![]() |
ilustrasi tendangan bola ke gawang (foto: blogspot) |
Mantera
lima percik mawar
tujuh sayap merpati
sesayat langit perih
dicabik puncak gunung
sebelas duri sepi
dalam dupa rupa
tiga menyan luka
mangasapi duka
puah!
kau jadi Kau
Kasihku
Wahai pembaca sekalian, pasti di antara kalian penggemar
sepak bola. Entah itu Persib, Arema, Persebaya, Sriwijaya, atau yang lainnya.
Entah mana pun itu klub sepak bola kesukaan kalian, yang jelas, kalau menonton
klub kesayangan tanding dari TV sudah barang pasti ada dukun baca mantra.
Saya lagi gak membual, serius deh, karena saya bukan
politisi penggalang suara. Coba tengok kutipan puisi Sutardji di atas, tertera
diksi “puah!”. Kok sepintas gaya berpuisi Om Sutardji mirip gaya komentator
sepak bola ya? Itu loh, komentator di ajang Piala Sudirman Cup. Sama-sama punya
diksi tiruan bunyi. Di puisi itu ada “puah!” dan di TV kalian ada “cetar!” atau
“jeder”.
Untuk Om Tardji, yang katanya Presiden Penyair, maaf ya
disetarakan puisinya dengan komentator sepak bola. Bukan maksud merendahkan kok,
Om. Serius deh, karena saya bukan simpatisan partai, saya jujur kok ini. Bukan
maksud menyamakan harga jual puisi “Mantera” Om Tardji dengan harga kontrak
komentator sepak bola. Semua juga udah tahu sih, di negeri ini, “karya” komentator sepak bola
jauh lebih mahal berkali-kali lipat dibandingkan karya puisi.
Kalau Om Tardji membaca tulisan ini, sekali lagi maafkan
saya ya, Om. Saya cuma bermaksud mengupas gaya bahasa komentator sepak bola
kok, Om. Soalnya gaya komentarnya belum menunjukkan sikap revolusi mental, Om.
Cuma ikut-ikutan gaya komentatornya almarhum Yopie, yang sering bilang “jeger”
sampai sekarang dikenal “Yopie Jeger”. Eh, taunya, gayanya Yopie dijiplak meski
Presiden udah ganti.
Udahlah jiplak, eh malah arti diksinya juga ngawur. Untuk
membuktikan, cobalah tengok arti “cetar” di KBBI. Komentator pakai “cetar!” di
kala pemain menendang keras bola ke arah gawang. Kalau cetar itu kan bunyi
cambuk, masa sih dipakai untuk tendangan bola ke gawang lawan. Apa iya si
pemain bawa cambuk untuk mengarahkan bola ke gawang lawan?
Itu hal ihwal “cetar”, belum lagi hal “jeder”. Di KBBI sih
tak ada arti “jeder”. Di orang awam seperti anak Jokowi lima tahun lalu, “jeder”
biasanya diartikan bunyi halilintar. Kalau begitu, apa iya para pemain sepak
bola pakai jurus-jurus tokoh komik ciptaan Kosasih?
Di antara kalian pasti ada yang mengira bahwa gaya diksi itu
supaya ramai. Kalian mengira, komentatornya menggelegar maka tontonan bola pun
semarak. Itu semata-mata supaya bola ditonton tidak bunyi “krik..krik..” atau bunyi
pantulan bola semata. Komentator sekelas FIFA di Liga Inggris sana, Jim Beglin
aja tak begitu, tapi tontonan tetap semarak. Kalau ada gol, Jim cuma bilang “gol”
dengan nada yang panjang, kira-kira jadi “gooool….!”
Ada lagi soal penalaran komentatornya. Soal penalaran ini,
kalian pasti waswas. Bayangkan saja, komentator yang ditonton jutaan umat,
melebihi umatnya Jonru di facebook tentunya, malah melontarkan cara pikir yang
penalarannya jongkok bak kodok di samping tembok.
Begini kalimat, “seandainya saja gol tadi tidak dianulir,
Persix akan menang.” Konteksnya begini, klub Persix kalah lebih dahulu. Lawan
Persix unggul satu gol, tak berapa Persix menciptakan gol tapi dianulir wasit.
Sepuluh menit kemudian, Persix ubah skor jadi 1-1. Sisa pertandingan 10 menit
lagi. Sampai waktu habis, skor tetap 1-1. Nah, di akhir pertandingan itulah si
komentator berujar seperti kalimat tadi.
Bukannya kalau gol yang dianulir itu tak dianulir malah
mengubah segala kemungkinan? Mungkin saja gol kedua Persix tak ada. Mungkin
saja si kipper Persix malah cidera. Mungkin saja si striker Persix malah
ditekel keras oleh pemain lawan. Probabilitasnya sangat tinggi, soalnya di
lapangan ada 11 pemain Persix dan 11 pemain lawan ditambah 1 wasit. Ke-23 orang
sudah barang tentu membuat banyak kemungkinan. Ini hitung-hitungan matematis,
sebelas mata dadu ketemu sebelas mata dadu probabilitasnya tinggi.
“Seandainya Jokowi tidak terpilih jadi Presiden, pasti
ekonomi nasional tidak bobrok kayak begini.” Loh, kok bisa? Duh, komentator ya mbok belajar penalaran dulu sama guru
filsafat, mungkin ke Romo Magniz atau ya sama Cak Nun juga bisa.
Apalagi? Masih banyak
hal remeh temeh yang tak penting. Misalnya, bola sudah keluar lapangan, eh
komentatornya ikut berkomentar, “bola keluar lapangan.” Bukannya penonton tahu,
kan lagi nonton. Komentator sepak bola di radio nyebut begitu masih wajar, kan
pendengar tak lihat ke mana arah bola. Lah, ini TV loh, semua penontonnya lihat
gerak bola, kecuali kameramennya lagi nge-shoot cewek cakep di tribun penonton.
Kalau kalian komentari komentator begitu, sepertinya cocok
juga komentarnya begini, “ah, dasar dukun sepak bola, susah dimengerti orang
awam.”
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.