ARTIKEL PINTASAN

Saturday, January 30, 2010

PERTELEVISIAN SEBAGAI MEDIA KEPENTINGAN PUBLIK

PERTELEVISIAN SEBAGAI MEDIA KEPENTINGAN PUBLIK


Oleh Fredy Wansyah *

Televisi dan Jalur Kekuasaan
Media elektronik, dalam hal ini adalah televisi, merupakan dua jalur metode kekuasaan. Pertama, kekuasaan dalam mempertahankan ideologi. Kedua, kekuasaan dalam ruang dan suatu daerah. Keduanya saling singgung dan dijalankan sesuai kapasitas kepentingan masing-masing.

Pertelevisian di Indonesia lahir atas sebuah konsepsi suatu ideologi, oleh penguasanya, hingga kepentingan mendasar atas kebutuhan media tersebut seolah-olah tidak menjadi pretensi kebutuhannya. Sebagai media elektronik, yang diproduksi oleh beberapa unsurnya, jurnalisme salah satu unsur yang memenuhi unsur-unsur tersebut dibebankan pada kepentingan mendasar yang berpihak kepada publik. Di satu sisi otoritas pemodal saat ini telah menguasai, dan bahkan mengendalikan beberapa aspek yang dihasilkan pertelevisian, diantaranya: wacana, “fokus sorot” dan bahkan paradigma sosial (mengenai paradigma, yang sangat mendasar dan bersifat terselubung adalah bahasa).

Aspek ideologi yang otoritarian telah jatuh dari kekuasaannya, 12 tahun yang lalu, dan kini masa kebebasan dalam kepentingan publik dan rakyat-rakyat yang menjadi korban diskriminasi sosial-ekonomi layak diwacanakan. Namun, hal ini sangat berbenturan pada prinsip kapital. Segala bentuk wacana, khususnya kebutuhan pemilik modal menjadi pretensi wacana di televisi. Dampaknya, masyarakat ekonomi lemah yang tidak memiliki kepentingan wacana tersebut justru tidak memahami maksud dan isi wacana. Seolah-olah pemaksaan wacana terus bergulir seiring kebutuhan pemodal dalam memantau pasar.

Kepentingan-kepentingan atas wacana subyektif (demi kepentingan suatu kelompok) diawali rezim Orde Baru. Pemberitaan sebagai suatu bentuk kewacanaan harus mengikuti “kebutuhannya.” Selain itu, sensor dan pengekangan dilakukan dengan gencar. Akibatnya, stasiun-stasiun televisi swasta diarahkan sesuai stasiun televisi negara (TVRI) dalam memproduksi berita.

Sementara itu, paska runtuhnya dominasi suatu stasiun televisi, pemodal mengintensifkan kapitalnya dalam pertelevisian. Saat ini telah hadir lebih dari sepuluh stasiun televisi swasta, baik lokal maupun nasional. Sebagai publik, dapat diuntungkan dengan kehadiran stasiun-stasiun televisi tersebut karena dapat menelisik wacana sesuai gaya pemberitaan masing-masing. Kepentingan pasar tetap menjadi hal utamanya, sehingga frekuensi antara kebutuhan publik dan kebutuhan pemodal tidak seimbang. Salah satu kebutuhan pemodal yang jelas terlihat adalah iklan, sebagai penghubung pasar dengan produsen dan komoditinya.


Pewacanaan
Wacana-wacana yang hadir atau diproduksi oleh pelaku pertelevisian saat ini merupakan hal yang sangat bertendensi pada keuntungan. Segala bentuk wacana yang sedang hangat diharapkan dapat menjadi suatu komoditi yang menguntungkan. Akibatnya, wacana-wacana tidak lagi variatif sesuai kebutuhan masyarakat dan juga berpihak pada masyarakat luas.

Beberapa kasus telah terjadi diskriminasi sosial atas produksi wacana di televisi. Unsur-unsur kebahasaan yang sering kali terjadi luput dari telisik dalam “mengkonsumsi” wacana tersebut. Misalnya, “Polisi ditembak oleh orang tak dikenal,” dan, “Mahasiswa melakukan aksi anarkis.” Keduanya merupakan bentukan yang saling menyudutkan antara pelaku aktif dan pelaku pasif. Pada contoh pertama “polisi” seolah-olah mendapat serangan yang tidak seimbang, atau bahkan “polisi” dihadirkan sebagai sosok pahlawan. Hampir sama dengan bentuk contoh yang kedua, bahwa “mahasiswa” melakukan tindakan yang tidak wajar. Akibatnya, penghakiman oleh penerima pewacanaan tersebut akan “menghakimi” secara general (keseluruhan) mahasiswa di berbagai tempat. Dan, masih banyak bentuk-bentuk lainnya yang menyudutkan salah satu “pelaku” atas wacana yang dihadirkan. Selain itu pula, sorotan kamera sangat mempengaruhi visual penonton. Sorotan tersebut dipengaruhi pula oleh otoritas kamerawan.

Selain unsur pewacanaan tersebut, sebagai penonton diharapkan aktif dan selektif dalam memilih dari variasi televisi atas pewacanaan yang diangkatnya. Saat ini beberapa media elektronik telah dikuasai sahamnya oleh politik elit sekaligus pelaku bisnis. Jadi, sangat wajar bila kemasan berita dalam mengakses suatu “fakta” dikemas dengan kemasan hiburan. Tiga fungsi utama pertelevisian adalah hiburan, informasi, dan pendidikan. Acara-acara televisi justru mengaburkan kemasan-kemasan pendidikan dan informasi demi meningkatkan daya penghiburannya.

Meski begitu, bukan berarti kita menganggap bahwa sajian berita adalah hiburan. Sangat disayangkan bila salah satu media (cetak), seolah-olah dihadirkan sebagai “penandingan,” menganggap sajian-sajian berita sama dengan hiburan. Kemungkinan lain, penandingan tersebut untuk mendobrak hegemoni pertelevisian (sebab dua bentuk media yang berbeda) dalam persaingan pasar. Dan, penonton yang aktif dan kritis adalah salah satu cara menghadapi (mengkonsumsi) media tersebut. Sebab, pewacanaan tidaklah dilihat atas dasar kemasannya saja, melainkan seberapa besar keberpihakannya kepada publik.

Peningkatan arus informasi dalam waktu belakangan ini justru diikuti meningkatnya pula perkembangan media-media. Mulai perkembangan dari bentuk akses hingga bentuk penyajiannya. Ada dua hal menghadapi perkembangan pertelevisian saat ini yakni pertama, mengetahui pelaku serta konteksnya sesuai kepentingan, kedua, asas produksinya.

Maka, solusi yang terpenting adalah tidak mengkonsumsi wacana atas satu media elektronik saja, melainkan non elektronik. Sebab, kepentingan-kepentingan publik saat ini telah bias karena adanya arus “meraup keuntungan” dan ideologi yang terselubung.

* Penulis adalah pendiri Komunitas Sastra Langkah, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes