ARTIKEL PINTASAN

Sunday, March 23, 2014

Manusia Rantau






ilustrasi: air terjun pongua, Vietnam (foto: blogspot)

Manusia Rantau - Menjadi manusia rantau hidup di antara kebebasan dan kegamangan diri. Ia akan menjadi bebas dari keterkekangan hubungan keluarga. Di sisi lain ia akan menjadi gamang ketika rindu melanda benak dan perasaannya.
Zaman yang serbaberbaur ini menyebabkan sulitnya mematakan “kelas manusia rantau”. Bukan semata dari segi etnik, melainkan juga dari segi geografis dan sejenisnya. Tipikal pemuda rantau tidak lagi hanya dimiliki etnik tertentu, Batak atau Padang misalnya. Jawa, Sunda, Bugis, dan lainnya pun telah merantau. Mereka keluar dari kampungnya untuk, terutama, memenuhi kebutuhan ekonomi, seperti pangan, sandang, dan papan.
Ibukota Jakarta, yang masih mendominasi perputaran uang dibanding kota maupun daerah lainnya, dengan prediksi 65-80% perputaran uang dari akumulasi uang di Indonesia, menjadi kota favorit perantauan. Bisakah Ibokota dikatakan hanya “Kota Betawi”? Juga kota-kota lainnya. Bisakah Bandung dikatakan hanya “Kota Sunda”? Semua telah berbaur. Ada etnis asli setempat dan ada pula perantau.
Manusia rantau selalu punya tujuan tersendiri. Ada yang merantau karena ingin mencari pekerjaan. Ada yang merantau karena ingin menuntut ilmu. Ada yang merayang sifatnya politis. Ada yang merantau yang sifatnya “antipolitis”. Ada yang merantau karena tuntutan, entah itu tuntutan dinas (pekerjaan) maupun tuntutan politik (transmigrasi). Namun, ada pula perantau yang ikut-ikutan semata.
Semacam suatu etik tak tertulis di dunia “orang yang merantau”, bahwa tanpa hasil sulit kembali ke kampung halaman. Hal ini tersirat di kalangan pemuda dan pemudi Sumatera Utara. “Aku udah jalan 5 tahun ini gak pulang ke Sumatera Utara. Kalau gak bawa hasil rasanya gak enak pulang. Harus ada yang dibawa, jadi bisa dibanggakan,” kata salah seorang teman, bermarga Sijabat, seorang mahasiswa Sanata Dharma asal Simpang Limun, Medan, Sumatera Utara, Rabu malam (19/03), di Piyungan, Yogyakarta.
Asumsi, ada kecenderungan manusia rantau lebih fleksibel, pemikiran terbuka, dan daya tahan yang cukup kuat. Mereka harus mampu menyesuaikan kehidupan di lingkungan “baru”. Mereka harus mampu membuka pikiran agar dapat berinteraksi dengan warga “yang baru”. Mereka harus jeli dalam menata relasi. Mereka harus mampu berpikir survive di tanah perantauan. Bagaimana, misalnya, menghadapi sakit kala hidup sendiri kala jauh dari keluarga.
Secara kultural mungkin “kekacauan” etnik-geografis ini disebabkan imperilisme. Sisa-sisa peperangan atau sisa-sisa kependudukan penjajah. Koloni dahulu meletakkan etnik-etnik tertentu di luar batas wilayah etniknya sendiri. Semacam transmigransi paksa. Lantas, transmigran itu tidak mampu kembali ke tanah leluhurnya, sehingga membuat kehidupan baru di tanah yang asing.
Hal itu diperparah pula dengan “keterpaksaan ekonomi” saat ini. Kapitalisme telah membuat peredaran uang bak pohon beringin. Tumbuh segerombolan di satu titik, pucuk, sementara di titik lain mengalami kekeringan dan semacamnya. Peredaran uang tidak merata. Peredaran komoditas (kebutuhan) juga tidak merata karena faktor distribusi.
Itu mengenai mereka yang merantau pada masa kini. Ada pula mereka yang merantau karena terkait ruhaniah. Mereka menjadi manusia, yang ingin melepaskan segala “keakuannya”, apa yang ego. Mereka, seperti ingin menemukan siapa yang “maha” atas dirinya, dikenal dengan sebutan sufi. Ajaran Budha juga demikian. Ajaran nasrani juga demikian, kini ada yang menyinggung dengan sebutan misionaris.
Pada akhirnya seseorang harus jeli memahami apa tujuan merantau dan bagaimana kesesuaian dengan capaian hidupnya. Seseorang akan merantau ke Yogyakarta apabila ia ingin mencari nilai keilmuan. Seseorang akan merantau ke Ibukota Jakarta apabila ia ingin mencari nafkah. Seseorang akan merantau ke pedesaan apabila ia ingin mencari ketenangan hidup.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes