ARTIKEL PINTASAN

Thursday, February 4, 2010

Paradigma Survei atas Kinerja Pemerintah





-dimuat di Koran Seputar Indonesia, 2 Februari 2010.

BEBERAPA kali stasiun televisi mengekspos hasilhasil survei atas kinerja pemerintahan SBY. Pada masa Pemilu 2009 metode ini digunakan untuk mendobrak dan “meyakinkan” masyarakat, juga sebagai manuver politik, yang menyimpulkan pada 2009 kepuasan publik mencapai 85 persen.

Awal tahun ini pun tak dapat dipisahkan kinerja pemerintah yang melalui kepuasan publik dengan masyarakat, dinyatakan bahwa kepuasan publik menurun hingga 15 persen dari hasil survei pada Juli 2009 tersebut, yakni menjadi 70 persen dari 2.900 responden (LSI). Satu hal mendasar dari survei tahun ini, Januari 2010, adalah mempertanyakan langkah lembaga yang melakukan survei dalam situasi 100 hari masa kerja pemerintahan.

Poin utama yang diekspos dalam survei tersebut sangat tidak memiliki korelasi yang jelas atas penentuan atau standardisasi kinerja 100 hari masa kerja, yang jatuh tempo pada 28 Januari 2010. Kepuasan merupakan tolak ukur utamanya. Selain kerancuan tolak ukur, metodologi, pelaku survei, dan kondisi riil dari berbagai sektor tidak sama sekali diangkat sehingga validitas maupun tingkat kepercayaan masyarakat menjadi konsekuensi utama.

Bila 100 hari kinerja pemerintah diukur melalui “kepuasan” semata tanpa menghubungkan kondisi riil dari berbagai sektor, sangat tidak relevan dengan amanat sebagai pemerintahan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),merujuk pada kata dasarnya,“puas”mengandung arti: (1) merasa senang (lega, gembira, kenyang, dsb karena sudah terpenuhi hasrat hatinya), (2) lebih dari cukup.

“Kepuasan” memang - termasuk dalam rujukan KBBI tersebut - suatu pernyataan yang didasari atas hati.Atau, bila merujuk pada konvensi “lebih dari cukup” seharusnya ada standardisasi “cukup” dan “tidak cukup”. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa kepuasan yang didasari atas hasrat hati tersebut tidak layak menjadi tolak ukur pemerintahan dalam menjalankan tugastugasnya.

Bidang-bidang utama justru tidak akan tersentuh melalui survei yang sering diekspos di berbagai media seperti bidang hukum, perindustrian, pendidikan, kebudayaan, kesehatan,dan bahkan bidang ekonomi. Bidang hukum dan bidang ekonomi merupakan dua bidang yang menjadi sorotan masyarakat karena munculnya kasus Bank Century yang masih terus berlarut-larut dan kriminalisasi KPK.

Pada bidang perindustrian pun terdapat masalah yang menjadi sorotan di awal tahun, yaitu keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) dengan kemungkinan terburuknya adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) akan terjadi di berbagai daerah industri karena persaingan industri lokal terhadap industri global. Berbagai bidang tersebut, khususnya beberapa kasus yang sangat berpengaruh bagi masyarakat, tidak dijadikan tolak ukur kinerja pemerintahan oleh lembaga survei.

Dampak yang muncul akibat perilaku survei dalam menentukan suatu hasil adalah masyarakat yang berparadigma survei. Lalu, layakkah masyarakat menggunakan kerangka berpikir survei untuk menentukan suatu keberhasilan, misalnya dalam kehidupan sehari-hari? Masyarakat menangkap “fenomena” survei, yang dilakukan setiap momentum penting (Juli 2009 dalam situasi pemilu dan Januari 2010 dalam situasi menjelang 100 hari masa kerja), seolah-olah merupakan cara penilaian yang terbaik, kecuali masyarakat yang mengetahui dan kritis atas kondisi sosial yang sebenarnya.

Pemerintah, yang terkesan mengamini metode survei tanpa kejelasan metodologinya dan latar ekonomi maupun sosial respondennya, haruslah memberikan pernyataan yang mencerdaskan masyarakat bila ingin mengaktualkan sikap-sikap dalam kinerjanya, khususnya dalam evaluasi 100 hari. (*)

Fredy Wansyah
Mahasiswa Sastra Indonesia,
Universitas Padjadjaran

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes