ARTIKEL PINTASAN

Friday, March 28, 2014

Bangsa yang Kuat Seperti Pohon yang Kokoh





ilustrasi pohon (foto: blogspot)

Bangsa yang Kuat Seperti Pohon yang Kokoh - Bangsa Indonesia kehilangan jati dirinya sebagai bangsa. Kehilangan jati diri itu dapat dipahami dari perkembangan kebudayaan masa kini. Budaya asing justru mendominasi ke berbagai lini kehidupan, seperti ekonomi dan politik.
Kondisi seperti itu, menurut Jadul Maula, tidak akan membuat bangsa ini semakin kuat. Bangsa ini justru akan semakin lemah. “Tumbuh yang baik itu seperti pohon, kuat di akarnya. Akar serupa sejarah, budaya kita, yang nantinya akan tumbuh buah,” kata tokoh NU Yogyakarta itu, dalam diskusi mingguan di Pondok Pesantren Kaliopak,Yogyakarta, Jumat (21/03).
Di dalam makalah diskusi, yang juga pernah disampaikan dalam orasi budaya di acara NU Yogyakarta, Jadul Maula mengutip ayat Al-Quran.
Tiadakah engkau lihat bagaimana Allah menciptakan metafora tentang “kalimat yang baik” sebagaimana “pohon yang baik”, akarnya kuat (terhunjam) dan cabangnya ke langit (menjulang). Pohon itu menghasilkan buahnya setiap saat, atas izin Tuhannya. Dan Allah mencipta metafora bagi manusia, supaya mereka ingat selalu. Juga, tentang metafora “kalimat yang buruk” seperti “pohon yang buruk”, yang tercerabut dari akar bumi, jadilah ia tanpa kekuatan.   (Q.S Ibrahim 24-26).
Dia melihat Indonesia kini selalu mengikuti nilai-nilai kebaratan. Sektor politik, misalnya, menurut Jadul, buah politik berupa kontitusi justru cenderung memecah belah kebangsaan. Begitu juga sektor ekonomi, cenderung bertindak kapitalistik.
“Padahal kita bisa menelusuri nilai-nilai politik dan ekonomi dari masa-masa kerajaan. Feodalisme di Nusantara kita berbeda dengan feodalisme di Eropa. Butkinya, di Mataram, ada tanah kerajaan yang dijaga oleh kerajaan. Yang mengelola dan hasilnya untuk bersama (rakyat),” kata dia.
“Di dalam kultur lokal, kita selalu dapat belajar (secara kritis) tentang pergulatan menata sistem kepemilikan dan pemanfaatan tanah, distribusi kekayaan, pelestarian lingkungan, pengelolaan cita rasa, penyeimbangan hubungan sosial bahkan bagaimana berdialog terhadap teknik-teknik, pemikiran-pemikiran dan agama-agama lain yang masuk ke dalam wilayahnya. Tentu saja, melalui semua itu, dengan segala kebijakan maupun kezalimannya, keberhasilan maupun kegagalannya, kita dapat belajar membangun hidup kita sendiri di masa depan,” tulis Jadul di dalam lembaran materi, menjelaskan bahwa kearifan lokal dapat digali.
Di dalam lembaran materi itu, Jadul juga menjelaskan bagaimana Islam pun mampu mengelola tradisi Arab. Berbeda dengan Jahilliyyah. Menurut Jadul, Jahiliyyah gagal karena tidak mampu mengelola tradisi Arab. Karena itu, Jadul Maula menyimpulkan, dilihat dari sosio kultural,Islam telah mewarisi dari bangsa Arab secara melimpah dalam keseluruhan matranya, seperti tata peribadatan, tata sosial, ekonomi, politik, moralitas, bahasa dan seterusnya.
“Khalil Abdul Karim mendedahkan bahwa kultur Arab merupakan sumber dari banyak hukum, kaidah, sistem, kebiasaan dan tradisi yang dibawa dan dilegislasi oleh Islam: baik yang termuat di dalam al-Qur'an maupun produk dari ijtihad para sahabat dan ulama. Seperti pensucian ka'bah dan kota Mekkah, manasik haji dan umroh, pengagungan kepada Nabi Ibrahim dan Ismail, pensucian bulan Ramadlan, menghormati nasab, sistem sewa-menyewa, sistem khumus dalam pembagian harta rampasan perang, sistem hudud (hukuman untuk pezina, peminum khamr dan pencuri), sistem khilafah, sistem syuro dan lain sebagainya. Sehingga, sangat meyakinkan ketika Khalil mempostulatkan bahwa al-Islam waratsa min al-arab as-syai' al-wafir bal al-baligh al-wafrah fi kaaffat al-manahi: at-ta'abbudiyah wa al-ijtima'iyah wa al-iqtishadiyah wa as-siyasah wa al-khuluqiyah wa al-lisaniyyah,” tulis Jadul.
Bangsa Indonesia sudah menegaskan, filosofinya adalah Bhineka Tunggal Ika. Jadul menjelaskan bahwa arti falsafah tersebut adalah berbeda-beda dengan inti satu. “Innaa a'thaynaka al kautsar. Ayat ini kalau kita maknai, dari satu jadi banyak dan kembali ke satu lagi,” kata dia memaparkan.
Menurut dia, yang harus diperhatikan kembali ialah konsepsi manusia bangsa Indonesia. Karena lupa akar atau akarnya tidak kokoh, bangsa ini seakan lupa bagaimana menerjemahkan manusia dari para leluhur. Dia menganalogikan manusia selayaknya seperti biji salak. “Biji salak itu menderita dulu, kena hujan kedinginan, kena matahari kepanasa. Tapi karena itu biji salak bisa tumbuh di tanah. Setelah tumbuh, dia menjadi pohon. Lalu berbuah. Jadi buah salak lagi. Dimakan manusia, berguna bagi manusia. Bijinya dibuang. Balik lagi, biji salak itu menderita lagi. Begitu seterusnya,” kata dia menjelaskan.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes