sampul Bayang-bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi |
Resensi Bayang-bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi - Meninggalnya Uje
–sebutan untuk Ustaz Jefri- memberi kesdihan bagi umat. Seperti lautan, Uje
diiringin ribuan pesedih yang mengantarkan jenazah ke salah satu pemakaman di
Jakarta Pusat. Ustaz kondang yang kerap tampil trendi dan modis mampu menarik
minat massa lewat dakwah dan penceritaannya. Kepergiaannya dianggap sebagai
luka yang mendalam.
Uje adalah salah
satu dari sekian dai kondang yang populer melalui televisi. Sebut saja lainnya
Ustaz Ilham, Ustad Solmed, dan Ustaz Yusuf Mansur. Semua menjadi kondang atas
peran pengelolaan manajemen pertelevisian.
Uje dan ustaz
lainnya tersebut hanyalah sebagian dari realitas keagamaan saat ini. Suatu
realitas yang didasari atas perkembangan wacana agama. Artinya, antara wacana
dan realitas keagamaan saling bersinggungan. Wacana agama yang disampaikan
melalui figur (ustaz) merupakan sebuah penanda zaman, sebuah perkembangan
realitas keagamaan masa kini. Sudut pandang, dimensi, pembatasan ruang, hingga
unsur-unsur yang membentuknya sangat terbatas. Itu dilakukan melalui, misalnya,
media televisi. Media televisi tidak memberikan ruang ketidakbebasan. Salah
satunya, penonton, sebagai penerima wacana, terbatas ruang-sudut.
Penerimaan
wacana seperti itu perlu pendekatan kultural, cultural studies. Suatu cara pemahaman ala posmodernisme. Bagi
Yasraf Amir Piliang, di dalam Bayang-bayang
Tuhan: Agama dan Imajinasi, pendekatan cultural
studies dapat memahami wacana agama pada babak pascamodern ini.
Melalui buku
yang diterbitkan Mizan ini, Yasraf menyampaikan cara pandang keberadaan agama
saat bukan lagi sebatas persoalan transeden, bukan lagi sebatas persoalan
penyerahan diri pada teks (agama), dan buka pula persoalan klasik perdebatan
perihal Tuhan. Keberadaan agama terkait zamannya. Zaman itu melahirkan
bagaimana keberadaan agama dipahami, di dalam suatu konteks zaman yang penuh
posmodernitas.
Poststrukturalisme
merupakan suatu bentuk perlawanan. Perlawanan terhadap “suatu yang
sentralistik”, perlawanan terhadap homogenisasi, dan perlawanan terhadap narasi
besar (grand narrative). Pada kondisi
seperti itu, agama tidak lagi terpusat pada “suatu”. Wacana agama bukan lagi
sesuatu yang setralistik. Ia ada di mana-mana.
Agama dapat
dipahami subjek tanpa kekakuan. Wacana agama dapat dipahami tanpa harus
meletakkan pada dasar yang formalitas. Tanpa memandang lebih jauh persoalan
praktik keagamaan dan keberagamaan, postrukturalisme bertitikberat pada teks.
Dalam hal ini ialah teks-teks agama. Misalnya, bagi umat muslim, teks tersebut
berupa Alquran.
Di dalam logika
postrukturalisme, wacana agama harus mengikuti logika populisme. Praktik dakwah
dan ritualitas keagamaan, misalnya, yang dibangun di dalam media televisi akan
mengubah beberapa bentuk dan prinsipnya, karena ia harus mengikuti logika
budaya populer yang dibangun oleh televisi (halaman 50).
Media elektronik
menjadi media penyaluran wacana yang akan dikembangkan menjadi populer.
Media-media tersebut berupa media digital, seperti televisi, internet (cyberspace), dan sebagainya. Logika yang
dibentuk pun mengandung logika kepopuleran, menjadi sesuatu yang “lebih dari
sekadar”.
Media itu
membentuk hiperrealitas. Subjek tidak merujuk pada realitas lagi sebagai
referensinya. Ada bentukan di atas realitas tersebut, hiperrealitas. Hiperrealitas
yang telah mengandung unsur pencitraan itu merekonstruksi subjek, kemudian
membentuk hiperrealitas kembali, dan seterusnya.
Perbincangan
mengenai keterkaitan antara dua spritualitas dan cyberspace itu ada tiga persoalan mendasar yang menyangkut keagamaan
yang tampaknya perlu diperhatikan, yaitu: (1) ruh (spirit); (2) jiwa (soul);
(3) Tuhan (God) (halaman 276).
Begitulah Yasraf
memerinci pemahaman wacana keagamaan. Dengan memandang wacana di luar batas
narasi besar. Ia mendeskripsi dengan sistematika melalui teks keagamaan, zaman,
sifat keagamaan, relasi-relasi keagamaan, kepemahaman “yang keagamaan”, hingga
gejala keagamaan. Semuanya dibagi tiga subbab, yakni (1) Agama dan Imajinasi,
(2) Agama dan Populisme, dan (3) Agama dan Virtualitas. Di dalam bukunya ini,
Yasraf “mengajak” pembaca memahami wacana keagamaan tidak terjebak pada
populisme dan pencitraan di era digital saat ini. Ia “mengajak”
ketidakterjebakan pada narasi-narasi keagamaan pada dimensi pertelevisian
semata. Tidak terjebak pada logika populisme narator wacana keagamaan di dalam
televisi tersebut. Pun ketidakterjebakan pada ruang cyber untuk mencapai keilahian.
Meski Yasraf
hanya menwarkan sebuah metode (cara pandang), ia telah “terjebak” pada
keagamaan tersebut. Sifatnya bukan agama sebagai “sesuatu yang universal”. Di
dalam buku setebal 372 halaman ini Yasraf melulu membicarakan Islam.
Judul Buku: Bayang-bayang
Tuhan: Agama dan Imajinasi
Penulis Buku: Yasraf
Amir Piliang
Penerbit: PT Mizan Publika
Cetakan: Mei 2011
Tebal: 372 halaman
ISBN-13: 978-602-96864-8-7
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.