ilustrasi: blogspot |
Di rumah ini ia tinggal sendiri. Pembantunya hanya datang pagi untuk menyapu, mengepel, mencuci baju, dan mengganti air di jambangan bunga. Selebihnya tinggal dan menjaga di rumah perempuan tua itu. Rumah yang hanya berjarak beberapa meter dari rumah lelaki tua hanya dipisahkan halaman dan rumpun bambu kuning sebagai pagar pembatas dan membagi taman menjadi dua, meski sisi kanan kedua bangunan kembali disatukan oleh pintu gerbang yang sama. Tak ada yang menyita pikirannya sekarang, kecuali putri bungsu kesayangannya dan perempuan tua itu.
Pada bagian
paragraf pertama cerpen “Rumah yang Terbelah” di atas tertera “ia” (kadang
ditulis “lelaki tua”) hidup dalam kondisi kesendirian dengan penguatan adanya
seorang pembantu ala kadarnya yang bekerja di rumah satu pagar dua atap. Pada
salah satu rumah itu “ia” tinggal, sedang salah satunya lagi “perempuan tua”. Tokoh yang dianonimkan penulisnya itu, “ia”,
hanya mencintai putri bungsunya. Satu-satunya sosok yang “ia” harapkan di masa
tuanya –tanpa tahu berapa usianya- dan tentu menjadi tumpuan masa depan kala
“ia” sudah tua renta yang tidak mungkin melakukan banyak aktivitas.
Pada paragraf
berikutnya diceritakan “ia” merupakan pasangan hidup “perempuan tua”. Dahulu keduanya
hidup serasi, sama-sama sukses mengelola
usaha penerbitan majalah. Ketika mengetahui kedua tokoh yang entah apa
maksud penulis menganonimkannya, ketegangan cerita mulai dipahami pembaca.
Memahami
sebab-sebab ketegangan “ia” dengan “perempuan tua” tepatnya menempatkan cerita
itu pada konteks zaman yang sarat gejala postmodernitas: aktivitas tinggi (waktu),
uang, individualitas, serta masalah jender dan perkawinan. Sebagai manusia,
“ia” seakan lupa ada hal yang lebih prioritas dibandingkan uang. Begitu juga
“perempuan tua”. Waktu bagi keduanya dianggap benar-benar bernilai, bagaimana
waktu sebaik-baiknya digunakan untuk urusan pekerjaan masing-masing. Keduanya
lupa pada hal-hal yang berkenaan batiniah, terkait kehidupan keluarga.
Sejujurnya lelaki tua mungkin tak benarbenar merasa
terpukul dan mau memberikan restu jika saja pasangan putri bungsunya itu bukan
mantan kekasih yang masih ia cintai.
Peristiwa
singkat –seperti apa yang pernah diungkap penulis cerpen ini kepada saya,
cerpen ialah peristiwa singkat- itu ditutup dengan penceritaan perihal kedepresiaan
“ia”dalam arti psikologis. “Ia” menghadapi kenyataan bahwa, terkait gejala
posmodernitas, anak bungsunya merupakan seorang lesbi. Kenyataan itu ditambah
dengan kenyataan bahwa pasangan anak bungsunya merupakan bekas kekasih “ia”. Sama
sekali tak disangka, apa yang ada di dalam pikiran tidak sesuai kenyataan. Ada
kontradiksi antara idea dan realitas.
Ketuaannya
menyebabkan “ia” tidak mampu menyelesaikan permasalahan sehingga gangguan
psikologis itu muncul, seakan pasrah menerima kenyataan di luar dugaan hingga
memunculkan “penyakit” kejiwaan tersebut, seperti apa yang dijelaskan dalam
psikologi bahwa potensi depresi pada usia tua sangat tinggi dengan tanda-tanda
rasa khawatir, kepasrahan, dan sedih.
***
Perbincangan
terkait kesusastraan, malam itu, Kamis (25/07/2013), di warung Mpok Nur, Kebon
Sirih, Jakarta Pusat, mengalir begitu saja. Tidak ada pesiapan topik khusus. Tidak
ada pula persiapan sistematika diskusi. Perbincangan malam itu akhirnya
mengarah pada kehidupan pribadi seorang sastrawan terkenal di Indonesia. Tokoh
yang dimaksud ialah sastrawan yang telah lama berkecimpung di dunia sastra,
sejak era 60-an hingga kini. Selain bergelut di bidang kesastraan, dirinya juga
berperan besar terhadap perkembangan pers nasional –penerbitan majalah.
“Kamu tahu, ide
cerpen ‘Rumah yang Terbelah’, yang dimuat di koran Media Indonesia itu, idenya dari kisah sastrawan,” kata Aris
Kurniawan.
Saya teringat
cerpen yang dimaksud. Sempat mengulas, tapi tidak dalam. Perlahan saya
mengarahkan pembicaraan agar lebih jauh lagi bagaimana kisah sastrawan yang
dimaksud hingga menjadi sebuah inspirasi cerpen yang dari teknik penokohan
kurang bagus itu.
“Teman saya yang
kerja di Salihara pernah cerita. Suatu hari si sastrawan itu (kenyataannya Aris
menyebut nama) bercerita tentang anaknya. Dia ceritain anaknya lesbi. Dia
bercerita sambil shock gitu. Raut
mukanya menunjukkan ketidakberterimaan kenyataan bahwa anaknya seorang lesbi,”
papar Aris yang menceritakan pengalamannya saat bertemu temannya di Salihara.
Perbincangan
berlanjut. “Kok gitu ya? Ternyata
seorang liberalis seperti itu pun tidak menerima anaknya jadi lesbi,” katanya
menyikapi si sastrawan.
Pada akhir
perbincangan itu saya mengingat relasi idealisme dengan kenyataan. Ternyata benar
apa yang dikatakan tokoh sosilogi, idealisme berawal dari kenyataan yang tidak
selesai.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.