ARTIKEL PINTASAN

Monday, October 12, 2009

Mempertanyakan Esensi Mahasiswa Fakultas Sastra

Selamat datang teman-teman mahasiswa baru.

Setiap tahun institusi pendidikan mengeluarkan banyak sarjana. Wacana pun berkembang mengenai ‘nasib’ mahasiswa setelah lulus. Beranjak dari pertanyaan sederhana; Mau kemana mahasiswa setelah lulus? Secara idealis saya jawab; Mau ke ruang perburuhan! Wacana tersebut bahkan menyudutkan mahasiswa, sebagai kaum pelajar yang memiliki beban moral lebih dari masyarakat biasa (tidak menempuh pendidikan: tidak pelajar), khususnya bagi para mahasiswa yang tidak mendapatkan pekerjaan. Seakan-akan mahasiswa lulus harus mendapatkan pekerjaan yang ‘enak’. Merujuk dari problematika tersebut, apakah mahasiswa lulusan Fakultas Sastra harus bekerja di suatu lembaga atau perusahaan?

Mengikuti pradigma umum, sejatinya mahasiswa memang harus mendapatkan pekerjaan yang layak. Implementasinya tidak ingin dipekerjakan seperti orang-orang yang tidak mendapatkan kesempatan kuliah. Lantas dimanakah ruang pekerjaan mahasiswa lulusan Fakultas Sastra? Pertanyaan ini sederhana tetapi sulit dijawab. Apakah mahasiswa lulusan Fakultas Sastra hanya bekerja di lembaga kebahasaan saja, atau pun berkutat pada kebahasaan saja? Bila hal tersebut dinyatakan benar, maka benar pula sebuah pernyataan saya: Mau ke ruang perburuhan! Kelak akan dikuras tenaga dan pikiran, sementara orang-orang atasan perusahaan/lembaganya ongkang-ongkang kaki dalam kerja keras bawahannya –suatu sistem kapitalistik-. Konsepsi buruh saat ini berbeda dengan konsepsi buruh pada abad XIX, khususnya di Eropa.

Satu pukulan bagi mahasiswa Fakultas Sastra sebelum memasuki dunia yang nyata, suatu dunia pembauran kelas sosial antara borjuis dan proletar. Dari pengalaman saya, sering orang mempertanyakan: Kerjanya di mana kalau sudah lulus? Saya tidak menjawab secara gamblang pertanyaan seperti itu. Pertanyaan tersebut merupakan bagian moral sebagai mahasiswa Fakultas Sastra.

Mungkin, pertanyaan seperti itu sering diabaikan mahasiswa Fakultas Sastra. Ada sebabnya: Pertama, merujuk kondisi ekonomi mahasiswa. Kedua, merujuk sikap atau budaya mahasiswa. Sebab keduanya sudah sering kita dengar, bahwa mahasiswa saat ini didominasi oleh kaum borjuis –dampak dari kebijakan pemerintah yang mengikuti arus ekonomi liberal (neo-liberalime)- Mungkin juga termasuk Anda yang memiliki mobil untuk datang ke kampus yang hanya berjarak 0,5Km dari kamar kontrakan Anda, yang saya maksudkan sebagai mahasiswa borjuis tersebut. Dan, merujuk pada budaya mahasiswa saat ini, berkembangnya ‘penyakit’ mahasiswa hedon –lihat saja dan bandingkan, ada berapa mahasiswa yang berpesta pora (dugem) saat malam hari, dengan mahasiswa yang membaca buku atau pun berdiskusi-

Lalu, dari semua hal di atas, saya munculkan sebuah pertanyaan, yang dikhususkan kepada mahasiswa Fakultas Sastra: Apakah Anda sadar bahwa kampus kita masih dijajah dari kelompok asing dengan kepenting-kepentingan ekonominya? Saya miris melihat keberadaan kemegahan kampus Fakultas Sastra, yang berkutat pada kebahasaan, sementara bahasa (salah satu terpenting dalam kajian sastra) masih dijajah. Salah satunya penjajahan melalui aspek bahasa pula (bahasa vs bahasa). Dampaknya telah diprediksikan, bahwa bahasa kita (bahasa Indonesia) akan hilang sejalan dengan perkembangan teknologi. Secara otomatis karya-karya sastra berbahasa Indonesia pun akan menempati museum.

“Mau jadi penulis? Maka siap-siap ide dan imajinasi kita akan dieksploitasi”

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes