ilustrasi pohon (foto: blogspot) |
Bangsa yang Kuat Seperti Pohon yang Kokoh - Bangsa Indonesia
kehilangan jati dirinya sebagai bangsa. Kehilangan jati diri itu dapat dipahami
dari perkembangan kebudayaan masa kini. Budaya asing justru mendominasi ke
berbagai lini kehidupan, seperti ekonomi dan politik.
Kondisi seperti
itu, menurut Jadul Maula, tidak akan membuat bangsa ini semakin kuat. Bangsa
ini justru akan semakin lemah. “Tumbuh yang baik itu seperti pohon, kuat di
akarnya. Akar serupa sejarah, budaya kita, yang nantinya akan tumbuh buah,”
kata tokoh NU Yogyakarta itu, dalam diskusi mingguan di Pondok Pesantren
Kaliopak,Yogyakarta, Jumat (21/03).
Di dalam makalah
diskusi, yang juga pernah disampaikan dalam orasi budaya di acara NU
Yogyakarta, Jadul Maula mengutip ayat Al-Quran.
Tiadakah engkau lihat bagaimana Allah menciptakan
metafora tentang “kalimat yang baik” sebagaimana “pohon yang baik”, akarnya
kuat (terhunjam) dan cabangnya ke langit (menjulang). Pohon itu menghasilkan
buahnya setiap saat, atas izin Tuhannya. Dan Allah mencipta metafora bagi
manusia, supaya mereka ingat selalu. Juga, tentang metafora “kalimat yang
buruk” seperti “pohon yang buruk”, yang tercerabut dari akar bumi, jadilah ia
tanpa kekuatan.
(Q.S Ibrahim 24-26).
Dia melihat
Indonesia kini selalu mengikuti nilai-nilai kebaratan. Sektor politik,
misalnya, menurut Jadul, buah politik berupa kontitusi justru cenderung memecah
belah kebangsaan. Begitu juga sektor ekonomi, cenderung bertindak kapitalistik.
“Padahal kita
bisa menelusuri nilai-nilai politik dan ekonomi dari masa-masa kerajaan.
Feodalisme di Nusantara kita berbeda dengan feodalisme di Eropa. Butkinya, di
Mataram, ada tanah kerajaan yang dijaga oleh kerajaan. Yang mengelola dan
hasilnya untuk bersama (rakyat),” kata dia.
“Di dalam kultur
lokal, kita selalu dapat belajar (secara kritis) tentang pergulatan menata
sistem kepemilikan dan pemanfaatan tanah, distribusi kekayaan, pelestarian
lingkungan, pengelolaan cita rasa, penyeimbangan hubungan sosial bahkan
bagaimana berdialog terhadap teknik-teknik, pemikiran-pemikiran dan agama-agama
lain yang masuk ke dalam wilayahnya. Tentu saja, melalui semua itu, dengan
segala kebijakan maupun kezalimannya, keberhasilan maupun kegagalannya, kita
dapat belajar membangun hidup kita sendiri di masa depan,” tulis Jadul di dalam
lembaran materi, menjelaskan bahwa kearifan lokal dapat digali.
Di dalam
lembaran materi itu, Jadul juga menjelaskan bagaimana Islam pun mampu mengelola
tradisi Arab. Berbeda dengan Jahilliyyah. Menurut Jadul, Jahiliyyah gagal
karena tidak mampu mengelola tradisi Arab. Karena itu, Jadul Maula
menyimpulkan, dilihat dari sosio kultural,Islam telah
mewarisi dari bangsa Arab secara melimpah dalam keseluruhan matranya, seperti
tata peribadatan, tata sosial, ekonomi, politik, moralitas, bahasa dan
seterusnya.
“Khalil Abdul
Karim mendedahkan bahwa kultur Arab merupakan sumber dari banyak hukum, kaidah,
sistem, kebiasaan dan tradisi yang dibawa dan dilegislasi oleh Islam: baik yang
termuat di dalam al-Qur'an maupun produk dari ijtihad para sahabat dan ulama.
Seperti pensucian ka'bah dan kota Mekkah, manasik haji dan umroh, pengagungan
kepada Nabi Ibrahim dan Ismail, pensucian bulan Ramadlan, menghormati nasab,
sistem sewa-menyewa, sistem khumus dalam pembagian harta rampasan perang,
sistem hudud (hukuman untuk pezina, peminum khamr dan pencuri), sistem
khilafah, sistem syuro dan lain sebagainya. Sehingga, sangat meyakinkan ketika
Khalil mempostulatkan bahwa al-Islam
waratsa min al-arab as-syai' al-wafir bal al-baligh al-wafrah fi kaaffat
al-manahi: at-ta'abbudiyah wa al-ijtima'iyah wa al-iqtishadiyah wa as-siyasah
wa al-khuluqiyah wa al-lisaniyyah,” tulis Jadul.
Bangsa Indonesia
sudah menegaskan, filosofinya adalah Bhineka Tunggal Ika. Jadul menjelaskan
bahwa arti falsafah tersebut adalah berbeda-beda dengan inti satu. “Innaa a'thaynaka al kautsar. Ayat ini kalau kita maknai, dari satu jadi banyak dan
kembali ke satu lagi,” kata dia memaparkan.
Menurut dia,
yang harus diperhatikan kembali ialah konsepsi manusia bangsa Indonesia. Karena
lupa akar atau akarnya tidak kokoh, bangsa ini seakan lupa bagaimana
menerjemahkan manusia dari para leluhur. Dia menganalogikan manusia selayaknya
seperti biji salak. “Biji salak itu menderita dulu, kena hujan kedinginan, kena
matahari kepanasa. Tapi karena itu biji salak bisa tumbuh di tanah. Setelah
tumbuh, dia menjadi pohon. Lalu berbuah. Jadi buah salak lagi. Dimakan manusia,
berguna bagi manusia. Bijinya dibuang. Balik lagi, biji salak itu menderita
lagi. Begitu seterusnya,” kata dia menjelaskan.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.