ARTIKEL PINTASAN
Showing posts with label media massa. Show all posts
Showing posts with label media massa. Show all posts

Friday, October 30, 2015

Media Massa Daring Abal-abal Merebak

ilustrasi (gambar: wordpress)

Tak bisa dipungkiri teknologi informasi (TI) memberi perubahan drastis dalam kehidupan bermasyarakat. Peredaran informasi cepat beredar dan tanpa batas regional. Batasannya hanya pada persoalan bahasa dan infrastruktur. Banyak peredaran informasi dari satu tempat ke tempat lain hingga menyebabkan perubahan gaya hidup masyarakat.
Sayangnya, pertumbuhan TI tak diikuti pemantapan individu dalam menyaring media informasi. Masyarakat dituntut cakap dalam memilah media mana, dalam hal ini ialah media massa daring (online), yang layak dan tidak layak. Tanpa kecakapan tersebut, masyarakat akan terbawa arus pada informasi yang menyesatkan.
Dalam satu waktu, penulis membuka beranda facebook. Di beranda terjejali banyaknya media-media massa. Beragam nama. Beragam pula varian kontennya. Mulai dari ihwal agama, tips dan trik, game, hingga politik. Hal yang membuat penulis mengernyitkan dahi ialah nada kebencian.
 Satu kasus, misalnya, apabila si A membagi tautan artikel agama bernada kebencian di beranda facebooknya, maka potensi tautan tersebut dibaca ialah sebanyak pertemanannya di facebook tersebut. Tentu sangat mengkhawatirkan. Bayangkan apabila ia memiliki pertemanan sebanyak 5.000 pertemanan. Katakanan setengahnya tidak membuka facebook. Itu artinya, 2.500 temannya bakal menemui tautan artikel tersebut di beranda facebook masing-masing.
Media massa merupakan produk profesionalitas. Di dalamnya terdapat struktur organisasi, mekanisme, dan regulasi. Media massa yang dikerjakan berdasarkan profesionalitas tentu akan menghasilkan produk kerja yang berkualitas, meski kualitas tak selalu seiring dengan kadar profesionalisme semata.
Media massa daring yang dikerjakan tanpa mengedepankan profesionalisme layak disebut “media abal-abal.” Beberapa aspek kerap terabaikan. Di antaranya ialah sumber, unsur dasar 5W+1H, keseimbangan, hingga legalitas hukum (media massa). Hal inilah banyak ditemui penulis di dalam tautan-tautan di beranda facebook penulis. Misalnya, artikel A tidak jelas siapa sumbernya. Bahkan, badan hukum media itu pun tidak jelas.
Semua media massa seperti itu tentu harus diwaspadai. Bukan hanya berdampak pada cara berpikir, media abal-abal juga memicu perselisihan antar-golongan. Menurut penulis, lebih dari setengah tautan di beranda facebook penulis yang dibagi teman facebook umumnya bernada negatif.
Diprediksi, pertumbuhan media abal-abal semakin meningkat. Hal ini seiring kelonggaran aturan main di ranah TI. Berdasarkan informasi selentingan dari wartawan di Kemenkominfo, pemidanaan tentang penghinaan dalam UU ITE akan dihapus. faktor lainnya ialah pertumbuhan jumlah pengguna internet. Tahun belakangan ini, pertumbuhan internet di Indonesia mencapai 15-16 persen. Berdasarkan data APJII, 2015, kini pengguna internet aktif telah lebih dari 80 juta pengguna, 70 juta lebih di antaranya merupakan pengguna aktif media sosial facebook.
Kewaspadaan perlu ditekankan sejak dini. Memilah media massa yang kredibel merupakan keharusan agar mendapatkan informasi yang baik dan tepat. Tentu siapa pun tidak ingin terjebak pada arus informasi abal-abal atau menyesatkan. Di dalam kehidupan berkeluarga, kewaspadaan perlu ditekankan sejak di dalam rumah. Khusus bagi Anak-anak, bagaimana mereka diarahkan dapat menyeleksi media-media daring yang layak baca dan tepat guna. Tentu, kita ingin bangsa ini terdidik.

Monday, April 20, 2015

Juggernaut Media

Ilustrasi (Foto: Blogspot)
Pengurus Divisi Penanganan Terorisme Kepolisian Malaysia, Datuk Ayob Khan Pitchay, Senin (23/02), seperti dilansir The Straits Times, menyatakan kekhawatirannya atas intensitas terorisme Negara Islam Irak-Suriah (ISIS). Ayob Khan Pitchay menyatakan bahwa kelompok ISIS memiliki cara perekrutan baru, yakni menghasut melalui jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter.
Sebelumnya, pekan lalu, tim antiteror di Negeri Jiran itu telah mengamankan seorang perempuan yang dicurigai akan bergabung ke ISIS di Suriah. Berdasarkan penelusuran kepolisian Malaysia, perempuan tersebut terpedaya atas tawaran nikah dari salah seorang kelompok ISIS melalui jejaring sosial media.
Beberapa kali kelompok pemberontak yang bermarkas di Suriah itu menjalankan kampanye publik melalui media sosial. Berita pemenggalan seorang sandera, berita penyanderaan jurnalis, hingga ritual keagamaan diunggah ke media sosial Youtube.
Di lain cerita, akhir tahun kemarin, 2014, tersiar kabar “kematian” beberapa media massa cetak. Ada media harian, mingguan, dwimingguan, hingga bulanan. Dari berupa koran hingga majalah, di antaranya kabar “kematian” Jurnal Nasional (Jurnas) dan majalah Fortune.
Dalam sebuah diskusi di salah satu stasiun televisi swasta, Arianna Huffington menyatakan, proyek digitalisasi adalah proyek besar dunia saat ini karena pada masa ini manusia telah kecanduan smartphone. Dia menjelaskan, manusia membutuhkan smartphone sejak manusia bangun tidur hingga tertidur kembali.
Dari paparan Arianna –pendiri Huffington Post- ihwal kebutuhan älat digital” itulah dapat dipahami wajaran kabar “kematian” media-media cetak tersebut.

Juggernaut
Media dalam hal ini berwajah dua. Di satu sisi bertindak seperti pasar (market), sementara di sisi lain bertindak sebagai pengendali pasar (market driven). Di satu sisi media massa adalah citra, di sisi lain bertindak sebagai pengendali citra. Demi menjaga entitasnya sebagai pasar itu, tentu media harus berinovasi dan mau bergelagat dinamis mengikuti kebiasaan –dalam pendekatan kebudayaan, Bourdieu menggunakan istilah habitus- masyarakat sesuai zamannya.
Antara peristiwa penggunaan media sosial ISIS dan “kematian” media-media cetak itu menunjukkan pergeseran konvensional, ortodoks, maupun konservatif ke era baru. Benang merahnya ialah new media (media baru), yang disebut internet (lintas keterhubungan), melalui sistem ekonomi politik yang berwadah globalisasi. Dengan kecepatan, transformasi “yang lalu” menjadi “yang kini” begitu sangat cepat. Lintas keterhubungan membuat batas-batas geografis menjadi tidak jelas akibat skema ekonomi politik globalisasi. Kecepatan bagi subjek-subjek merupakan prioritas kebutuhan. Di sinilah jurggernaut (kendaraan ganas) –istilah Antony Giddens- menjebak, merusak, ataupun menghardik hal ihwal yang bersifat konservatif.
Dengan meminjam istilah juggernaut Antony Ginddens, transformasi media massa yang berlandaskan kecepatan menunjukkan bahwa new media memang dibutuhkan guna memenuhi kebutuhan di tengah kehidupan globalisasi saat ini. Di sisi lain banyak risiko yang ditimbulkan juggernaut tersebut. Juggernaut media massa adalah kendaraan ganas yang digunakan media massa saat ini demi menjalani proses produksi-sirkulasi informasi.
Semua subjek ikut bergerak cepat. Tak ingin terlindas, tak ingin terpuruk, tak ingin terbunuh oleh juggernaut. Institusi, seperti Polisi dan Miiter (aparatus), harus bergerak cepat mengikuti subjek pasar. Menteri dan Presiden pun tak menjadi apa-apa (liyan) di tengah-tengah rakyat apabila kinerjanya bergerak lamban –begitu contoh yang tampak belakangan ini, publik tampak “greget” karena penuh harap Presiden Jokowi bergerak cepat atas peristiwa kisruh KPK-Polri dan isu-isu lainnya.
Informasi dan teknologi, turunan wawasan pengetahuan dan pengetahuan sains, adalah objek yang direproduksi subjek-subjek zaman. Keduanya menjadi ruh juggernaut, hingga pada akhirnya termanifestasi menjadi media massa.
Ibarat kereta, informasi dan teknologi yang berkembang pesat serupa kereta berbahan bakar listrik. Bergerak cepat untuk mengakomodasi penumpang yang membutuhkan kecepatan waktu. Sementara, sebelum kereta listrik berkembang, kereta berbahan bakar batu bara dianggap fungsional. Setelah kereta listrik berkembang dan muncul kereta-kereta dengan laju kecepatan tinggi, kereta berbahan bakar batu bara dianggap tak fungsional lagi.
Begitu pun media, yang lambat dianggap tak fungsional. Media bergerak cepat tanpa ampun. Begitulah juggernaut yang mereproduksi antara kebenaran dan seduksi, yang menyajikan antara hakikat dan ketampakan semata, menyajikan antara ideologi (tendensius) dan pengetahuan (objektif), menyajikan antara kecerdasan dan kebodohan.
Semakin bergerak cepat, juggernaut media akan semakin disenangi pembacanya (user). Tak peduli ketepatan (validitas) dan keberimbangan. Semakin modern suatu zaman, seperti dikatakan Jim Hall, fungsi media massa semakin tampak interaktifitasnya (two way communication and interpersonal communication). Interaksi menjadi satu indikasi kecepatan media. Bayangkan, dahulu interaksi di media massa, antara pembaca dan pengelola media, harus berkirim surat sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama. Kini hal itu dianggap usang.
Pada akhirnya, kemenangan jatuh pada “siapa yang lebih cepat”. Media yang cepat akan selalu digandrungi pembaca, meski selalu menuai kritik atas dampak kecepatannya.
Bagi ISIS, media sosial adalah alat juggernaut mereka, meski bukan berarti sesungguhnya mereka menyenangi media sosial itu seutuhnya. Paling tidak, kebutuhan kampanye ISIS dapat terakomodasi secara cepat.


Fredy Wansyah

Wednesday, October 1, 2014

Dua Media Cetak Kolaps

ilustrasi media cetak vs media online (foto: blogspot)
Dua Media Cetak Kolaps - Tepat akhir September kemarin, salah seorang sahabat saya yang bekerja di media mengakarkan perihal tumbangnya media-media cetak. Setelah beberapa media cetak koran tumbang, kini giliran dua majalah dan tabloid.
“Cetak pada kolaps. Fortune (Indonesia) dan Soccer tutup,” kata sahabat saya, Yoga Hastiadi, mengirim pesan melalui Whatsapp, Selasa (30/09).
Majalah Fortune Indonesia merupakan majalah yang menginduk pada majalah Fortune Money Group. Perusahaan yang menaungi Fortune adalah Time Inc, sebuah perusahaan media yang cukup ternama di Amerika Serikat. Di Indonesia, majalah segmen ekonomi ini dimotori oleh Kompas Gramedia. Pertama kali terbit pada tahun 2010.

Tak jauh dari Fortune, Soccer juga dimotori oleh Kompas Gramedia. Soccer merupakan tabloid khusus sepak bola. Di laman Kompas Gramedia, diakses pada 01 Oktober 2014, Soccer masih disiarkan sebagai tabloid bertiras 327.770 eksemplar.

Jokowi, Media, dan Sumut

ilustrasi (karikaturjokowi.blogspot.com)
Jokowi, Media, dan SumutPengumuman Mahkamah Konstitusi (MK) telah disampaikan, yang menandakan resminya Joko Widodo terpilih sebagai presiden berikutnya di mata hukum. Kini rakyat tinggal menunggu peresmian sang presiden baru pada 20 Oktober mendatang dan menunggu kerja nyata sang mantan gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) tersebut. Bagi penduduk Sumatera Utara (Sumut), sebagai bagian dari partisipator pilpres, kiranya perlu ikut mengawal secara aktif kinerja-kinerja Jokowi.
Dua hal yang terkait janji politiknya ialah pembangunan desa-desa dan keaktifan rakyat. Sejak awal kampanye, Jokowi menyampaikan bahwa desa akan menjadi fokus pembangunan. Di sanalah masyarakat Sumut perlu berperan aktif mengawal kerja Jokowi (dibantu Jusuf Kalla) di era pemerintahan mendatang. Apalagi, Sumut masih memiliki sekitar 2.000 desa tertinggal dari 5.889 desa di Sumut. Dengan mengawal, masyarakat telah berpartisipasi terhadap kinerja pemerintah.
Pertanyan dasarnya, dengan apa masyarakat Sumut mengawal? Di tengah keterbukaan informasi dan keterbukaan akses komunikasi antara pemerintah dan rakyatnya ini, media massa merupakan jembatan. Mengawal wacana melalui media massa berarti mengawal kebenaran penguasa (ordinat) dan kebenaran rakyat (subordinat).
Hal utama yang dilakukan masyarakat Sumut ialah melek media. Sejak awal pencalonan gubernur DKI Jakarta, Jokowi merupakan praktisi yang melek media. Kesadaran media oleh figur seperti ini perlu diterjemahkan sebaik mungkin, sebagai figur sadar media. Bukan tidak mungkin setiap aksi perbuatan figur tersebut di depan publik merupakan tahap pencitraan. Masyarakat perlu membedakan mana perilaku citra dan mana perilaku sebenarnya. Mana realitas dan mana hiperealitas.
Sebelum masa-masa pemilihan presiden (pilpres), Jokowi adalah satu-satunya politisi yang "media darling". Tindakannya yang berbaur dengan "wong cilik" dalam bekerja menjadi pilihan berita menarik bagi pengolah berita. Gestur, gaya bahasa, serta tatapan matanya saat tampil di depan layar kamera menarik para wartawan untuk selalu menginformasikan perihal Jokowi.
Selain itu, di dalam dunia internet, pada masa-masa jelang pencoblosan, Jokowi sangat terbantu atas adanya media alternatif (media sosial). Hal ini terlihat dari rilis lembaga survei politik khusus internet (netizen), PoliticaWave. Berdasarkan pengamatan PoliticaWave pada 4-5 Juni 2014, perbincangan di dunia internet tentang Jokowi unggul atas Prabowo, dari 34 provinsi. Begitu pula masa debat kampanye, 9 Juni 2014, percakapan mengenai dukungan terhadap Jokowi unggul jauh atas Prabowo. Pasangan Jokowi-JK mendapat 47.610 percakapan, sedangkan Prabowo hanya 16.003 percakapan.
Hal kedua yang perlu dipahami masyarakat Sumut ialah sadar kekayaan alam Sumut. Sadar kekayaan ini guna mengawal transaksi politis atas sumber-sumber daya alam di Sumut. Kekayaan alam bisa saja berkurang drastis akibat ketidakpedulian masyarakat terhadap sumber daya alam (SDA).
Pada 2013, Badan Pusat Statistik merilis 10 Provinsi dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tertinggi. Sumut berada pada posisi lima teratas, dengan nilai 118.640.902.74 (dalam rupiah). PDB, yang menjadi nilai ekonomi barang dan jasa , merupakan tolak ukur kekayaan suatu provinsi. Ini artinya, Sumut merupakan provinsi terkaya kelima di Indonesia. Di sisi lain, Sumut masih memiliki luas wilayah perkebunan sebesar 1.788.943 ha (tahun 2006).
Masyarakat yang aktif mengawal ialab masyarakat yang bersifat interaktif terhadap pemerintahnya. Selalu ada take and give informasi. Selalu ada reaksi-reaksi masyarakat, baik reaksi positif maupun reaksi kritis, terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Dalam hal ini, masyarakat juga perlu aktif membangun opini.


Monday, May 12, 2014

Memahami Independensi Media




ilustrasi (foto: humas-virtual.blogspot.com)
Memahami Independensi Media - Setelah membaca persoalan media partisan di dalam opini “Nasib Media Partisan Setelah Pemilu”, Kompas, Rabu (23/04), oleh peneliti media Ignatius Haryanto, saya sama sekali tidak mendapati pernyataan secara teks tentang nasib media partisan. Saya kira tulisan tersebut menyuratkan getirnya atau pahitnya derita media partisan, yang dipandang secara untung rugi, setelah pemilu berlangsung.
Bukannya saya tidak setuju dengan konsep independensi media. Namun, bagi peneliti perlu adanya kehati-hatian dalam penawaran konsep independensi media. Tawaran konsep independensi tersebut perlu dijelaskan secara detail dan hati-hati. Apakah independen pandangan (ideologi), independen relasi, atau independen materil. Independen secara etika (jurnalis) pun tidak cukup untuk menempatkan independensi media, terkait daya tahan kehidupan suatu media maupun simpati publik terhadap media tersebut. Menilik keseluruhan dari opini yang bernada sinis tersebut, penulisnya hanya berpijak pada hal keindependenan ideologi (cara pandang segolongan orang dalam meraih hasrat kekuasaan).
Beberapa praktisi media belakangan ini bercerita kepada saya bahwa saat ini mustahil menemukan media independen. Memang tidak pula dipungkiri, selalu ada pihak-pihak yang berusaha menjaga independensi melalui cara menjaga jarak. Selalu ada sikap politis, baik secara kelembagaan, kelompok, keredaksian, hingga personal atau jurnalis di lapangan. Selalu ada keterkaitan relasi antara pemilik modal suatu perusahaan media dengan politisi. Dua relasi ini sulit terpisahkan di zaman gurita kapitalisme seperti sekarang, di mana politisi membutuhkan kapital (modal) untuk kepentingan kampanye politik dan pemodal (pengusaha) membutuhkan otoritas politisi dalam membawa kepentingan-kepentingan ekonomi sang politisi di ranah pertarungan peraturan kenegaraan.
Contoh yang sempat menghebohkan praktisi media, setahun-dua tahun ke belakang, ialah pengakuan seorang Goenawan Muhammad (GM) dalam “kedekatannya” dengan Wakil Presiden Boediono. Ini hanyalah contoh sikap politik dari dalam keredaksian terhadap dukungan kepada salah seorang pejabat negara (politisi). Contoh lainnya, tidak sedikit berseliweran isu seputar kedekatan lingkaran pemimpin negara ini dengan media online mainstream.
Saya juga berasumsi, berdasarkan cerita para praktisi media, bahwa praktisi media yang bekerja di ruang redaksi memiliki sikap politik masing-masing selaku warga negara yang memahami hak politiknya. Namun persoalannya adalah bagaimana mereka menjaga netralitas antara pekerjaan dengan sikap politik tersebut. Sesuatu yang cukup sulit dijaga, karena pada praktiknya selalu saja ada yang “terlewatkan” dari berbagai sudut teknik produksi.
Persoalan modal pun suatu persoalan independensi lainnya yang patut dikupas. Apakah sejauh ini perusahaan-perusahaan media benar-benar berdiri dari gelontoran modal pengusaha semata? Bukankah lingkaran relasi pengusaha seperti itu juga memiliki relasi dengan para politisi. Sedikit banyaknya, karena relasi itu sifatnya privasi, tentu publik tidak akan tahu batas kepentingan si pemodal. Bukan tidak mungkin si pemodal membawa kepentingan politik dari rekannya yang berprofesi politik.
Etika kapital pun tidak mengharamkan si pemodal menuangkan ide, gagasan, atau pandangan politiknya. Hal inilah yang dimanfaatkan para pemodal yang sarat kepentingan (bukan semata kepentingan ekonomi). Hubungan antara pemodal dan pekerja, ordinat dan subordinat, terbatas oleh “yang kuasa” dan “yang dikuasai”. Hal ini perlu kiranya menjadi renungan, bahwa perlu adanya batasan atau tata cara permodalan tertulis di dalam konteks perusahaan media massa.
Dengan mengacu pada cita-cita independensi, menghasilkan karya jurnalistik yang objektif dan berimbang, kiranya perlu menempatkan para jurnalis pada bagian kelompok yang netral dalam ranah hak politik bernegara. Mungkin ini pemikiran yang sulit diterima para praktisi media, khususnya jurnalis.
Seiring menjaga cita-cita tersebut, perlu juga perusahaan media di Indonesia dibuka setransparan mungkin. Artinya, relasi-relasi pemilik perusahaan suatu media perlu dipublikasikan. Relasi politik (secara kelembagaan), relasi ideologis, dan relasi pemilik dengan politisi perlu dibukan selebar-lebarnya agar publik tidak terkecoh. Dengan demikian, publik akan tahu mana media yang ingin diperdalam secara ideologis maupun emosional. Publik akan memahami dengan sendirinya media yang ia butuhkan ataupun meninggalkan media yang tidak ia butuhkan.

Saturday, May 3, 2014

Tantangan Era Media Digital




Tantangan Era Media Digital - Sebagai mahluk bermasyarakat, sebagai manusia berakal, sebagai insan berusaha memahami keesaan Tuhan, bahasa menjadi jembatan. Bahasa menjembatani antarindividu (komunikator-komunikan), antara objek dan ide, antara realitas dan transendental. Seperti halnya kita menyampaikan pesan, ide, gagasan dan sejenisnya, kepada orang di sekitar kita. Pun begitu sebaliknya. Namun bahasa, yang sifatnya dinamis, membutuhkan pemahaman kontekstual, sesuai zaman dan masyarakat di mana bahasa itu digunakan.
Begitu pun halnya di dalam perkembangan ilmu dan pengetahuan. Para filsuf memandang pentingnya bahasa sebagai instrumen penting pembelajaran. Tanpa bahasa, pemahaman (ide dan gagasan) para filsuf tidak akan tersampaikan kepada kita hari ini. Kita tidak akan memahami ketasawufan seorang Jalaludin Rumi, kita tidak akan memahami ilmu-ilmu kedokteran Ibnu Sina, kita tidak akan memahami pemahaman mimesis Plato, kita tidak akan memahami gagasan Imam Ghazali, Imam Syafii, dan lainnya.
Di dalam teori evolusi bahasa, manusia kuno berututur melalui bahasa tubuh, cenderung ekspresionis. Selanjutnya, perkembangan bahasa dipengaruhi oleh perkembangan media. Media berperan penting “mendistribusikan” bahasa, baik dari segi kosakata hingga pemaknaan.

Media Massa dan Zaman
Tidak hanya bahasa itu sendiri yang berevolusi (dinamis), media pun terus berubah seiring perubahan zaman. Di era manusia kuno, di (pra)-Nusantara, begitu pula di beberapa bangsa di dunia, mengenal batu sebagai media. Pada zaman ini media-media massa belum dikenal seperti sekarang, melainkan hanya sebagai media di internal bangsa sendiri, relasi antara pemimpin bangsa dan anggotanya. Pesan-pesan di dalamnya tidak lain ialah persoalan moral.
Selanjutnya, di era feodalisme (tanpa bermaksud menyamaratakan persepsi feodalisme tiap-tipa bangsa), masyarakat menggunakan lontar dan kulit, berelasi antara pemimpin kerajaan dan rakyatnya. Pada era ini pesan-pesannya mengandung unsur kekuasaan dan moralitas. Kedua era ini pendistribusian “pesan” masih terbatas. Karena keterbatasan itu, saya memperkirakan, sudah barang tentu tertata dengan baik.
Perubahan drastis media massa terjadi di era kapitalisme. Diawali dengan penemuan mesin cetak oleh Guttenberg, 1940, evolusi media massa sangat cepat, dibandingkan dengan zaman-zaman sebelumnya. Konteks ekonomi-politik kapitalisme mendorong adanya “privatisasi media massa” oleh pemodal sebagai sarana akumulasi nilai (added value).
Perkembangan media massa kapitalisme terus berkembang seiring perkembangan teknologi informasi (TI). Saat ini muncul apa yang disebut sebagai “new media”, berbasis digital. “New Media” adalah bentuk media yang didasari atas kecanggihan teknologi. Media massa seperti ini ditandai dengan munculnya media-media massa berbasis daring (online), selain blogger, “media sosial” (facebook, twitter, path, linkedin, dan sebagainya: media alternatif).
Mengacu pada teori media massa, di tengah kapitalisme ini jarang sekali saya temui media-media massa mainstream berbasis IT mengandung unsur pembelajaran, kecuali hiburan, hiburan, dan sensualitas. Di dalam teori sejarah media massa menyebutkan bahwa secara umum bila merujuk sejak awal terbentuknya media massa memiliki tiga unsur trinitas, yakni pembelajaran (to educate), informasi (to informed), hiburan (to entertain). Persoalannya kini media-media mainstream lebih mengutamakan “hiburan”. Dari ketiga unsur ini, “hiburan” lebih mendapatkan porsi lebih besar dibandingkan dua unsur lainnya. Atau paling tidak kedua unsur tadi ditempatkan di bawah “hiburan”.
Tak ayal zaman media era digital ini membuat informasi politik menjadi sebuah hiburan berupa dagelan, informasi kesehatan menjadi sebuah “sarana jual-beli” (mengesampingkan to educated), dan informasi agama menjadi sebuah “fenomena religiusitas” maupun “fenomena konflik antargolongan.

Digitalisasi dan Tantangan
Saya sangat mengkhawatirkan bagaimana perilaku media online saat ini, hanya mengutamakan kecepatan, kecepatan, dan kecepatan. Banyak nilai terabaikan demi mengutamakan kecepatan. Nilai kejujuran dan keagungan (abdi sosial), bahkan nilai agung prinsip-prinsip jurnalisme, dinomorduakan. Fakta tidak lagi menjadi prioritas, karena dengan teknologi (digitalisasi), realitas hanyalah relitas maya yang dimanipulasi (apa yang sebut Baudrillard sebagai simulacrum) sedemikian rupa.
Dampak adanya digitalisasi, benar bahwa hal kecanggihan seperti itu membuat desa-desa terpencil bisa mengakses informasi, dari global ke lokal. Penyajian dari satu ruang ke ruang lainnya menjadi realtime. Perpanjangan sistem saraf manusia (meminjam istilah Yasraf A Piliang) seperti ini tentu mengonstruksi pikiran “anak zaman” (anak-anak nsebagai generasi masa depan).
Ekspansi digitalisasi ke desa-desa itu memunculkan kekhawatiran. Pertama, kekhawatiran mengenai perkembangan bahasa. Seperti apa yang pernah saya tulis mengenai persoalan bahasa media online (“Memilih Media”, Kompas, September 2013). Media online berpacu kecepatan, sehingga kebahasaan terabaikan. Perilaku media yang demikian canggihnya, bisa mengunggah berita di tempat peristiwa secepat mungkin, ternyata tidak sejalan dengan kualitas kebahasaan. Di sisi lain, media online terus diikuti perkembangan istilah-istilah asing, sejalan perkembangan teknologi.
Kedua, kekhawatiran pada bagaimana pembaca memahami atau meyakini wujud maya tadi sebagai sesuatu yang realitas nan jujur. Pembaca ibarat manusia polos, memercayai teks media massa itu apa adanya. Dalam hal ini, saya punya satu nukilan cerita saat bekerja di salah satu media online. Ketika itu sedang terjadi kebakaran di salah satu sisi kantor media televisi nasional. Tempat saya bekerja, penulis berita menyajikan berita dengan mendahului fakta. Ia menulis berita bahwa kobaran api telah padam. Padahal, saat berita itu ditulis fakta sesungguhnya, pemadam kebakaran sedang berusaha memadamkan api.
Simpulannya, secara tidak sadar generasi digital saat ini telah “mengunyah” konstruksi berpikir (minded) semrawut, komersil, “manusia yang terhibur”, dan serba instan. Semrawut berpikir berarti sulit membedakan mana yang realitas dan mana yang maya. Begitulah zaman media di era digital. Sebagai penutup, saya nukil ayat Al-Quran, mungkin kiranya bisa menjadi bagian renungan antara era digitalisasi ini dengan “Yang Ilahi”.

لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِّن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللّهِ إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللّهُ بِقَوْمٍ سُوءاً فَلاَ مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن وَالٍ
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia” (Surah Ar-Ra’ad ayat 11)


Tulisan ini disampaikan dalam diskusi minat dan bakat di Pondok Pesantren Kaliopak, 30 Mei 2014.

Versi ini setelah revisi

Tuesday, December 31, 2013

Memilih Media




Memilih Media (Kompas Cetak, 12 September 2013)- Jika harus memilih media cetak atau online, saya akan pilih media cetak sebagai media informasi saya. Walaupun media online terbilang gratis bersyarat, cukup punya telepon pintar, sementara untuk baca media cetak, uang harus tersedia kala ingin membacanya lebih leluasa.
Alasannya mudah saja: membaca berita di media online harus mengernyitkan alis. Seperti judul berita yang saya kutip dari media online berjargon tercepat, Detik.com, berikut ini: "Mudik Gratis Pemotor Masih Tersedia, Ayo Daftar!" (Minggu, 21 Juli 2013). Persoalan serupa juga terjadi pada judul berita yang saya kutip dari Tribunnews.com berikut ini, "Arya Wiguna Tak Merasa Cintanya Ditolak Pesinetron Rosnita" (Senin, 10 Juni 2013).

Persoalan imbuhan pe- di atas hanya salah satu dari sekian banyak persoalan. Persoalan tanda baca, persoalan istilah, persoalan gramatika yang menyebabkan makna ambigu, persoalan diksional agar eyecatching semata, hingga persoalan teknis.
Dalam tugas kecil, saya—melalui Indonesia Media Watch, akhir 2012—mendapati hampir separuh dari keseluruhan judul berita media online yang tayang pada satu hari mengalami kesalahan. Tingkat tertinggi ialah kesalahan teknis, salah ketik.
Tanda baca menjadi kesalahan terbesar setelah kesalahan teknis. Pada suatu kata seharusnya dibubuhi kutip dua atas, justru dibubuhi kutip satu atas. Sekadar contoh kecil, simak judul yang dimuat di Detik.com berikut: Menengok Pulau 'Rp1.000' yang Gunakan Listrik Pintar. (lebih lanjut lihat di Kompas Cetak)

Dari Media Massa ke Tokoh Politik





ilustrasi (foto: blogspot)
Dari Media Massa ke Tokoh Politik - Siang tadi, Senin (30/12), ada hal yang cukup menarik bagi saya. Seorang pengusaha meragukan kapasitas wakil rakyat di DPR. Sjahrir AB, dari asosiasi pertambangan Indonesia (IMA), begitu berujar tentang politisi masa kini.
"Saya pernah bercerita dengan orang DPR, yang cukup dekat dengan saya. Dia mengingatkan saya bahwa politisi di DPR pada umumnya lahir bukan karena profesionalitas dan kapabilitas, melainkan elektoral. Lalu bagaimana," kata Sjahrir.
Pernyataan itu mengingatkan saya pada tokoh-tokoh politik yang lahir belakangan ini, pasca-reformasi-terpimpin. Pernyataan itu pun mengingatkan saya pada prinsip budaya massa. Kualitas terabaikan, sebab hal yang utama adalah kuantitas. Begitu pula kemunculan tokoh-tokoh politik seperti apa yang dimaksud Sjahrir tersebut.
Merujuk pada kamus Inggris Oxford, "election" adalah choosing or selection by vote. Artinya, elektoral berasas keterkenalan. Tidak ada kapabilitas, apalagi profesionalitas. Untuk meraih keterkenalan itu, perlu medium. Yang paling mudah dijadikan mediumnya adalah media massa. Mudah dan efektif.
Saya akan sebut beberapa tokoh. Dahlan Iskan, Gita Wirjawan, Abu Rizal Bakrie, Hari Tanoesudibjo, Joko Widodo, dan Prabowo. Apabila saya sebut cara (1) kepemilikan media dan (2) media darling atau disayangi media massa, sepertinya kita sudah paham memasukkan nama-nama toko tersebut ke dua cara itu. Misalnya Abu Rizal Bakrie, saya yakin banyak di antara kita yang mengetahui tokoh ini sebagai pemilik media televisi dan daring (online). Jauh sebelum mereka ada politisi senior Akbar Tandjung. Sekitar tahun 80-an, politisi Golongan Karya ini sempat memimpin harian nasional Pelita, kini menjadi Harian Pelita.
Tanpa bermaksud mengabaikan kinerja, yang jelas mereka terlahir ke dunia politik dengan keakraban dunia media massa. Bagi mereka yang memiliki media massa, isu atau wacana dapat diracik sedemikian rupa. Sementara bagi mereka yang tergolong darling, keberpihakan dapat dilakukan dengan melontarkan kata-kata boombastis.
Jadi, siapa sangka jadi politisi masa kini itu, salah satu caranya, harus akrab dengan media massa?
 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes