ARTIKEL PINTASAN

Monday, May 12, 2014

Memahami Independensi Media




ilustrasi (foto: humas-virtual.blogspot.com)
Memahami Independensi Media - Setelah membaca persoalan media partisan di dalam opini “Nasib Media Partisan Setelah Pemilu”, Kompas, Rabu (23/04), oleh peneliti media Ignatius Haryanto, saya sama sekali tidak mendapati pernyataan secara teks tentang nasib media partisan. Saya kira tulisan tersebut menyuratkan getirnya atau pahitnya derita media partisan, yang dipandang secara untung rugi, setelah pemilu berlangsung.
Bukannya saya tidak setuju dengan konsep independensi media. Namun, bagi peneliti perlu adanya kehati-hatian dalam penawaran konsep independensi media. Tawaran konsep independensi tersebut perlu dijelaskan secara detail dan hati-hati. Apakah independen pandangan (ideologi), independen relasi, atau independen materil. Independen secara etika (jurnalis) pun tidak cukup untuk menempatkan independensi media, terkait daya tahan kehidupan suatu media maupun simpati publik terhadap media tersebut. Menilik keseluruhan dari opini yang bernada sinis tersebut, penulisnya hanya berpijak pada hal keindependenan ideologi (cara pandang segolongan orang dalam meraih hasrat kekuasaan).
Beberapa praktisi media belakangan ini bercerita kepada saya bahwa saat ini mustahil menemukan media independen. Memang tidak pula dipungkiri, selalu ada pihak-pihak yang berusaha menjaga independensi melalui cara menjaga jarak. Selalu ada sikap politis, baik secara kelembagaan, kelompok, keredaksian, hingga personal atau jurnalis di lapangan. Selalu ada keterkaitan relasi antara pemilik modal suatu perusahaan media dengan politisi. Dua relasi ini sulit terpisahkan di zaman gurita kapitalisme seperti sekarang, di mana politisi membutuhkan kapital (modal) untuk kepentingan kampanye politik dan pemodal (pengusaha) membutuhkan otoritas politisi dalam membawa kepentingan-kepentingan ekonomi sang politisi di ranah pertarungan peraturan kenegaraan.
Contoh yang sempat menghebohkan praktisi media, setahun-dua tahun ke belakang, ialah pengakuan seorang Goenawan Muhammad (GM) dalam “kedekatannya” dengan Wakil Presiden Boediono. Ini hanyalah contoh sikap politik dari dalam keredaksian terhadap dukungan kepada salah seorang pejabat negara (politisi). Contoh lainnya, tidak sedikit berseliweran isu seputar kedekatan lingkaran pemimpin negara ini dengan media online mainstream.
Saya juga berasumsi, berdasarkan cerita para praktisi media, bahwa praktisi media yang bekerja di ruang redaksi memiliki sikap politik masing-masing selaku warga negara yang memahami hak politiknya. Namun persoalannya adalah bagaimana mereka menjaga netralitas antara pekerjaan dengan sikap politik tersebut. Sesuatu yang cukup sulit dijaga, karena pada praktiknya selalu saja ada yang “terlewatkan” dari berbagai sudut teknik produksi.
Persoalan modal pun suatu persoalan independensi lainnya yang patut dikupas. Apakah sejauh ini perusahaan-perusahaan media benar-benar berdiri dari gelontoran modal pengusaha semata? Bukankah lingkaran relasi pengusaha seperti itu juga memiliki relasi dengan para politisi. Sedikit banyaknya, karena relasi itu sifatnya privasi, tentu publik tidak akan tahu batas kepentingan si pemodal. Bukan tidak mungkin si pemodal membawa kepentingan politik dari rekannya yang berprofesi politik.
Etika kapital pun tidak mengharamkan si pemodal menuangkan ide, gagasan, atau pandangan politiknya. Hal inilah yang dimanfaatkan para pemodal yang sarat kepentingan (bukan semata kepentingan ekonomi). Hubungan antara pemodal dan pekerja, ordinat dan subordinat, terbatas oleh “yang kuasa” dan “yang dikuasai”. Hal ini perlu kiranya menjadi renungan, bahwa perlu adanya batasan atau tata cara permodalan tertulis di dalam konteks perusahaan media massa.
Dengan mengacu pada cita-cita independensi, menghasilkan karya jurnalistik yang objektif dan berimbang, kiranya perlu menempatkan para jurnalis pada bagian kelompok yang netral dalam ranah hak politik bernegara. Mungkin ini pemikiran yang sulit diterima para praktisi media, khususnya jurnalis.
Seiring menjaga cita-cita tersebut, perlu juga perusahaan media di Indonesia dibuka setransparan mungkin. Artinya, relasi-relasi pemilik perusahaan suatu media perlu dipublikasikan. Relasi politik (secara kelembagaan), relasi ideologis, dan relasi pemilik dengan politisi perlu dibukan selebar-lebarnya agar publik tidak terkecoh. Dengan demikian, publik akan tahu mana media yang ingin diperdalam secara ideologis maupun emosional. Publik akan memahami dengan sendirinya media yang ia butuhkan ataupun meninggalkan media yang tidak ia butuhkan.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes