ilustrasi: air terjun pongua, Vietnam (foto: blogspot) |
Manusia Rantau - Menjadi manusia rantau
hidup di antara kebebasan dan kegamangan diri. Ia akan menjadi bebas dari
keterkekangan hubungan keluarga. Di sisi lain ia akan menjadi gamang ketika
rindu melanda benak dan perasaannya.
Zaman yang
serbaberbaur ini menyebabkan sulitnya mematakan “kelas manusia rantau”. Bukan
semata dari segi etnik, melainkan juga dari segi geografis dan sejenisnya.
Tipikal pemuda rantau tidak lagi hanya dimiliki etnik tertentu, Batak atau
Padang misalnya. Jawa, Sunda, Bugis, dan lainnya pun telah merantau. Mereka
keluar dari kampungnya untuk, terutama, memenuhi kebutuhan ekonomi, seperti
pangan, sandang, dan papan.
Ibukota Jakarta,
yang masih mendominasi perputaran uang dibanding kota maupun daerah lainnya,
dengan prediksi 65-80% perputaran uang dari akumulasi uang di Indonesia,
menjadi kota favorit perantauan. Bisakah Ibokota dikatakan hanya “Kota Betawi”?
Juga kota-kota lainnya. Bisakah Bandung dikatakan hanya “Kota Sunda”? Semua
telah berbaur. Ada etnis asli setempat dan ada pula perantau.
Manusia rantau
selalu punya tujuan tersendiri. Ada yang merantau karena ingin mencari
pekerjaan. Ada yang merantau karena ingin menuntut ilmu. Ada yang merayang
sifatnya politis. Ada yang merantau yang sifatnya “antipolitis”. Ada yang
merantau karena tuntutan, entah itu tuntutan dinas (pekerjaan) maupun tuntutan
politik (transmigrasi). Namun, ada pula perantau yang ikut-ikutan semata.
Semacam suatu
etik tak tertulis di dunia “orang yang merantau”, bahwa tanpa hasil sulit
kembali ke kampung halaman. Hal ini tersirat di kalangan pemuda dan pemudi
Sumatera Utara. “Aku udah jalan 5 tahun ini gak pulang ke Sumatera Utara. Kalau
gak bawa hasil rasanya gak enak pulang. Harus ada yang dibawa, jadi bisa
dibanggakan,” kata salah seorang teman, bermarga Sijabat, seorang mahasiswa
Sanata Dharma asal Simpang Limun, Medan, Sumatera Utara, Rabu malam (19/03), di
Piyungan, Yogyakarta.
Asumsi, ada
kecenderungan manusia rantau lebih fleksibel, pemikiran terbuka, dan daya tahan
yang cukup kuat. Mereka harus mampu menyesuaikan kehidupan di lingkungan
“baru”. Mereka harus mampu membuka pikiran agar dapat berinteraksi dengan warga
“yang baru”. Mereka harus jeli dalam menata relasi. Mereka harus mampu berpikir
survive di tanah perantauan. Bagaimana, misalnya, menghadapi sakit kala hidup
sendiri kala jauh dari keluarga.
Secara kultural
mungkin “kekacauan” etnik-geografis ini disebabkan imperilisme. Sisa-sisa
peperangan atau sisa-sisa kependudukan penjajah. Koloni dahulu meletakkan
etnik-etnik tertentu di luar batas wilayah etniknya sendiri. Semacam
transmigransi paksa. Lantas, transmigran itu tidak mampu kembali ke tanah
leluhurnya, sehingga membuat kehidupan baru di tanah yang asing.
Hal itu
diperparah pula dengan “keterpaksaan ekonomi” saat ini. Kapitalisme telah
membuat peredaran uang bak pohon beringin. Tumbuh segerombolan di satu titik,
pucuk, sementara di titik lain mengalami kekeringan dan semacamnya. Peredaran
uang tidak merata. Peredaran komoditas (kebutuhan) juga tidak merata karena
faktor distribusi.
Itu mengenai
mereka yang merantau pada masa kini. Ada pula mereka yang merantau karena
terkait ruhaniah. Mereka menjadi manusia, yang ingin melepaskan segala
“keakuannya”, apa yang ego. Mereka, seperti ingin menemukan siapa yang “maha”
atas dirinya, dikenal dengan sebutan sufi. Ajaran Budha juga demikian. Ajaran
nasrani juga demikian, kini ada yang menyinggung dengan sebutan misionaris.
Pada akhirnya
seseorang harus jeli memahami apa tujuan merantau dan bagaimana kesesuaian
dengan capaian hidupnya. Seseorang akan merantau ke Yogyakarta apabila ia ingin
mencari nilai keilmuan. Seseorang akan merantau ke Ibukota Jakarta apabila ia
ingin mencari nafkah. Seseorang akan merantau ke pedesaan apabila ia ingin
mencari ketenangan hidup.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.