ARTIKEL PINTASAN

Saturday, March 28, 2009

Bahasa Teknologi Dan Kemusnahan Bahasa Lokal





Bahasa Teknologi Dan Kemusnahan Bahasa Lokal
Oleh Fredy Wansyah*
            Bahasa seperti menjadi suatu kedudukan yang terendah bagi masyarakat Indonesia.  Respon masyarakat tidak setara hebatnya dengan posisi respon terhadap perkembangan teknologi. Hal tersebut dapat terlihat dari minat konsumsi teknologi, pada tahun 2008 masyarakat Indonesia mengalami peningkatan hampir setengahnya memakai laptop dari tahun 2007. Padahal, teknologi secara tidak langsung telah membunuh bahasa lokal. Siapakah yang disalakan dalam hal ini, penuliskah, masyarakatkah, atau teknologi itu sendiri?
            Salah satu peranan tersebut memang dimainkan oleh penulis. Masyarakat umum hanya berfungsi sebagai penutur, artinya penulis yang berperan sebagai penggagas makna kata dalam sebuah bahasa sementara masyarakat umum berlaku sebagai penutur. Jika peranan yang dimainkan oleh penulis tersebut bertindak arbitrer-individualis, berarti penutur juka akan berucap hal yang sama. Secara sadar maupun tidak sadar, penulis telah berada pada posisi pengatur bahasa.
            Pada tataran penulis, ada beberapa kategori penulis berdasarkan hasil penulisan, seperti penulis prosa, penulis puisi, penulis esai, atau pun penulis ilmiah. Tapi bukan hal ini yang menjadi fundamentalis kepenulisan. Etika dalam menulis yang menjadi rujukan kepenulisan seorang penulis. Bahkan, sebuah konstitusi negara kita (Indonesia) telah menambah etika tersebut, yakni Undang-Undang Pornografi, meskipun belum ada sampai saat ini kesepakatan konkret yang mengarah secara esensial konstitusi tertulis mengenai etika-etika dalam menulis. Kategori-kategori tersebut hanya memberikan penilaian tata cara gaya menulis yang harus diikuti. Seseorang yang menulis puisi misalnya, penulis tersebut mengarah pada sebuah lisensi semu kepenyairan, yakni melawan gramatikal. Berbeda halnya dengan seorang penulis ilmiah, gramatikal merupakan sebuah rujukan yang pasti.
            Etika menulis hanya sesuatu yang semu jika menggunakan kemenangan determinasi. Misalnya saja, pada sebuah kelompok manusia tidak akan pernah mengakui keberadaan etika menulis jika sekelompok orang tersebut memiliki paradigma hidup tanpa etika. Tetapi hal seperti itu sangat susah membentuknya, karena adanya teknologi. Kemajuan teknologi tidak dapat dihindarkan dalam segi berbahasa. Ketiadaan bahasa teknologi tersebut seakan mengontrol para penulis. Dalam hal ini, penulis lebih mengutamakan asal bahasa teknologi tersebut. Pada sepuluh tahun kebelakang, masyarakat tidak mengenal kata ‘download’, tetapi kata tersebut telah berada pada posisi sebaliknya di masa sekarang. Masih banyak kata-kata seperti itu yang menjadi pemusatan bahasa.
            Di dalam abad saat ini, teknologi semakin meningkatkan posisi hegemoni bahasa teknologinya. Hanya saja kita sebagai masyarakat konsumen teknologi harus menentukan tendensi berbahasa. Hal utamanya adalah kita sebagai masyarakat yang cenderung konsumtif teknologi telah dihadapkan pada penerimaan paksa bahasa asalnya. Bahasa teknologi tersebut akan semakin merebak dengan adanya kecanggihan dunia maya atau disebut dengan internet. Tidak bisa dipungkiri bahwa kecanggihan teknologi dan internetisasi telah merusak bahasa, artinya telah merusak identitas diri bangsa. Pada sebuah layanan internet, ada sebuah pengacauan bahasa Indonesia tersebut, seperti kata ‘Sign-in bermasalah’, ‘Anda sudah sign-out’. Pengadaan internetisasi memang tidak bisa dihindarkan, tetapi apakah dengan adanya kecanggihan teknologi dan internetisasi, bahasa dan identitas negara ini harus musnah?
            Ada dua hal dampak negatif terhadap bahasa atas kemajuan teknologi. Pertama, kearifan berbahasa lokal maupun nasional akan pudar, bahkan kemungkinan akan punah. Perlu diketahui bahwa sekitar 6.000 bahasa di dunia terancam punah. Kepunahan ini bisa terjadi pada negara Indonesia, baik bahasa lokal maupun nasional dalam 100 tahun ke depan. Menurut para ahli bahasa, tidak akan bertahan suatu bahasa jika tidak didukung oleh 100 orang pemakainya. Gejala-gejala seperti ini dapat terlihat dengan banyaknya pemakai kata ‘download’ daripada ‘unduh’. Dan hal tersebut jelas merupakan suatu gejala yang ditimbulkan oleh hegemoni teknologi.Kedua, hilangnya budaya dan sejarah. Bahasa tidak terlepas dari harga diri suatu masyarakat maupun bernegara. Kehilangan bahasa secara tidak langsung akan diikuti oleh hilangnya budaya dan sejarah, sebab bahasa, budaya, dan sejarah merupakan suatu yang saling terkait.
            Penulis dan pemerintah adalah bagian yang tidak terpisahkan pada kontribusi bahasa teknologi. Pemerintah yang memiliki kekuatuan hirarki-sentralistik seharusnya memantau penutur dalam berbahasa demi mempertahankan kebudayaan dan sejarah. Negara ini semakin terhimpit kebahasaan jika tanpa controlling bahasa teknologi dari pemerintah. Maka dapat disimpulkan, bahwa pemerintah saat ini belum berkontribusi yang jelas terhadap tata bahasa Indonesia atas serangan teknologi. Masih dapat kita dengar sehari-hari bahasa teknologi di dalam masyarakat Indonesia seperti ‘epigon-bahasa’, misalnya laptop, download, upload, disk, software, virus.
            Selain pemerintah, penulis juga sangat besar berpengaruh terhadap penutur bahasa. Penulis sudah seharusnya menentukan sikap kebahasaan atas serangan teknologi terhadap bahasa. Tetapi kenyataannya penulis bersikap ‘kebarat-baratan’. Bahkan sepertinya penulis tidak mampu menuangkan ide bahasanya terhadap teknologi, seolah telah menjadi budak pada teknologi tersebut. Ketika kemajuan teknologi masuk menguasai budaya lokal, maka peran penulis seharusnya mampu menyaring secara bahasa. Sama halnya dengan pemerintah, bahwa penulis pun belum berprestasi dalam kontribusi bahasa teknologi.
            Jika kedua elemen ini terus bersikap tanpa suatu sikap penentangan terhadap bahasa asal teknologi, maka dikhawatirkan adalah bahasa kita akan redup. Secara global, dampak ini membuat peradaban yang baru, yakni sebuah peradaban monolingual. Seperti perkiraan para ahli bahasa, sekitar 50%-90% bahasa di dunia akan lenyap di abad ini.
           

*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Sastra Unpad

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes