ARTIKEL PINTASAN

Saturday, August 17, 2013

Sastrawan dan Gagasannya



ilustrasi: blogspot

Di rumah ini ia tinggal sendiri. Pembantunya hanya datang pagi untuk menyapu, mengepel, mencuci baju, dan mengganti air di jambangan bunga. Selebihnya tinggal dan menjaga di rumah perempuan tua itu. Rumah yang hanya berjarak beberapa meter dari rumah lelaki tua hanya dipisahkan halaman dan rumpun bambu kuning sebagai pagar pembatas dan membagi taman menjadi dua, meski sisi kanan kedua bangunan kembali disatukan oleh pintu gerbang yang sama. Tak ada yang menyita pikirannya sekarang, kecuali putri bungsu kesayangannya dan perempuan tua itu.

Pada bagian paragraf pertama cerpen “Rumah yang Terbelah” di atas tertera “ia” (kadang ditulis “lelaki tua”) hidup dalam kondisi kesendirian dengan penguatan adanya seorang pembantu ala kadarnya yang bekerja di rumah satu pagar dua atap. Pada salah satu rumah itu “ia” tinggal, sedang salah satunya lagi “perempuan tua”.  Tokoh yang dianonimkan penulisnya itu, “ia”, hanya mencintai putri bungsunya. Satu-satunya sosok yang “ia” harapkan di masa tuanya –tanpa tahu berapa usianya- dan tentu menjadi tumpuan masa depan kala “ia” sudah tua renta yang tidak mungkin melakukan banyak aktivitas.
Pada paragraf berikutnya diceritakan “ia” merupakan pasangan hidup “perempuan tua”. Dahulu keduanya hidup serasi, sama-sama sukses mengelola usaha penerbitan majalah. Ketika mengetahui kedua tokoh yang entah apa maksud penulis menganonimkannya, ketegangan cerita mulai dipahami pembaca.
Memahami sebab-sebab ketegangan “ia” dengan “perempuan tua” tepatnya menempatkan cerita itu pada konteks zaman yang sarat gejala postmodernitas: aktivitas tinggi (waktu), uang, individualitas, serta masalah jender dan perkawinan. Sebagai manusia, “ia” seakan lupa ada hal yang lebih prioritas dibandingkan uang. Begitu juga “perempuan tua”. Waktu bagi keduanya dianggap benar-benar bernilai, bagaimana waktu sebaik-baiknya digunakan untuk urusan pekerjaan masing-masing. Keduanya lupa pada hal-hal yang berkenaan batiniah, terkait kehidupan keluarga.

Sejujurnya lelaki tua mungkin tak benarbenar merasa terpukul dan mau memberikan restu jika saja pasangan putri bungsunya itu bukan mantan kekasih yang masih ia cintai.

Peristiwa singkat –seperti apa yang pernah diungkap penulis cerpen ini kepada saya, cerpen ialah peristiwa singkat- itu ditutup dengan penceritaan perihal kedepresiaan “ia”dalam arti psikologis. “Ia” menghadapi kenyataan bahwa, terkait gejala posmodernitas, anak bungsunya merupakan seorang lesbi. Kenyataan itu ditambah dengan kenyataan bahwa pasangan anak bungsunya merupakan bekas kekasih “ia”. Sama sekali tak disangka, apa yang ada di dalam pikiran tidak sesuai kenyataan. Ada kontradiksi antara idea dan realitas.
Ketuaannya menyebabkan “ia” tidak mampu menyelesaikan permasalahan sehingga gangguan psikologis itu muncul, seakan pasrah menerima kenyataan di luar dugaan hingga memunculkan “penyakit” kejiwaan tersebut, seperti apa yang dijelaskan dalam psikologi bahwa potensi depresi pada usia tua sangat tinggi dengan tanda-tanda rasa khawatir, kepasrahan, dan sedih.

***

Perbincangan terkait kesusastraan, malam itu, Kamis (25/07/2013), di warung Mpok Nur, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, mengalir begitu saja. Tidak ada pesiapan topik khusus. Tidak ada pula persiapan sistematika diskusi. Perbincangan malam itu akhirnya mengarah pada kehidupan pribadi seorang sastrawan terkenal di Indonesia. Tokoh yang dimaksud ialah sastrawan yang telah lama berkecimpung di dunia sastra, sejak era 60-an hingga kini. Selain bergelut di bidang kesastraan, dirinya juga berperan besar terhadap perkembangan pers nasional –penerbitan majalah.
“Kamu tahu, ide cerpen ‘Rumah yang Terbelah’, yang dimuat di koran Media Indonesia itu, idenya dari kisah sastrawan,” kata Aris Kurniawan.
Saya teringat cerpen yang dimaksud. Sempat mengulas, tapi tidak dalam. Perlahan saya mengarahkan pembicaraan agar lebih jauh lagi bagaimana kisah sastrawan yang dimaksud hingga menjadi sebuah inspirasi cerpen yang dari teknik penokohan kurang bagus itu.
“Teman saya yang kerja di Salihara pernah cerita. Suatu hari si sastrawan itu (kenyataannya Aris menyebut nama) bercerita tentang anaknya. Dia ceritain anaknya lesbi. Dia bercerita sambil shock gitu. Raut mukanya menunjukkan ketidakberterimaan kenyataan bahwa anaknya seorang lesbi,” papar Aris yang menceritakan pengalamannya saat bertemu temannya di Salihara.
Perbincangan berlanjut. “Kok gitu ya? Ternyata seorang liberalis seperti itu pun tidak menerima anaknya jadi lesbi,” katanya menyikapi si sastrawan.

Pada akhir perbincangan itu saya mengingat relasi idealisme dengan kenyataan. Ternyata benar apa yang dikatakan tokoh sosilogi, idealisme berawal dari kenyataan yang tidak selesai.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes