ARTIKEL PINTASAN

Wednesday, August 7, 2013

The Godfather: "Ma Fia!"



film The Godfather
Michael Corleonte keluar dari gedung pertunjukan. Ia bersama keluarga baru saja menyaksikan sebuah pertunjukan drama. Belum sempat jauh melangkah, tepatnya di tangga keluar-masuk gedung, Michael ditembaki seorang pembunuh bayaran, menyamar berjubah keuskupan. Michael tidak mati dalam penembakan itu. Tapi Mary, anak kandungnya sendiri, seorang gadis yang telah memimpin lembaga kemurahhatian (lembaga foundation), mati dalam penembakan salah sasaran itu.
Michael histeris. Kay, istri Michael, juga histeris. Yang lainnya, yang melihat Mary mati, pun menangis.
“Ma Fia...!” kata yang berulang-ulang dilontarkan seorang ibu ketika anak perempuannya diperkosa. Kala itu, peristiwa yang terjadi sekitar abad 19, si ibu keluar gedung ibadah. Usai ibadah kebaktian itu, si ibu keluar gedung dengan mendapati anaknya diperkosa oleh tentara. Pelakunya adalah pasukan tentara Prancis.

Kisah sang ibu yang mendapati anak perempuannya menjadi korban kekerasan (perkosaan) itu terwujud di akhir film The Godfather III. Usai adegan kematian anaknya, Michael yang telah tua renta duduk dengan sebuah bangku di halaman rumah. Tubuhnya lunglai. Tak lama kemudian, mafioso –sebutan untuk “aktivis” mafia- itu pun mati. Kematiannya serupa kematian bapaknya, Don Vito Corleone (sebutan “Don” untuk orang-orang terhormat). Vito Corleone, pada The Godfather I, mati di taman kala bermain dengan cucunya. Keduanya mati pada situasi sepi.
Vito Corleone adalah pemuda cerdik. Ia juga penyayang keluarganya.  Sebagai laki-laki yang bertanggung jawab penuh terhadap keluarga, ia berprinsip,  “Seorang pria yang tidak menyempatkan waktunya untuk berkumpul bersama keluarga tidak akan pernah menjadi pria sejati.” Ia berani melakukan apa pun –apa pun di sini berarti keluar dari batas-batas sosial, seperti etika, moral, dan kemanusiaan – demi menjaga martabat dan kesejahteraan keluarga. Suatu kali dokter menyatakan, “Anak Anda (Michael Corleonte kala balita) menderita pneumonia.” Tak ingin anaknya menderita, dia membunuh orang yang tergolong memiliki harta di sekitar tempatnya tinggal. Di tengah arak-arakan keagamaan, dalam adegan The Godfather II, Vito membuntuti seorang hartawan. Si hartawan di sisi jalan umum yang dipadati arak-arakan. Vito berjalan di atap, dari satu rumah ke rumah lain. Sampai si hartawan itu di ambang pintu kamarnya, Vito pun membunuhnya dengan strategi yang telah disiapkan sebelum si hartawan datang.

Kebiasaan membunuh itu acapkali dilakukan Vito Corleone. Ia mampu membunuh pengusaha-pengusaha kelas kakap, seperti apa yang ditunjukkan dalam adegan pembunuhan terhadap pengusaha zaitun di teras rumah si pengusaha. Kala berbisik, Vito menyayat perut si pengusaha yang telah mengalami gangguan pendengaran karena faktor usia. “Darah adalah biaya yang mahal,” begitu ungkapan salah seorang tokoh. Pada rupa kecerdikan dan kekejian itu, dia memiliki sikap peduli kepada siapa saja yang mendatanginya untuk berharap pertolongan.
Vito Corleone menjadi besar di tanah rantau, Amerika Serikat. Besar di sini, seperti apa yang dinyatakan Vito, ialah “Orang besar tidak dilahirkan langsung besar, tapi mereka tumbuh menjadi besar.” Besar secara ekonomi dan besar di tegah-tengah kehidupan masyarakat. Dia pun diberi gelar “Don”, sebagai ucapan terima kasih masyarakat. Dia juga dijuluki “The Godfather” sebagai ungkapan kebesaran namanya, Corleone. Dia memiliki bisnis, dia memiliki kewibawaan, dia memiliki sikap menolong, dan dia memiliki banyak relasi politik serta relasi hukum. Sebelumnya dia bersama istrinya adalah imigran bertangan hampa, dari Sicilia ke Amerika –fakta sejarah menyatakan, pada masa itu, kepemimpinan Mussolini, dipandang secara struktural kekerasan dan kemelaratan membuat rakyat Sicilia memberontak atau mengungsi.
Bisnisnya tidak berjalan mulus kala anak-anaknya, Santino (Sonny), Fredo, Michael, dan Connie, telah dewasa. Konflik antar-pebisnis, antarkelompok imigran asal Italia, muncul akibat motif capaian ekonomi tidak berjalan lancar. Motif persaingan dan kerja sama bisnis merambah ke kehidupan pribadi keluarga besar Corleone. Persaingan bisnis menjadi prosesi pembunuhan. Di perkotaan Vito ditembak oleh penembak bayaran musuh. Di sebuah bar, musuh keluarga Corleon ditembak mati oleh Michael, bertujuan balas dendam. Sonny ditembaki tanpa ampun di pintu tol, juga bertujuan balas dendam. Dendam, prosesi pembunuhan terus berlanjut –menunjukkan sebuah kekerasan berspiral.
Kematian Vito Corleon membuat Michael menjadi pimpinan keluarga Corleon, dengan setumpuk masalah dendam dan bisnis besar yang diturunkan ayahnya, Vito Corleon. Intrik, pembunuhan, bisnis, politik, dan hukum menjadi lebih besar di tangan Michael. Suatu kali Michael, pada The Godfather III, meminimalisasi cara-cara berpikir rasional semata. Ia menemui petinggi kelompok agama gereja. Ia menyatakan pengakuan, sebuah dosa besar. Ia telah beralih, hal-hal yang rasio menjadi beban moral lewat perasaan bersalahnya atas tindakan selama hidupnya: membunuh musuh, membunuh keluarga, dan pengkhiatan istri. Ia ingin sejarah keluarga Corleon terhapus, ingin masa depan keluarga Corleon berada pada titik kedamaian sosial dan kedamaian jiwa.
Usaha perubahan Michael, yang memasuki usia renta, 60-an, tidak berhasil. Istrinya, Kay, mampu mendukung secara moral usaha Michael, mesti jauh sebelumnya Kay telah mengingatkan Michael agar meninggalkan tradisi keluarga Corleon. Vincent, anak Sonny Corleon, “tertular” tradisi itu, yang telah mengetahui jejak sang paman (Michael) dan  kakeknya. Connie menitah kepada Vincent di sebuah ruang keluarga, “Vincent, bila terjadi sesuatu pada diri Michael, kau adalah pemimpin keluarga Corleon selanjutnya.” Vincent dan Michael bertolak belakang secara pemikiran. Vincent menjadi kendala bagi Michael, untuk menuju perubahan tradisi keluarga yang penuh darah. “Kalau itu pilihanmu, jauhi anakku (Mary),” ujar Michael kepada Vincent sebelum menahbiskan Vincent sebagai pucuk keluarga Corleon.
Mary tidak terima sikap ayahnya. Di sebuah gedung pertunjukan drama, sebelum drama dimulai, Mary menunjukkan kekesalannya atas sikap sang ayah melalui sikap badannya. Usai pertunjukan drama, di ambang tangga keluar-masuk gedung, Mary mengejar ayahnya. Seorang pembunuh bayara, dengan baju keuskupan, menembaki Michael di tangga itu. Mary mati. “Ma Fia!”



“Jangan pernah membenci musuhmu. Itu berpengaruh terhadap penilaianmu” ujar kecerdikan nan rasional sang pemimpin kelompok mafia Italia Vito Corleon dalam The Godfather I.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes