ARTIKEL PINTASAN

Friday, October 10, 2014

Yang Melawan

 

sampul buku Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas
Resensi Buku Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas: "Yang Melawan" - Di balik kekuasaan, selalu ada pendiskriminasian. Kekuasaan berlangsung karena adanya sisi diskriminasi. Meski zaman (sekarang) ini tidak memberi jaminan bahwa kelompok dominan mampu berkuasa, kelompok di luar dominan pun mampu memberikan suara-suaranya yang membuka jalan menuju kekuasaan.
Suara-suara kecil di luar kekuasaan seperti itu dipilih oleh Katrin Bandel, kritikus Sastra Indonesia, dalam mengupas dan memihaki terhadap kesastraan yang berada di luar kekuasaan. Suara-suaranya, berupa esai, dirangkum menjadi sebuah buku, Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas, yang semula “berserakan” di ruang-ruang seminar, jurnal-jurnal, dan media (massa).
Bagi Katrin, kekuasaan dan relasi kekuasaan bukanlah bentuk yang berasal dari peristiwa-peristiwa natural. Selalu ada motor pembawa pihak-pihak yang “haus” kuasa. Di sanalah politik berperan, sebagai motor, serta menjaga keutuhan kekuasaan tetap terjaga. Politik, dalam arti luas, menempatkan diri pada ruang-ruang yang tak tampak, sehingga suatu peristiwa yang dinaunginya seakan natural.
Begitu pula perpolitikan di dalam komunitas sastra, baik berskala nasional maupun internasional. Dari skala internasional, penulis asal Jerman ini mengupas perilaku politis Komunitas Utan Kayu (KUK) di Eropa. Kasus pencitraan Ayu Utami dan KUK yang saya bicarakan di atas dengan jelas menunjukkan betapa “sastra Indonesia”, dalam hal ini KUK, sama sekali tidak bersikap pasif, melainkan dengan aktif mengarahkan dan mendistorsi pandangan “dunia” (hal 111). Relasi dan interteks menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan, sehingga bagi Katrin perlu dipandang secara kritis dalam memahami perilaku komunitas sastra serta memahami karya-karya yang dihasilkan oleh komunitas tersebut.
Perilaku komunitas sastra itu merupakan salah satu topik, di antara banyak topik yang dibahas sesuai konteks kesastraan pascakolonial. Mental, identitas, seksualitas, dan bahasa adalah topik-topik yang dibahas di dalam buku setebal 270 halaman ini. Bukan berarti keempat topik atau bagian dari gejala-gejala pascakolonial tidak terlepas dari suatu kekuasaan. Keempatnya merupakan relasi kekuasaan.
Dalam mengupas mental di tengah-tengah etnisitas, dari salah satu judul esainya, Katrin mengulas persoalan konstruksi tokoh di dalam karya sastra yang lahir dari pikiran sastrawan terkenal, Pramoedya Ananta Toer dan Umar Kayam. Kedua-duanya mengonstruksi mental tokoh dengan masing-masing tujuan. Sama-sama bernama “Sri”, Umar Kayam dengan Sri Sumarah dan Pramoedya dengan Sri (saja). Kedua sastrawan itu mengonstruksi mental sumarah melalui konteks etnisitas ke-Jawaan.
Meski kedua-duanya adalah sastrawan yang berasal dari etnis Jawa, Umar Kayam lewat karyanya mendukung dan mengukuhkan kekuasaan dengan cara ikut mengonstruksi dan melanggengkan sebuah versi budaya Jawa yang menjadi mainstream pada masa Orde Baru. Pramoedya Ananta Toer, di sisi lain, terus-menerus melakukan perlawanan terhadap kekuasaan tersebut dari dalam (hal 95).

Secara keseluruhan, 20 judul esai, Katrin Bandel hanya bersuara untuk “hal-hal yang melawan”. Seakan secara implisit Katrin ingin mengajak perlawanan di ranah kesastraan terhadap kekuasaan yang seolah-olah tampak natural ini, seperti bagaimana pengajar Universitas Sanata Dharma ini melawan keuntungan identitasnya sebagai orang bule di Indonesia yang kini akrab menulis dengan bahasa Indonesia.

Mata Judul: Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas
Penulis: Katrin Bandel
Penerbit: Pustaha Hariara
Terbit: Desember 2013
Tebal: 270 halaman
ISBN: 978-602-1599-24-2



Resensi ini ditayangkan di Tribun Jogja, September 2014

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes