Resensi Buku Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas: "Yang Melawan" - Di balik kekuasaan, selalu ada
pendiskriminasian. Kekuasaan berlangsung karena adanya sisi diskriminasi. Meski
zaman (sekarang) ini tidak memberi jaminan bahwa kelompok dominan mampu
berkuasa, kelompok di luar dominan pun mampu memberikan suara-suaranya yang
membuka jalan menuju kekuasaan.
Suara-suara kecil di luar kekuasaan seperti
itu dipilih oleh Katrin Bandel, kritikus Sastra Indonesia, dalam mengupas dan
memihaki terhadap kesastraan yang berada di luar kekuasaan. Suara-suaranya,
berupa esai, dirangkum menjadi sebuah buku, Sastra
Nasionalisme Pascakolonialitas, yang semula “berserakan” di ruang-ruang seminar,
jurnal-jurnal, dan media (massa).
Bagi Katrin, kekuasaan dan relasi
kekuasaan bukanlah bentuk yang berasal dari peristiwa-peristiwa natural. Selalu
ada motor pembawa pihak-pihak yang “haus” kuasa. Di sanalah politik berperan,
sebagai motor, serta menjaga keutuhan kekuasaan tetap terjaga. Politik, dalam
arti luas, menempatkan diri pada ruang-ruang yang tak tampak, sehingga suatu
peristiwa yang dinaunginya seakan natural.
Begitu pula perpolitikan di dalam
komunitas sastra, baik berskala nasional maupun internasional. Dari skala
internasional, penulis asal Jerman ini mengupas perilaku politis Komunitas Utan
Kayu (KUK) di Eropa. Kasus pencitraan Ayu
Utami dan KUK yang saya bicarakan di atas dengan jelas menunjukkan betapa “sastra
Indonesia”, dalam hal ini KUK, sama sekali tidak bersikap pasif, melainkan
dengan aktif mengarahkan dan mendistorsi pandangan “dunia” (hal 111).
Relasi dan interteks menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan, sehingga bagi
Katrin perlu dipandang secara kritis dalam memahami perilaku komunitas sastra
serta memahami karya-karya yang dihasilkan oleh komunitas tersebut.
Perilaku komunitas sastra itu merupakan
salah satu topik, di antara banyak topik yang dibahas sesuai konteks kesastraan
pascakolonial. Mental, identitas, seksualitas, dan bahasa adalah topik-topik
yang dibahas di dalam buku setebal 270 halaman ini. Bukan berarti keempat topik
atau bagian dari gejala-gejala pascakolonial tidak terlepas dari suatu
kekuasaan. Keempatnya merupakan relasi kekuasaan.
Dalam mengupas mental di tengah-tengah
etnisitas, dari salah satu judul esainya, Katrin mengulas persoalan konstruksi
tokoh di dalam karya sastra yang lahir dari pikiran sastrawan terkenal,
Pramoedya Ananta Toer dan Umar Kayam. Kedua-duanya mengonstruksi mental tokoh
dengan masing-masing tujuan. Sama-sama bernama “Sri”, Umar Kayam dengan Sri
Sumarah dan Pramoedya dengan Sri (saja). Kedua sastrawan itu mengonstruksi
mental sumarah melalui konteks
etnisitas ke-Jawaan.
Meski kedua-duanya adalah sastrawan yang
berasal dari etnis Jawa, Umar Kayam lewat
karyanya mendukung dan mengukuhkan kekuasaan dengan cara ikut mengonstruksi dan
melanggengkan sebuah versi budaya Jawa yang menjadi mainstream pada masa Orde
Baru. Pramoedya Ananta Toer, di sisi lain, terus-menerus melakukan perlawanan
terhadap kekuasaan tersebut dari dalam (hal 95).
Secara keseluruhan, 20 judul esai,
Katrin Bandel hanya bersuara untuk “hal-hal yang melawan”. Seakan secara
implisit Katrin ingin mengajak perlawanan di ranah kesastraan terhadap
kekuasaan yang seolah-olah tampak natural ini, seperti bagaimana pengajar
Universitas Sanata Dharma ini melawan keuntungan identitasnya sebagai orang
bule di Indonesia yang kini akrab menulis dengan bahasa Indonesia.
Mata Judul: Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas
Penulis: Katrin Bandel
Penerbit: Pustaha Hariara
Terbit: Desember 2013
Tebal: 270 halaman
ISBN: 978-602-1599-24-2
Resensi ini ditayangkan di Tribun Jogja, September 2014
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.