannya. Tubuh si Anu mungkin saja sama ukuran pinggangnya dengan si Inu, tetapi belum tentu sama postur lengan dan bahunya. Begitulah soal perbedaan ukuran, selain berat pun belum tentu sama antarindividu.
Dalam Abad ke-18 tubuh-tubuh di Eropa dipolitisasi, terkait dengan hasrat seorang kepemimpinan. Tapi, jauh dari itu, sebelum abad pertengahan, tubuh, baik laki-laki maupun perempuan, pun telah dipandang sesuatu yang menarik, sehingga kerap menjadi objek seni (berada di dalam karya seni). Di bumi Nusantara juga menunjukkan sikap ‘pemujaan tubuh’ melalui wujud budaya.
Secara biologis tubuh merupakan organisme. Sebagai organisme, tubuh dapat memengaruhi orang lain dan membantu si empu tubuh dalam meraih apa yang diinginkan. Roger Poole, dalam paparan hal seperti ini, menegaskan bahwa tubuhlah yang menghidupkan dunia ini. Di luar sebatas organisme, tubuh dianggap memiliki nilai tersendiri bagi si empunya. Tubuh kerap dianggap sebagai perayaan kekuatan dan menjadi keindahan manusia.
Dari zaman ke zaman, tubuh dianggap penting dan bersifat privat yang memiliki nilai keindahan tadi. Tubuh pun dibaluti sekumpulan benang, daun, dan sebagainya. Tubuh yang terbuka akan menunjukkan keindahan yang terbuka pula, sehingga tubuh dibaluti agar tidak dapat dinikmati oleh sembarang orang. Muncul pulalah mode tubuh, pakaian yang membaluti tubuh, dari zaman ke zaman.
Tiap-tiap mode dipengaruhi oleh budaya dan zamannya. Namun, adanya proses produksi massal atas kerja-kerja kapitalisme, pakaian menjadi seirama, seragam, sebentuk, dan seukuran. Nilai perbedan tubuh tidak ada lagi. Pakaian pun diciptakan lebih dahulu, tanpa mengetahui ukuran tubuh yang akan menggunakannya. Produsen tidak pernah tahu, siapa dan bagaimana kondisi tubuh yang akan memakainya. Pakaian-pakaian yang diproduksi kemudian didistribusikan ke pasar (marketisasi). Di pasar, konsumen tidak mengetahui apakah pakaian diproduksi untuk tubuhnya. Penjual pun tidak sesungguhnya hanya tahu menjual pakaian yang dipajang di tokonya. Penjual berprioritas pada keuntungan (added value), bukan pada kesesuaian ukuran tubuh dengan pakaian dari berbagai lini (lengan, badan, pinggung, bahu, dan sebagainya).
Tanpa kesadaran, pembeli (konsumen) hanya membeli dengan nilai-nilai di luar kesadaran tubuh. Kesadaran terhadap ukuran dan bentuk tubuhnya. kesadaran terhadap makna tubuhnya sendiri. Sebagai pembeli seakan mengabaikan, baju di toko itu tubuh siapa?
Di Indonesia, bagi produsen pakaian, momen lebaran menjadi surga. Tradisi lebaran mendukung produsen terus menggeliat produksi massal pakaiannya (komoditas) ke pasar. Dari berbagai usia, dari berbagai latar, dan dari berbagai daerah, masyarakat yang termasuk merayakan momen lebaran akan berduyun-duyun datang ke toko pakaian.
Seperti apa yang penulis dapati (dari Kepadamu.com), Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto mencatat bahwa tradisi lebaran dengan pakaian baru dimulai sejak tahun 1596 di bawah naungan kerajaan Banten. Pada masa itu Banten sebagai wilayah perdagangan orang-orang asing yang masuk ke Nusantara telah menjadi suatu wilayah yang berwarna Islam, saat lebaran masyarakat menyiapkan baju-baju baru, dengan cara menjahit tangan. Sama halnya di kerajaan Mataram, pada jelang akhir Ramadan masyarakat berduyun-duyun membuat pakaian baru.
Momen lebaran bukan semata mengutamakan makna kebaruan apa yang dipakainya, melainkan mengandung nilai prestise atau gengsi dan nilai strata sosial tersendiri. Apalagi momen seperti itu didukung dengan adanya perkumpulan sanak saudara yang jauh, seakan memungkinkan untuk menunjukkan keberhasilan secara ekonomi kepada keluarga lainnya.
Fredy Wansyah
Peminat kajian budaya massa
-dimuat di Kepadamu.com-
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.