Melihat media
(elektronik dan cetak) seperti melihat pertempuran antarkelompok suku di dalam
film-film. Ia terus berperang sampai tetes darah terakhir. Pengikut-pengikutnya
rela mati demi sang penguasa. Suku yang satu mempersiapkan alat-alat perang,
sementara suku lainnya mempersiapkan strategi pertahanan wilayah. Analogi
perang pada media massa itu lebih mewakili suatu frasa “perang ideologi”.
Media yang satu bertendensi
liberalisme, media yang satu bertendensi multikulturalisme, media yang satu
lagi bertendensi keagamaan, dan lain-lainnya. Segala berita seakan dapat
diprediksi arah pemberitaan. Judul-judul berita seakan tidak terlepas dari
tendensi masing-masing.
Ideologi, seolah
pisau, mampu menakutkan dan mampu menolong si empu. Dengan ideologi, orang bisa
ini dan itu. Bak pahlawan. DI sisi lain, ideologi menakutkan bak sosok mistik
atau apa pun itu yang menakutkan.
Pandangan itulah
yang dahulu kerap menjadi cara pandang kala mahasiswa. Selalu skeptis, penuh
kecurigaan ideologis. Selalu menduga di luar batas kenyataan.
Faktanya, banyak
hal proses pembentukan berita di luar batas cara pandang tersebut. Bayangkan,
toh tidak sedikit wartawan yang hidup dengan penghasilan pas-pasan. Toh ada saja
wartawan yang sesungguhnya tidak memadai soal pengetahuan kebahasaan. Toh ada saja
wartawan yang tidak memahami etika jurnalistik. Toh ada saja wartawan yang
tidak memahami teknik pewacanaan.
Salalu ada
wartawan yang membuat tulisan (berita) “yang penting jadi”. Salalu ada wartawan
yang membuat tulisan “asal bapak senang”. Selalu ada wartawan yang membuat
tulisan “kejar target”.
Sementara
dahulu, berita dipandang suatu tulisan yang ditulis sungguh-sungguh dengan
segala pengetahuan dan teknik seorang wartawan. Seolah-olah berita merupakan
suatu wujud “perang ideologi” yang diracik secara sungguh-sungguh. Begitulah (teks)
wacana dikupas dari cara pikir mahasiswa, tanpa informasi ihwal proses dan “dasar”
terbentuknya wacana itu.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.