Kartu Jakarta Sehat (Foto: jakarta.go.id) |
Di dalam bus
kopaja saya duduk tidak jauh dari seorang perempuan tua. Saat dalam perjalanan,
sayup-sayup telinga saya mendengar pembicaraan melalui telepon seluler.
Suaranya cukup keras. Lantas, seumpama kelantangan laki-laki. Saya semakin
ingin ihwal pembicaraannya karena nada bicaranya seperti itu.
“Kau tolonglah
kami. Waktu dan tenaga pasti aku habiskan agar suamiku bisa sembuh,” katanya
dengan nada memohon seakan ikut menjadi pesakitan. Topiknya cukup menarik,
sehingga aku ingin mengetahui lebih lanjut perbincangan perempuan berdialek asal daerahnya itu.
Ia membicarakan
ihwal pesakitan, yang tak lain ialah suaminya sendiri. Ia berbicara kepada
salah seorang saudaranya untuk meminta pertolongan. Cara yang ia tempuh adalah
penggunaan KJS (Kartu Jakarta Sehat), sebuah kartu jaminan kesehatan, demi penyembuhan sang suami. Namun,
KJS pun tidak mudah digunakan karena urusan administrasi yang dianggapnya
sangat merepotkan. Kesulitan administrasi itulah membuat dirinya melobi sanak
saudaranya agar mampu memperlancar segala urusan administrasi.
Benak saya
berpikir, begitu susahnya ternyata mendapat kesehatan di negeri yang kaya isi
alamnya ini. Agar mendapatkan kesehatan, ternyata harus membuat orang lain ikut
menjadi pesakitan seperti ingin menangis. Selayaknya perempuan di bus itu.
Perempuan itu
hanyalah gambaran perihal kondisi kesehatan di Indonesia. Begitu sulitnya
menjadi manusia sehat di Indonesia.
Namun, situasi
kesehatan di Indonesia dinyatakan setiap tahun semakin membaik. Ada dua
indikatornya. Pertama, indikator
makro. Kedua, indikator mikro.
Dalam indikator
makro, salah satunya, dilihat dari angka kematian ibu dan angka kematian anak.
World Bank, melalui situsnya, memublikasi penurunan angka kematian anak. Pada
tahun 1960 tercatat 220 per 1.000 angka kelahiran hidup. Sementara pada tahun
2007 tercatat 45 per 1.000 angka kelahiran hidup. Di sisi lain, masih terkait
indikator makro, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat, melalui program
pembangunan, 2013, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) angka kematian ibu berada
pada angka 220 per 100.000 kelahiran hidup.
Salah satu
faktor yang sering disorot, baik di Indonesia maupun di dunia, sebagai
indikator mikro, ialah pengidap HIV/AIDS. Pada persoalan HIV/AIDS ini, World
Bank menegaskan bahwa situasi di Indonesia cukup tinggi di dalam skala
negara-negara ASEAN. Namun, Indonesia bukan negara pengidap terburuk di dunia. Setidaknya, kampanye perihal HIV/AIDS setiap tahun semakin masif.
Indikator-indikator
tersebut merupakan bagian dari titik-titik perbaikan. Situasinya dapat
diumpamakan “bermuka dua”. Di satu sisi indikator itu dari tahun ke tahun
mengalami perbaikan. Di sisi lain, proses
perbaikan tersebut belum cukup memuaskan. Penilaian belum cukup memuaskan itu
dapat dilihat dari proses peraihan kesehatan di tengah kehidupan masyarakat,
seiring peningkatan biaya kesehatan di Indonesia setiap tahun. Berdasarkan
survei Global Medical Trends Report dari Towers Watson, 2012, biaya penyembuhan
meningkat sekitar dari 10,70% ke 13,55% per tahun.
“Akses atas
layanan berkualitas sering terhalang oleh kurangnya pekerja kesehatan yang
berkualifikasi terutama bagi masyarakat miskin dan mereka yang tinggal di daerah
terpencil,” begitu pernyataan World Bank. Suatu penilaian yang terkait pada situasi
demografis Indonesia. Perluasan instrumen kesehatan tidak merata, sehingga
cakupan kesehatan pun tidak merata.
***
Meski banyak
muncul wacana dan pemahaman tentang asuransi kesehatan, hingga kini masyarakat
belum merata mendapati hal ihwal asuransi kesehatan. Di ruang-ruang publik
kadang kala kita temui iklan layanan asuransi kesehatan. Di layar televisi pun
dahulu sempat sering muncul iklan asuransi kesehatan. Di kolom-kolom opini juga
sama, sering memunculkan tulisan-tulisan perihal asuransi kesehatan.
Itu saja tidak
cukup. Toh masyarakat belum berprioritas pada penyisihan uang kesehatan. Bisa
saja penyakit besar datang tiba-tiba. Kemungkinan muncul tiba-tiba itu sesuai
kondisi zaman saat ini, yang semakin hari gaya hidup manusia semakin retan
terhadap penyakit. Tetapi, masyarakat masih enggan berpikir pada dimensi yang
akan datang itu. Kepedulian berasuransi kesehatan masyarakat, misalnya, masih
rendah.
Presiden
Direktur PT Sun Life Financial Indonesia Bert Paterson menjelaskan bahwa
kepedulian terhadap kesehatan saja masih rendah. Masyarakat berprioritas pada
penyisihan uang untuk pendidikan.
”Dengan
berkembangnya usia rata-rata hidup pasti problem kesehatan jadi utama. Problem
kesehatan tak bisa lepas dari problem keuangan,” papar Bert Paterson kepada
wartawan koran Koran Sindo, seperti
ditulis di laman daring (online)
koran tersebut (www.koran-sindo.com/node/319239).
Dengan
berasuransi, pihak penyedia layanan asuransi tersebut menegaskan, ada banyak
manfaat yang dapat diambil. Dua di antaranya ialah usia pertanggungan dan akses
layanan di rumah sakit (RS). Manfaat ini dapat menjadi pelindung kesehatan
keluarga.
Saya kira,
seandainya perempuan di dalam bus itu telah turut serta dalam asuransi
kesehatan, pelayanan kesehatan dan keunganan bukan menjadi kendala. Seandainya
pula ia telah memahami hal ihwal asuransi kesehatan jauh-jauh hari, tentu
memungkinkan ia akan memilih berasuransi untuk kesehatan keluarga. Dan, ketika
suaminya sakit seperti itu, ia tidak perlu akan berbicara lantang dan tidak
berbicara seperti menunjukkan sedang menangis.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.