Stasiun acara televisi sekarang
ini layaknya panggung akrobat ataupun sirkus. Acara televisi beragam menyajikan
panggung-panggung yang mengatasnamakan seni. Seni musik, seni tari, hingga seni
(konon katanya) tradisional. Penonton dibentuk pasif, tetapi aktif dalam
mengapresiasi melalui tepuk tangan dan sorak-sorai. Bukan semata apresiasi dari
penonton yang tampak di dalam televisi, secara tidak sadar pun penonton di luar
televisi dibentuk untuk mengikuti apresiasi penonton di dalam televisi
tersebut.
Lihat saja, penonton-penonton acara
musik pada pagi hari. Beberapa stasiun televisi menyajikan penonton ‘bentukan’
seperti itu, yang secara tidak langsung membentuk penonton di luar televisi
mengikutinya. Lihat pula acara-acara komedi maupun acara show. Ada penonton
yang sengaja dibentuk untuk menambah suasana seakan-akan meriah.
Pertanyaannya adalah, siapakah
penonton itu? Ya, tidak lain penonton seperti itu merupakan penonton yang
diajak dari luar. Terlepas apakah penonton seperti itu benar-benar dibayar atau
tidak (dari pengalaman diskusi saya dengan beberapa teman, penonton seperti itu
dibayar. Tetapi saya belum dapat memastikan kebenarannya), yang pasti bahwa
penonton itu adalah remaja. Ya, kalangan remaja diajak dengan bujukan akan
masuk televisi, seakan-akan televisi mampu menjadi mediumnya untuk menjadi
terkenal seperti artis-artis, atau paling akan bertemu dengan artis idolanya. Ada
fakta yang saya alami sendiri mengenai hal itu.
Pertama, seorang teman
dekat saya, yang bercerita setelah keluar dari kelembagaan dan bercerita dengan
nada penyesalan, pernah bercerita tentang pengalaman kelembagaan mahasiswa yang
diikutinya. Pada suatu waktu kelembagaan mahasiswanya mengikuti acara show di
stasiun televisi Metro TV. Mereka pun pergi menuju Jakarta, dari Jatinangor,
dengan menggunakan bus. Mereka diajak untuk memeriahkan acara tersebut dengan
cara memberi tepuk tangan sesuai arahan. Di dalam proses acara itu ada seorang
kru yang mengarahkan atau memberi aba-aba kapan dan bagaimana saat bertepuk
tangan dimulai, bagaimana cara merespon teriakan, dan sebagainya. Setelah acara
usai, mereka diberi makan gratis. Makanan yang diberi oleh pihak stasiun
televisi dapat dikatakan cukup mewah bagi kalangan mahasiswa. Usailah semua
acara tersebut, kemudian mereka kembali ke Jatinangor. Ya, mereka hanya
mengikuti acara itu untuk memeriahkan semata agar tampak apresiatif dan
berkesan eksekutif karena dihadiri oleh mahasiswa.
Kedua,
tidak jauh berbeda dari hal yang pertama, seorang adik angkatan saya bercerita
bahwa lembaga perhimpunan jurusan akan menghadiri suatu acara komedi di stasiun
Trans7, komedi yang sempat naik daun dan sempat membuat roadshow ke beberapa kota. Dengan bangganya mereka akan berangkat
dari Jatinangor ke Jakarta dengan menyewa bus. Mungkin kita semua sudah tahu
bahwa penonton yang ada di dalam acara tersebut merupakan penonton yang
‘bentukan’ untuk tertawa, tepuk tangan, dan merespon komedian yang ada di
panggung studio.
Kedua fakta di atas menampakkan
bahwa mahasiswa kini telah menjadi panggung televisi yang dibentuk oleh pihak
televisi. Seperti yang saya singgung di atas, bahwa remaja merupakan ‘kroban’
televisi untuk dijadikan penonton bentukan. Klasifikasi remaja itu, salah
satunya, ialah kalangan mahasiswa, yang seharusnya menjadi kalangan yang kritis
atas realitas televisi.
Mahasiswa
telah kehilangan daya kritisnya dalam kultur seperti itu, kultur yang dibentuk
oleh corong budaya pop dan corong konsumtif (televisi). Mahasiswa hanya bisa
ikut dipanggung kelompok mahasiswa gerakan semata-mata ingin ‘gaya’, ingin
menapak ke jenjang yang lebih baik (batu loncatan) dalam karir politiknya
setelah lulus kuliah, dan ingin mengambil sikap pragmatis saja (apakah dapat
keuntungan finansial dan keuntungan kedudukan atau tidak) Secara
periodik perlahan-lahan pun kelompok gerakan mahasiswa redup.
//
Coba kita perhatikan beberapa kolom
opini di media massa. Rata-rata penulisnya berlatar dari dunia kampus
(mahasiswa), meski sesungguh itupun bagian dari instruksi dan kebijakan pihak
media massa demi mendapatkan nilai jual ke pasar. Melihat fenomena itu dalam
waktu sekejab kita patut bangga, karena mahasiswa (seakan-akan) telah berguna
bagi kehidupan bangsa dan negaranya, atau secara esensi dikenal sebagai intelektual
publik.
Meski tidak semua, kebanyakan
tulisan itu mengalami kendala bagi masyarakat luas. Pertama, kendala
kebahasaannya. Bahasa yang digunakan terlalu tinggi, dan secara tidak langsung
ingin menyatakan bahasa rendah merupakan bahasa murahan bagi mahasiswa. Kedua,
referensi tulisannya memuat buku-buku yang sulit diakses dan didapatkan oleh
masyarakat.
Penulis-penulis seperti itu
kebanyakan hanya mengejar nilai tambah semata. Nilai tambah yang dimaksud ialah
nilai tambah uang dan nilai tambah reputasi. Nilai tambah uang ini tidak
sepenuhnya disalahkan, terkait dengan cara survive seorang mahasiswa dalam
menggunakan daya intelektualitasnya. Nilai tambah reputasi digunakan untuk
mencari reward dalam meningkatkan ‘nilai jualnya’ kepada suatu instansi,
seperti instansi tertinggi di bidang pendidikan, agar memberikan peluang untuk
menaikkan tingkat/golongannya sehingga secara otomatis pula gaji naik.
Satu hal yang perlu diperhatikan
adalah bagaimana tradisi ini terbentuk. Ben Anderson1 pernah
mengulas hal ini, mengkritisi peran-peran intelektual publik yang
mengaktualisasi ide-ide dan gagasannya di kolom-kolom opini media massa dan
panggilan televisi. Semua itu dilakukan oleh intelektual publik (dalam hal ini
saya setarakan dengan mahasiswa-mahasiswa yang sering mengisi kolom-kolom opini
di media massa) karena tidak adanya perhatian serius dari pemerintah terhadap
intelektual seperti itu. Akibatnya, cara pintas seperti itu dilakukan
semata-mata demi mempertahankan hidup.
-2011-
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.