ARTIKEL PINTASAN

Wednesday, March 26, 2014

Ancaman



ilustrasi (foto: blogspot)

Ancaman. Itulah asupan ke kepala saya belakangan ini. Ancaman pembunuhan penggal kepala dan sejenisnya.
Penebar ancaman itu, yang tak lain mengidentifikasi dirinya sebagai manusia beragama di kancah kepartaian, bermaksud bersikap adil. Ada kesalahan maka ada hukuman. “Kalau ada apa-apa dengan si X, aku penggal kepalamu,” kata orang tersebut, yang bermaksud memainkan peranan hukum syariah (berbasis keagamaan), pria kelahiran 1986 di Pulau Jawa.
Sepintas emosi saya memuncak. Berekspresi dengan nada tinggi. “Maksudnya apa itu?” aku merespon kalimat ancaman itu.
Demikianlah sepenggal nukilan tentang ancaman. Ancaman akan selalu mendatangi kita. Lantas, apakah ancaman itu? Apakah ancaman hanya terkait pembunuhan? Ancaman merupakan sifat destruktif. Kadang mengandung emosi, kebodohan, ketidakmanusiawian, namun di sisi lain kadang mengandung keadilan.
Ancaman akan menjadi hantu. Menakutkan. Membuat emosi bagi siapa yang diancam. Tak jarang pula menjadi pemicu kekerasan fisik. Namun, di sisi lain berpotensi menjadi stimulan berpikir.
Lebah, misalnya, akan menyiapkan senjata di tubuhnya kala sarang (rumahnya) terancam oleh mahluk lain. Tak tanggung-tanggung, seluruh penghuni sarang dengan kompak akan menyerang sumber ancaman. Lebah tidak akan menyengat apabila sarang mereka tidak terusik, tidak terancam.
Beralih ke konteks sosial, ancaman tidak hanya terjadi pada antarmanusia. Ancaman juga terjadi di wilayah kebudayaan. Kontek kekinian, budaya asli kerap terancam budaya asing. Bagi Jalal Ali Ahmad, intelektual Islam-sosialis, Iran, ancaman sosio kultural seperti itu tertuang di dalam esainya yang berjudul Gharbzdegi (secara harfiah berarti terkontaminasi budaya Barat). Sementara “perilaku budaya” seperti itu dikenal sebagai westernisasi. Kritik mengenai ancaman kebudayaan ini ditulis Jalal Ali Ahmad kala pemerintah Shah Pahlevi.
Bagi Jalal Ali Ahmad, ancaman budaya Barat akibat serbuan teknologi. Secara perlahan akan merusak tatanan budaya asli Iran yang, menurut dia, lebih mengutamakan moralitas. Dia juga menilai, kebudayaan Barat merupakan kebudayaan yang kropos dan tidak bernilai (kemanusiaan maupun ke-Tuhanan).
Sosial-politik Indonesia, di dalam perkembangan (sejarah) kebangsaan, kerap muncul ancaman-ancaman. Kronologinya bisa diurut sejak kolonialisasi orang-orang Eropa ke Nusantara hingga menjelang kemerdekaan. Perlawanan adalah bentuk kontra-ancaman. Ancaman dibalas ancaman.
Di era Soekarno, kita mengenal sikap politik Presiden pertama Indonesia itu mengenai “antibarat”. Tokoh proklamator tersebut bermaksud melawan budaya barat yang masuk ke Indonesia melalui komoditas-komoditas dan budaya pop, seperti musik, pada masanya.

Bila ancaman-ancaman demikian masifnya di kehidupan, hanya ancaman penuaan diri dan kematian yang selalu setia berada di dalam diri. Tidak semua menyadari ancaman ini. Namun, bagi saya, kedua ancaman ini hanya suatu penanda untuk dimakna lebih dari apa yang tampak. Di luar kedua ancaman ini, mungkin saja kita perlu melawan dan menampilkan sikap emosi dan menjadi stimulan berpikir kritis.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes