ARTIKEL PINTASAN

Monday, March 2, 2009

sastra dan ideologi







Sastra di beberapa negara menjadi ‘momok’ yang menakutkan bagi penguasa. Di Rusia pada masa kejayaan Stalin, karya-karya sastra yang menyimpang dari sudut pandang penguasa dan mengganggu kekuasaan disingkirkan dari negara, akibatnya Boris Pasternak dengan karyanya yang dilarang, yakni Doctor Zhivago mendapatkan penghargaan Nobel Sastra. Di Indonesia, realita seperti di Rusia tersebut dengan mudah kita dapati. Wiji Thukul, Pramoedya Ananta Toer, dan beberapa sastrawan Lekra mendapatkan intimidasi dari negaranya sendiri. Pram dalam merespon tulisan Goenawan Muhamad di media Tempo1 menyatakan ‘geram’ atas tingkah pemerintah negaranya sendiri, padahal di maerika buku-buku karya sastranya diwajibkan di jenjang sekolah tingkat lanjutan. Wiji Thukul mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi dari, ironisnya karya-karya Wiji Thukul di anggap oleh akademisi negaranya sendiri merupakan karya sastra yang tidak bernilai estetika tinggi, padahal karya-karyanya di negara kincir angin mendapatkan penghargaan Werthrin Encourage Award.
Sastra sampai saat ini belum memiliki devisi yang disepakati bersama secara universal. Ketika muncul devinisi sastra, muncul pula devinisi yang baru di tempat lain atau pun di waktu yang lain. Estetika menjadi unsur terpenting sastra, pada lingkaran estetika ini pun masih diperdebatkan oleh para penggiat sastra. Secara etimologis sastra berasal dari bahasa sansekerta, kata Sas- dan –Tra yang berarti alat mengarahkan. Pada kasus-kasus di atas, karya sastra dapat di artikan sebagai alat yang mengarahkan perusakan kejayaan. Karya sastra mampu menghancurkan tatanan kekuasaan negara, sehingga sikap-sikap intimidasi individu dan karya sastra pun dimunculkan oleh pemerintah.
Di abad ke 17 Terry Eagleton membicarakan banyaknya ruang-ruang diskusi publik terhadap sastra2. Pembicaraan sastra di ruang public akan membahas banyak hal, diantaranya pemerintahan, kebudaaan, dan kemanusiaan. Dalam ruang tersebut pembahasan karya sastra cenderung serius, bukan berarti bahwa keseriusan pembahasan karya sastra selalu berada di ruang akademik. Sebagai pencipta karya sastra, ideologi yang ditanamkan di kepalanya akan mengalir dalam karya sastranya. Menciptakan karya sastra seolah-olah mengarahkan atau memberikan pandangan keberadaan sekitarnya melalui ideologi yang digunakan, terlepas apapun ideologi. Saat ini, pandangan masyarakat terhadap ideologi selalu dikait-kaitkan dalam dunia politik kekuasaan3. Tidak selamanya ideologi merupakan sesuatu yang harus berada pada politik kekuasaan.


________________________
-->
1TEMPO, Edisi 000409-005/Hal. 96
2Kritik Sastra, Terry Eagleton.
3 Pandangan seorang pengunjung dalam diskusi Sastra dan Ideologi saat Launching Komunitas Sastra Langkah

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes