ARTIKEL PINTASAN

Tuesday, February 16, 2010

Politik Fesbuk sebagai Satu Jalan Alternatif Kampanye Pilkada

Politik Fesbuk sebagai Satu Jalan Alternatif Kampanye Pilkada


Oleh : Fredy Wansyah

Laju perkembangan fesbuk meningkat drastis, baik di dalam negeri maupun di tingkat dunia. Pesaing-pesaingnya, seperti Google, Microsoft, dan bahkan Yahoo! merasakan hal tersebut.
Di Indonesia hingga akhir tahun 2008 telah mengalami peningkatan 645 persen sejak kemunculannya di Indonesia. Pada bulan Februari 2009, pengguna aktif di Indonesia telah mencapai angka 1 juta lebih.
Banyak kalangan ikut serta dan aktif menjadi konsumen fesbuk, sebuah jejaring sosial (social network) yang diciptakan oleh Mark Zukerberg, seorang mahasiswa Drop Out di Universitas Harvard. Mulai dari pekerja kantor, politikus, mahasiswa, hingga pengangguran sekalipun kini mudah menjadi pengguna fesbuk. Peningkatan secara statistik ini didukung besar-besaran oleh perusahaan-perusahaan mobile terbesar di dunia dengan memberikan kemudahan berupa aplikasi sebagai komoditi. Latar geografis dan ekonomi pun tidak menghalangi masyarakat untuk mengakses internet sebagai pengguna (konsumen) fesbuk. Wajar bila pemuda desa yang menganggur telah terdaftar sebagai pengguna fesbuk, karena metode akses mobile pun telah ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan produsen mobile.
Lantas, fenomena yang berdasarkan sosial ini pun digunakan sebagai pemanfaatan ruang publik yang politis oleh kalangan politikus dalam melakukan tindakan-tindakan politik praktis. Di Amerika Serikat, kampanye Obama tidak menyia-nyiakan ruang tersebut dalam menjaring dan memanfaatkan untuk kampanye politik. Pilpres 2009 kemarin pun memanfaatkan ruang publik ini untuk menjaring dan melakukan kampanye politik.
Fenomena fesbuk dan tindakan politik oleh masyarakat (pengguna) fesbuk tidak dapat diremehkan. Pada tahun 2009 saja muncul 3 fenomena politik fesbuk-penyikapan sosial- atas fakta-fakta politis yang muncul, seperti kasus Prita Mulya Sari, KPK-Polri, dan Evan "Brimob". Berawal dari keresahan sosial atas realitas yang mengandung diskriminasi sosial maupun individu, komunikasi di ruang maya pun mengakibatkan implementasi ke ruang nyata, bahkan mendapatkan pengaruh besar. Salah satu metode yang digunakan adalah menjaring suara, meskipun hal ini belum memastikan pengetahuan pendukung suara atas hal yang didukungnya.
Bentuk yang sering digunakan sebagai mediasi politik fesbuk adalah dengan memanfaatkan aplikasi grup. Metode inilah yang digunakan oleh pendukung-pendukung ketiga fenomena tersebut (Prita, KPK-Polri, Evan). Penggalangan suara sebesar-besarnya dan membangun opini sekuat-kuatnya merupakan suatu tujuan pembentukan grup untuk memberikan respon nyata terhadap suatu ketimpangan realita.
Pemanfaatan Fesbuk dalam Pilkada
Sumatera Utara akan mengadakan Pilkada (kepala daerah dan wakil kepala daerah 2010-1015) di 15 kabupaten. Saat ini pun telah berlangsung beberapa daerah yang melaksanakan Pilkada tersebut.
Penggunaan-penggunaan baliho dalam mediasi kampanye calon sudah seharusnya lebih dipertimbangkan. Sisi efektifitas memang menjadi andalan kampanye melalui baliho, namun bukan berarti baliho ditingkatkan jumlahnya demi mendulang suara sebanyak-banyaknya. Dampak dari tingginya baliho-baliho dipinggir jalan akan merusak kenyamanan dan kebersihan jalan-jalan kota, khususnya bagi pengguna jalan. Baliho, hanya satu dari banyak media kampanye, seperti media elektronik, cetak (koran), dan media internet.
Dalam hal ini, perlu adanya pertimbangan besar atas fenomena fesbuk dan meninjau ulang efektifitas komunikasi dua arah (calon kepala daerah-masyarakat). Secara dinamika, baliho tidak memiliki efek komunikasi dua arah dalam menggalang kampanye politik, begitu pula dengan media cetak (koran), yang sangat minim dan lambat dalam merespon pernyataan dan pertanyaan calon pemilih.
Ada dua aspek keuntungan bila mediasi yang digunakan melalui fesbuk. Pertama, seperti yang telah disinggung, efektifitas komunikasi calon dengan masyarakat (calon pemilih). Sebab, aplikasi chat dan komentar telah tersedia di ruang publik yang berupa jejaring sosial tersebut. Dengan begitu, keaktifan calon dalam merespon suara-suara masyarakatnya dapat menjadi poin tambah dalam memandang kepedulian sementara calon kepala daerah terhadap masyarakat. Kedua, biaya yang digunakan akan jauh lebih murah ketimbang mencetak banyak baliho, dan menyewa space di media cetak maupun elektronik-kecuali sang calon merupakan pemiliknya.
Meski begitu, bukanlah hal yang semena-mena pula melakukan tindakan-tindakan yang tanpa batas dalam menjaring suara dan melakukan tindakan politik di fesbuk sebagai kampanye politik. Sebab, etika sosial dan etika politik pun harus menjadi landasannya. Beberapa kasus misalnya, telah terjadi pembentukan sebuah grup yang bersifat menjaring orang-orang yang memiliki kesamaan dalam tempat tinggal (kedaerahan), namun lambat-laun substansi terbentuknya grup tersebut menjadi bias ketika pengelola melakukan persuasifitas untuk mendukung suatu calon kepala daerah-yang berada pada daerah atas azas berdirinya grup. Hal semacam inilah yang merusak semangat anggota grup, dan kehilangan subtansi atas penggalangan masa yang jelas-jelas tujuannya berbeda.***
Penulis Mahasiswa Sastra Indonesia, Unpad.

dimuat di harian Analisa.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes