ARTIKEL PINTASAN

Wednesday, September 18, 2013

Agama Era Digital




sampul Bayang-bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi
Resensi Bayang-bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi - Meninggalnya Uje –sebutan untuk Ustaz Jefri- memberi kesdihan bagi umat. Seperti lautan, Uje diiringin ribuan pesedih yang mengantarkan jenazah ke salah satu pemakaman di Jakarta Pusat. Ustaz kondang yang kerap tampil trendi dan modis mampu menarik minat massa lewat dakwah dan penceritaannya. Kepergiaannya dianggap sebagai luka yang mendalam.
Uje adalah salah satu dari sekian dai kondang yang populer melalui televisi. Sebut saja lainnya Ustaz Ilham, Ustad Solmed, dan Ustaz Yusuf Mansur. Semua menjadi kondang atas peran pengelolaan manajemen pertelevisian.
Uje dan ustaz lainnya tersebut hanyalah sebagian dari realitas keagamaan saat ini. Suatu realitas yang didasari atas perkembangan wacana agama. Artinya, antara wacana dan realitas keagamaan saling bersinggungan. Wacana agama yang disampaikan melalui figur (ustaz) merupakan sebuah penanda zaman, sebuah perkembangan realitas keagamaan masa kini. Sudut pandang, dimensi, pembatasan ruang, hingga unsur-unsur yang membentuknya sangat terbatas. Itu dilakukan melalui, misalnya, media televisi. Media televisi tidak memberikan ruang ketidakbebasan. Salah satunya, penonton, sebagai penerima wacana, terbatas ruang-sudut.
Penerimaan wacana seperti itu perlu pendekatan kultural, cultural studies. Suatu cara pemahaman ala posmodernisme. Bagi Yasraf Amir Piliang, di dalam Bayang-bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi, pendekatan cultural studies dapat memahami wacana agama pada babak pascamodern ini.
Melalui buku yang diterbitkan Mizan ini, Yasraf menyampaikan cara pandang keberadaan agama saat bukan lagi sebatas persoalan transeden, bukan lagi sebatas persoalan penyerahan diri pada teks (agama), dan buka pula persoalan klasik perdebatan perihal Tuhan. Keberadaan agama terkait zamannya. Zaman itu melahirkan bagaimana keberadaan agama dipahami, di dalam suatu konteks zaman yang penuh posmodernitas.
Poststrukturalisme merupakan suatu bentuk perlawanan. Perlawanan terhadap “suatu yang sentralistik”, perlawanan terhadap homogenisasi, dan perlawanan terhadap narasi besar (grand narrative). Pada kondisi seperti itu, agama tidak lagi terpusat pada “suatu”. Wacana agama bukan lagi sesuatu yang setralistik. Ia ada di mana-mana.
Agama dapat dipahami subjek tanpa kekakuan. Wacana agama dapat dipahami tanpa harus meletakkan pada dasar yang formalitas. Tanpa memandang lebih jauh persoalan praktik keagamaan dan keberagamaan, postrukturalisme bertitikberat pada teks. Dalam hal ini ialah teks-teks agama. Misalnya, bagi umat muslim, teks tersebut berupa Alquran.
Di dalam logika postrukturalisme, wacana agama harus mengikuti logika populisme. Praktik dakwah dan ritualitas keagamaan, misalnya, yang dibangun di dalam media televisi akan mengubah beberapa bentuk dan prinsipnya, karena ia harus mengikuti logika budaya populer yang dibangun oleh televisi (halaman 50).
Media elektronik menjadi media penyaluran wacana yang akan dikembangkan menjadi populer. Media-media tersebut berupa media digital, seperti televisi, internet (cyberspace), dan sebagainya. Logika yang dibentuk pun mengandung logika kepopuleran, menjadi sesuatu yang “lebih dari sekadar”.
Media itu membentuk hiperrealitas. Subjek tidak merujuk pada realitas lagi sebagai referensinya. Ada bentukan di atas realitas tersebut, hiperrealitas. Hiperrealitas yang telah mengandung unsur pencitraan itu merekonstruksi subjek, kemudian membentuk hiperrealitas kembali, dan seterusnya.
Perbincangan mengenai keterkaitan antara dua spritualitas dan cyberspace itu ada tiga persoalan mendasar yang menyangkut keagamaan yang tampaknya perlu diperhatikan, yaitu: (1) ruh (spirit); (2) jiwa (soul); (3) Tuhan (God) (halaman 276).
Begitulah Yasraf memerinci pemahaman wacana keagamaan. Dengan memandang wacana di luar batas narasi besar. Ia mendeskripsi dengan sistematika melalui teks keagamaan, zaman, sifat keagamaan, relasi-relasi keagamaan, kepemahaman “yang keagamaan”, hingga gejala keagamaan. Semuanya dibagi tiga subbab, yakni (1) Agama dan Imajinasi, (2) Agama dan Populisme, dan (3) Agama dan Virtualitas. Di dalam bukunya ini, Yasraf “mengajak” pembaca memahami wacana keagamaan tidak terjebak pada populisme dan pencitraan di era digital saat ini. Ia “mengajak” ketidakterjebakan pada narasi-narasi keagamaan pada dimensi pertelevisian semata. Tidak terjebak pada logika populisme narator wacana keagamaan di dalam televisi tersebut. Pun ketidakterjebakan pada ruang cyber untuk mencapai keilahian.
Meski Yasraf hanya menwarkan sebuah metode (cara pandang), ia telah “terjebak” pada keagamaan tersebut. Sifatnya bukan agama sebagai “sesuatu yang universal”. Di dalam buku setebal 372 halaman ini Yasraf melulu membicarakan Islam.

Judul Buku: Bayang-bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi
Penulis Buku: Yasraf Amir Piliang
Penerbit: PT Mizan Publika
Cetakan: Mei 2011
Tebal: 372 halaman

ISBN-13: 978-602-96864-8-7

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes