ilustrasi (foto: blogspot) |
Lombard, Menulis Pembaratan - Pulau Jawa,
bagian dari cerita masa lalu Nusantara, dianggap eksotis. Kekayaan alam dan
letak geografis yang strategis sangat potensial secara ekonomis. Lebih dari
itu, Prof Lombard menampilkan citra kompleks tentang Jawa. Kompleks karena
mampu (semacam) menjadi ensiklopedi (sejarah). Menarasikan sosio-kultural,
perihal Pulau Jawa dan penduduknya. Penekanannya ialah mental.
Begitulah apa
yang disampaikan Ipang dalam mukadimah diskusi yang ia “pimpin”, di Pondok
Kaliopak, Piyungan, Yogyakarta, Rabu (26/03). Ipang menyajikan karya Prof
Lombard, sebuah pembacaan ulang, menurut dia, yang disajikan kembali di ruang
diskusi mingguan.
“Karyanya ada
tiga jilid. Saya baru bisa mengulas jilid satu. Intinya itu pencitraan
Indonesia di masa lalu, Nusantara,” kata dia, selaku pembicara.
Lelaki bertubuh
gempal ini tidak lupa mengawali uraiannya dengan aspek latar. Dengan memaparkan
adanya sisi keterputusan penyusunan sejarah kemajuan Islam di Timur, dia
menegaskan bahwa keterputusan tersebut harus dipandang dengan bijak untuk
memahami bagaimana pula perkembangan selanjutnya agar dapat memahami Lombard. “Lombard
hidup di masa setelah adanya perbaikan penulisan sejarah perkembangan Islam,”
kata dia.
Dia memaparkan,
karya Lombard bisa digunakan memahami masa lalu, baik memahami siapa bangsa ini
maupun siapa etnis kekitaan. Hal itu bermaksud, memahami masa lalu dan
mendefinisikan melalui masa depan.
“Ini
mempertaruhkan siapa sih saya,” kata dia kepada 11 peserta diskusi.
Sementara itu,
di dalam materi pengantar yang sengaja difotokopi oleh Ipang, menjelaskan bahwa
buku itu (tiga bab) terhitung lebih dari 1.000 halaman, dengan 2.500 catatan
kaki, daftar pustaka 60 halaman serta 45 halaman daftar pustaka.
“Singkatnya
tulisan ini dapat disifatkan sebagai semacam ensiklopedi sejarah sosio-budaya
Jawa dalam konteks Asia dan dunia. Disainnya bersifat lawan sejarah, dalam arti
bahwa jilid pertama membicarakan occidentalisation, pembaratan atau pengaruh
kebudayaan Barat/modern di Jawa; jilid kedua menempatkan Jawa dalam dua
jaringan Asia utama: jaringan (atau nebula, dengan istilah yang disukai Lombard)
dunia Islam dan Nebula Cina; sedangkan jilid ketiga menguraikan batas-batas
indianisation atau pengindiaan,” papar A Teeuw dalam materi yang difotokopi
tersebut, pernah ditayang di Harian Republika, 24 Oktober 1993.
Diskusi yang
mengarah pada kepemahaman orientalis itu beberapa kali membingungkan,
menyebabkan suara kritis, hingga pesimisme para peserta diskusi. “Diskusi-diskusi
seperti ini (kajian postkolonial sudah banyak, tapi aksinya belum terlihat.
Belum ada gitu yang terlihat fokus, teliti, dan telaten yah,” kata Ipang, dalam
menjelaskan adanya diskursus postkolonial yang ditulis Barat itu sendiri.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.