ARTIKEL PINTASAN

Monday, September 1, 2014

Menjauhkan Impersonal


 
Kirab Budaya di Piyungan, Bantul, Yogyakarta (Foto: Dadang)

Menjauhkan Impersonal - Di Kompas, Minggu (31/08), Bre Redana, menuturkan kisah impersonal yang ia alami. Bre tengah melakukan perjalanan ke salah satu negara di Eropa dengan menggunakan pesawat terbang. Urusan administrasi keperluan pesawat itu ia lakukan dengan sebuah mesin yang tersedia di bandara. Menurut  dia, pengalaman berurusan dengan mesin membuat dirinya impersonal. Sama halnya seperti urusan administrasi lainnya, seperti membeli makanan, membayar tagihan, hingga dalam hal ihwal pendaftaran (registrasi).
Dehumanisasi. Zaman telah berubah, dari interaksi sesama manusia ke interaksi manusia dengan mesin. Manusia semakin mendekatkan diri dengan kemudahan (teknik) melalui instrumen mesin. Manusia semakin dekat dengan mesin ATM (anjungan tunai mandiri) ketimbang harus teller bank. Manusia semakin mendekatkan diri dengan televisi ketimbang harus bercengkerama dengan teman. Manusia semakin dekat dengan “ebook” ketimbang harus membawa buku. Di satu sisi hal itu menguntungkan bagi manusia dalam sudut pandang efisiensi. Namun, di sisi lain manusia justru semakin jauh dari lingkungan manusia itu sendiri (alienasi).
Di desa hal semacam itu masih teratasi dengan tradisi. Sebuah tradisi kemanusiaan, di mana interaksi antarmanusia dan tolong-menolong sesama manusia masih tinggi. Dengan kegiatan antarmanusianya, suatu kelompok dapat menjaga sifat-sifat manusiawi. Tidak terjebak pada kedekatan dengan mesin-mesin.
Seperti kegiatan di Kecamatan Piyungan, Bantul, Yogyakarta, Minggu (31/08) siang. Beberapa dusun di kecamatan ini melakukan kirab budaya. Warga sekitar menyebut “Kirab Jodang”. Jodang, semacam replica yang terbuat dari kayu, diarak dari satu tempat ke tempat lain. Jodang berisi hasil panen kebun, kue, nasi, hingga uang yang dikemas di dalam plastik putih.
Warga yang turut serta mengarak dari jodang dari Dusun Klenggotan hingga ke dusun lainnya. Jaraknya sekitar 2 kilometer. Sepanjang jalan arak-arakan warga lainnya menyaksikan arak-arakan tersebut. Mereka seakan terhibur dengan ekspresi tradisi tiap-tiap kelompok yang mewakili dusunnya masing-masing. Ada kelompok yang memainkan alat musik angklung sambil melantunkan salawat nabi. Ada kelompok yang memainkan instrument drumband. Ada kelompok yang memainkan karakter tokoh bertopeng.
Sesampainya di tempat akhir (tujuan) arak-arakan, semua kelompok berkumpul. Pengurus instansi kecamatan dan kepolisian (polsek) memberi ceramah. Selanjutnya, acara yang dinanti-nantikan warga, berbagi jodang. Seisi jodang dibagi, setelah diiringi doa. Satu kelompok membagi jodang ke kelompok lainnya. Sementara warga yang bukan peserta arak-arakan juga ikut mengambil isi jodang. Saling berebut. Saling bahagia. Saling melempar tawa dan keceriaan. Semua makanan yang ada di sekitar lokasi adalah makanan milik bersama. Tanpa batas kepemilikan.
Setelah acara tersebut, semua warga yang ada di sekitar lokasi menikmati apa yang mereka dapat. Sambil bercerita. Sambil berkisah. Mereka bercerita banyak hal.

Apakah tradisi semacam ini bisa dialihkan ke dalam mesin? Yang jelas, tradisi seperti ini menjaga hubungan sesame manusia dan kekeluarga masyarakat di desa tetap terjaga, tidak seperti kisah Bre Redana itu di salah Bandara yang ada di Eropa sana.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes