ilustrasi (foto: blogspot) |
Ancaman. Itulah
asupan ke kepala saya belakangan ini. Ancaman pembunuhan penggal kepala dan
sejenisnya.
Penebar ancaman
itu, yang tak lain mengidentifikasi dirinya sebagai manusia beragama di kancah
kepartaian, bermaksud bersikap adil. Ada kesalahan maka ada hukuman. “Kalau ada
apa-apa dengan si X, aku penggal kepalamu,” kata orang tersebut, yang bermaksud
memainkan peranan hukum syariah (berbasis keagamaan), pria kelahiran 1986 di
Pulau Jawa.
Sepintas emosi
saya memuncak. Berekspresi dengan nada tinggi. “Maksudnya apa itu?” aku
merespon kalimat ancaman itu.
Demikianlah
sepenggal nukilan tentang ancaman. Ancaman akan selalu mendatangi kita. Lantas,
apakah ancaman itu? Apakah ancaman hanya terkait pembunuhan? Ancaman merupakan sifat
destruktif. Kadang mengandung emosi, kebodohan, ketidakmanusiawian, namun di
sisi lain kadang mengandung keadilan.
Ancaman akan
menjadi hantu. Menakutkan. Membuat emosi bagi siapa yang diancam. Tak jarang
pula menjadi pemicu kekerasan fisik. Namun, di sisi lain berpotensi menjadi
stimulan berpikir.
Lebah, misalnya,
akan menyiapkan senjata di tubuhnya kala sarang (rumahnya) terancam oleh mahluk
lain. Tak tanggung-tanggung, seluruh penghuni sarang dengan kompak akan
menyerang sumber ancaman. Lebah tidak akan menyengat apabila sarang mereka tidak terusik, tidak terancam.
Beralih ke
konteks sosial, ancaman tidak hanya terjadi pada antarmanusia. Ancaman juga
terjadi di wilayah kebudayaan. Kontek kekinian, budaya asli kerap terancam
budaya asing. Bagi Jalal Ali Ahmad, intelektual Islam-sosialis, Iran, ancaman
sosio kultural seperti itu tertuang di dalam esainya yang berjudul Gharbzdegi (secara harfiah berarti
terkontaminasi budaya Barat). Sementara “perilaku budaya” seperti itu dikenal
sebagai westernisasi. Kritik mengenai ancaman kebudayaan ini ditulis Jalal Ali
Ahmad kala pemerintah Shah Pahlevi.
Bagi Jalal Ali
Ahmad, ancaman budaya Barat akibat serbuan teknologi. Secara perlahan akan merusak
tatanan budaya asli Iran yang, menurut dia, lebih mengutamakan moralitas. Dia
juga menilai, kebudayaan Barat merupakan kebudayaan yang kropos dan tidak
bernilai (kemanusiaan maupun ke-Tuhanan).
Sosial-politik
Indonesia, di dalam perkembangan (sejarah) kebangsaan, kerap muncul
ancaman-ancaman. Kronologinya bisa diurut sejak kolonialisasi orang-orang Eropa
ke Nusantara hingga menjelang kemerdekaan. Perlawanan adalah bentuk
kontra-ancaman. Ancaman dibalas ancaman.
Di era Soekarno,
kita mengenal sikap politik Presiden pertama Indonesia itu mengenai
“antibarat”. Tokoh proklamator tersebut bermaksud melawan budaya barat yang
masuk ke Indonesia melalui komoditas-komoditas dan budaya pop, seperti musik,
pada masanya.
Bila
ancaman-ancaman demikian masifnya di kehidupan, hanya ancaman penuaan diri dan
kematian yang selalu setia berada di dalam diri. Tidak semua menyadari ancaman
ini. Namun, bagi saya, kedua ancaman ini hanya suatu penanda untuk dimakna
lebih dari apa yang tampak. Di luar kedua ancaman ini, mungkin saja kita perlu
melawan dan menampilkan sikap emosi dan menjadi stimulan berpikir kritis.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.