ARTIKEL PINTASAN

Saturday, August 3, 2013

Ibu Kota di dalam Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi





“Ibu Kota lebih kejam daripada ibu tiri”. Adigum terkenal ini membuat orang yang ingin menginjakkan kaki ke Ibu Kota harus berpikir entah berapa kali. Mungkin berpuluh-puluh kali. Analogis, ibu tiri dengan Ibu Kota. Titik kesamaannya, dianggap dalam adigum tersebut, ialah kekejaman. Kalau kita berpikir, kekejaman Jakarta itu karena interaksi sosialnya terlalu individualis. Punya kepentingan masing-masing. Cara berpikirnya, “Saya adalah saya. Tubuh sayalah yang bisa menolong saya.” Kurang lebih begitu. Akibatnya, banyak ketegangan antarindividu. Tentunya itu berbeda dengan sosial di luar Ibu Kota, khususnya yang tergolong bukan perkotaan.
Apa yang digambarkan Seno Gumira Ajidarma di dalam buku berjudul Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi beranjak dari sekelumit (realitas) ketegangan antarindividu seperti itu. Bukan cuma lewat fiksi, Seno pun bercerita bagaimana kekesalannya menghadapi orang di Jakarta, terkait rencana permintaan menulis skenario Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi. Ia bercerita mengenai keheranan atas perbuatan penerbit buku yang ditulis tahun 1995 itu. Ternyata pencetak buku tidak membayar biaya ke pencetak.
Selanjutnya, Seno mengungkapkan kekecewaannya lagi. Tahun 2000 ia diminta seorang produser untuk membuat skenario film dari cerita Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi. Lantas ia turuti permintaan si produser. Entah karena apa. Sampai catatan ini ditulis, film itu tidak kunjung dibuat pula. Meskipun skenario itu sudah diberi imbalan yang layak, uang bukanlah segalanya bukan? Begitulah sedikit ungkapannya di kolom catatan penulis Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi.
Seno seakan mengingatkan bahwa Ibu Kota penuh intrik, Ibu Kota penuh ketikdapastiaan dari lawan bicara, dan di Ibu Kota banyak orang-orang cerdik yang mengakibatkan, paling tidak, kekecewaan seperti apa yang dikisahkan Seno tersebut.
Selanjutnya, pada judul Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi disampaikan lewat sosok Sophie, ada kehidupan serba cuek di tengah-tengah kehidupan para pegawai kantoran Ibu Kota. Di lain sisi, fantasi-fantasi atas sensualitas tubuh berseliweran di berbagai lini kehidupan. Tidak hanya di perkantoran semata, melainkan juga di kehidupan antargang perumahan warga.
Kecemburuan dan perselingkuhan juga disampaikan lewat penceritaan sosok Sukab. Karena tingginya fantasi seperti itu, tentu kecemburuan dan perselingkuhan kerap terjadi di Ibu Kota.
Begitulah sedikit gambaran kehidupan di Ibu Kota. Ulasan isi cerita memang tidak banyak diuraikan di sini, karena buku kumpulan cerpen ini telah dicetak ulang beberapa kali sehingga sudah barang tentu banyak pula yang mengulasnya. Di sini hanya disampaikan rupa kehidupan Ibu Kota Jakarta melalui dua hal: (1) pengalaman penulisnya terkait proses Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, dan (2) sedikit ulasan sosok fiktif di dalam ceritanya.

Dari sudut ini dapat dipahami bahwa sesungguhnya Ibu Kota itu tidak kejam. Hanya saja, bila hidup di Ibu Kota harus memiliki kecerdikan, kecerdasan, iman, dan kewaspadaan untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan seperti apa yang dialami Seno serta menghadapi adanya fantasi-fantasi liar di segala lini.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes