“Ibu Kota lebih
kejam daripada ibu tiri”. Adigum terkenal ini membuat orang yang ingin
menginjakkan kaki ke Ibu Kota harus berpikir entah berapa kali. Mungkin berpuluh-puluh
kali. Analogis, ibu tiri dengan Ibu Kota. Titik kesamaannya, dianggap dalam
adigum tersebut, ialah kekejaman. Kalau kita berpikir, kekejaman Jakarta itu
karena interaksi sosialnya terlalu individualis. Punya kepentingan
masing-masing. Cara berpikirnya, “Saya adalah saya. Tubuh sayalah yang bisa
menolong saya.” Kurang lebih begitu. Akibatnya, banyak ketegangan
antarindividu. Tentunya itu berbeda dengan sosial di luar Ibu Kota, khususnya
yang tergolong bukan perkotaan.
Apa yang
digambarkan Seno Gumira Ajidarma di dalam buku berjudul Dilarang Menyanyi di
Kamar Mandi beranjak dari sekelumit (realitas) ketegangan antarindividu seperti
itu. Bukan cuma lewat fiksi, Seno pun bercerita bagaimana kekesalannya
menghadapi orang di Jakarta, terkait rencana permintaan menulis skenario Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi. Ia
bercerita mengenai keheranan atas perbuatan penerbit buku yang ditulis tahun
1995 itu. Ternyata pencetak buku tidak membayar biaya ke pencetak.
Selanjutnya,
Seno mengungkapkan kekecewaannya lagi. Tahun 2000 ia diminta seorang produser
untuk membuat skenario film dari cerita Dilarang
Menyanyi di Kamar Mandi. Lantas ia turuti permintaan si produser. Entah
karena apa. Sampai catatan ini ditulis,
film itu tidak kunjung dibuat pula. Meskipun skenario itu sudah diberi imbalan
yang layak, uang bukanlah segalanya bukan? Begitulah sedikit ungkapannya di
kolom catatan penulis Dilarang Menyanyi
di Kamar Mandi.
Seno seakan
mengingatkan bahwa Ibu Kota penuh intrik, Ibu Kota penuh ketikdapastiaan dari
lawan bicara, dan di Ibu Kota banyak orang-orang cerdik yang mengakibatkan,
paling tidak, kekecewaan seperti apa yang dikisahkan Seno tersebut.
Selanjutnya, pada
judul Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi
disampaikan lewat sosok Sophie, ada kehidupan serba cuek di tengah-tengah
kehidupan para pegawai kantoran Ibu Kota. Di lain sisi, fantasi-fantasi atas
sensualitas tubuh berseliweran di berbagai lini kehidupan. Tidak hanya di
perkantoran semata, melainkan juga di kehidupan antargang perumahan warga.
Kecemburuan dan
perselingkuhan juga disampaikan lewat penceritaan sosok Sukab. Karena tingginya
fantasi seperti itu, tentu kecemburuan dan perselingkuhan kerap terjadi di Ibu
Kota.
Begitulah sedikit
gambaran kehidupan di Ibu Kota. Ulasan isi cerita memang tidak banyak diuraikan
di sini, karena buku kumpulan cerpen ini telah dicetak ulang beberapa kali
sehingga sudah barang tentu banyak pula yang mengulasnya. Di sini hanya
disampaikan rupa kehidupan Ibu Kota Jakarta melalui dua hal: (1) pengalaman
penulisnya terkait proses Dilarang
Menyanyi di Kamar Mandi, dan (2) sedikit ulasan sosok fiktif di dalam
ceritanya.
Dari sudut ini
dapat dipahami bahwa sesungguhnya Ibu Kota itu tidak kejam. Hanya saja, bila
hidup di Ibu Kota harus memiliki kecerdikan, kecerdasan, iman, dan kewaspadaan
untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan seperti apa yang dialami Seno serta
menghadapi adanya fantasi-fantasi liar di segala lini.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.