ARTIKEL PINTASAN

Thursday, September 19, 2013

Khawatir Kesehatan Keluarga



Kartu Jakarta Sehat (Foto: jakarta.go.id)
Di dalam bus kopaja saya duduk tidak jauh dari seorang perempuan tua. Saat dalam perjalanan, sayup-sayup telinga saya mendengar pembicaraan melalui telepon seluler. Suaranya cukup keras. Lantas, seumpama kelantangan laki-laki. Saya semakin ingin ihwal pembicaraannya karena nada bicaranya seperti itu.
“Kau tolonglah kami. Waktu dan tenaga pasti aku habiskan agar suamiku bisa sembuh,” katanya dengan nada memohon seakan ikut menjadi pesakitan. Topiknya cukup menarik, sehingga aku ingin mengetahui lebih lanjut perbincangan perempuan berdialek asal daerahnya itu.
Ia membicarakan ihwal pesakitan, yang tak lain ialah suaminya sendiri. Ia berbicara kepada salah seorang saudaranya untuk meminta pertolongan. Cara yang ia tempuh adalah penggunaan KJS (Kartu Jakarta Sehat), sebuah kartu jaminan kesehatan, demi penyembuhan sang suami. Namun, KJS pun tidak mudah digunakan karena urusan administrasi yang dianggapnya sangat merepotkan. Kesulitan administrasi itulah membuat dirinya melobi sanak saudaranya agar mampu memperlancar segala urusan administrasi.
Benak saya berpikir, begitu susahnya ternyata mendapat kesehatan di negeri yang kaya isi alamnya ini. Agar mendapatkan kesehatan, ternyata harus membuat orang lain ikut menjadi pesakitan seperti ingin menangis. Selayaknya perempuan di bus itu.
Perempuan itu hanyalah gambaran perihal kondisi kesehatan di Indonesia. Begitu sulitnya menjadi manusia sehat di Indonesia.
Namun, situasi kesehatan di Indonesia dinyatakan setiap tahun semakin membaik. Ada dua indikatornya. Pertama, indikator makro. Kedua, indikator mikro.
Dalam indikator makro, salah satunya, dilihat dari angka kematian ibu dan angka kematian anak. World Bank, melalui situsnya, memublikasi penurunan angka kematian anak. Pada tahun 1960 tercatat 220 per 1.000 angka kelahiran hidup. Sementara pada tahun 2007 tercatat 45 per 1.000 angka kelahiran hidup. Di sisi lain, masih terkait indikator makro, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat, melalui program pembangunan, 2013, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) angka kematian ibu berada pada angka 220 per 100.000 kelahiran hidup.
Salah satu faktor yang sering disorot, baik di Indonesia maupun di dunia, sebagai indikator mikro, ialah pengidap HIV/AIDS. Pada persoalan HIV/AIDS ini, World Bank menegaskan bahwa situasi di Indonesia cukup tinggi di dalam skala negara-negara ASEAN. Namun, Indonesia bukan negara pengidap terburuk di dunia. Setidaknya, kampanye perihal HIV/AIDS setiap tahun semakin masif.
Indikator-indikator tersebut merupakan bagian dari titik-titik perbaikan. Situasinya dapat diumpamakan “bermuka dua”. Di satu sisi indikator itu dari tahun ke tahun mengalami  perbaikan. Di sisi lain, proses perbaikan tersebut belum cukup memuaskan. Penilaian belum cukup memuaskan itu dapat dilihat dari proses peraihan kesehatan di tengah kehidupan masyarakat, seiring peningkatan biaya kesehatan di Indonesia setiap tahun. Berdasarkan survei Global Medical Trends Report dari Towers Watson, 2012, biaya penyembuhan meningkat sekitar dari 10,70% ke 13,55% per tahun.
“Akses atas layanan berkualitas sering terhalang oleh kurangnya pekerja kesehatan yang berkualifikasi terutama bagi masyarakat miskin dan mereka yang tinggal di daerah terpencil,” begitu pernyataan World Bank. Suatu penilaian yang terkait pada situasi demografis Indonesia. Perluasan instrumen kesehatan tidak merata, sehingga cakupan kesehatan pun tidak merata.

***
Meski banyak muncul wacana dan pemahaman tentang asuransi kesehatan, hingga kini masyarakat belum merata mendapati hal ihwal asuransi kesehatan. Di ruang-ruang publik kadang kala kita temui iklan layanan asuransi kesehatan. Di layar televisi pun dahulu sempat sering muncul iklan asuransi kesehatan. Di kolom-kolom opini juga sama, sering memunculkan tulisan-tulisan perihal asuransi kesehatan.
Itu saja tidak cukup. Toh masyarakat belum berprioritas pada penyisihan uang kesehatan. Bisa saja penyakit besar datang tiba-tiba. Kemungkinan muncul tiba-tiba itu sesuai kondisi zaman saat ini, yang semakin hari gaya hidup manusia semakin retan terhadap penyakit. Tetapi, masyarakat masih enggan berpikir pada dimensi yang akan datang itu. Kepedulian berasuransi kesehatan masyarakat, misalnya, masih rendah.
Presiden Direktur PT Sun Life Financial Indonesia Bert Paterson menjelaskan bahwa kepedulian terhadap kesehatan saja masih rendah. Masyarakat berprioritas pada penyisihan uang untuk pendidikan.
”Dengan berkembangnya usia rata-rata hidup pasti problem kesehatan jadi utama. Problem kesehatan tak bisa lepas dari problem keuangan,” papar Bert Paterson kepada wartawan koran Koran Sindo, seperti ditulis di laman daring (online) koran tersebut (www.koran-sindo.com/node/319239).
Dengan berasuransi, pihak penyedia layanan asuransi tersebut menegaskan, ada banyak manfaat yang dapat diambil. Dua di antaranya ialah usia pertanggungan dan akses layanan di rumah sakit (RS). Manfaat ini dapat menjadi pelindung kesehatan keluarga.

Saya kira, seandainya perempuan di dalam bus itu telah turut serta dalam asuransi kesehatan, pelayanan kesehatan dan keunganan bukan menjadi kendala. Seandainya pula ia telah memahami hal ihwal asuransi kesehatan jauh-jauh hari, tentu memungkinkan ia akan memilih berasuransi untuk kesehatan keluarga. Dan, ketika suaminya sakit seperti itu, ia tidak perlu akan berbicara lantang dan tidak berbicara seperti menunjukkan sedang menangis.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes