ARTIKEL PINTASAN
Showing posts with label opini. Show all posts
Showing posts with label opini. Show all posts

Sunday, May 21, 2017

Vonis Ahok dan Masalah Hukum yang Tak Usai

Newsth.com

Terdakwa kasus penistaan agama Basuki Tjahya Purnama divonis 2 tahun penjara, Selasa 9 Mei 2017. Oleh pengadilan, ia dianggap bersalah karena ucapannya di Pulau Seribu, Jakarta, mengandung muatan penistaan terhadap agama Islam.
Jauh sebelum kasus yang menimpa bekas politisi Gerindra dan Golkar itu, ada filsuf Yunani Sokrates mengalami hal yang sama. Hal ini terjadi pada tahun 399 SM. Sokrates diajukan ke pengadilan dengan tuduhan menggagas Tuhan baru di luar Tuhan yang diakui negara Athena pada masa itu.
Dalam proses persidangannya, pengadilan mendapatkan tekanan publik. Tuduhan dan penilaian terhadap Sokrates pun berkembang ke mana-mana. Di antaranya, ia dianggap atheis dan ada pula yang menganggapnya "Tuhan baru".
Di penghujung persidangan, Sokrates akhirnya ditetapkan bersalah dan dijatuhi hukuman mati. Bagi Sokrates, hukuman yang ia terima terasa tidak adil karena tuduhan kepada dirinya tidak terbukti di persidangan. Ia paham bagaimana para penuduh memberi pengaruh terhadap pengambil keputusan. Ia terima keputusan itu sebagai warga Athena yang patuh terhadap hukum.
Selanjutnya ada kasus mirip di dunia seniman musik. Berawal dari ucapan musisi The Beatles, John Lennon. Ia mengatakan "The Beatles lebih populer daripada Yesus." Pernyataan itu dimuat di Evening Standar pada Maret 1966, berdasarkan wawancara jurnalis Inggris berma aMaureen Cleave dengan John Lennon. Empat bulan kemudian, hasil wawancara itu muat kembali di Datebook, Amerika Serikat.
Dari sana muncul kemarahan pemeluk agama Kristen karena menganggap perkataan John Lennon adalah pelecehan terhadap Yesus. Kerusuhan terhadi di mana-mana, di berbagai negara, hingga petinggi Vatikan pun memberi reaksi. Protes keras terhadap John Lennon dan The Beatles dilakukan dengan cara membakar piringan atau kaset The Beatles.
John Lennon tidak dihukum seperti Sokrates. Hanya saja, ia dihukum dengan cara yang lebih keji oleh penggemarnya sendiri, bernama David Chapman. John Lennon dibunuh dengan tembakan pistol oleh Chapman pada 8 Desember 1980. Chapman ternyata diketahui penggemar yang terganggu kejiwaannya. Pembunuhan itu tidak bisa dilepaskan dari kontroversi John Lennon tahun 1966. Setelah diselidiki, selain kejiwaan, Chapman juga merupakan penganut Kristen konservatif.
Sementara di Indonesia ada kasus-kasus penistaan agama sebelum Ahok -panggilan akrab Basuki Tjahya Purnama- dengan pola yang tidak jauh berbeda. Dimulai dari kasus HB Jassin, Arswendo, hingga Lia Eden. Ketiganya adalah kasus yang juga menyita perhatian publik di masanya, tak ubahnya kasus Ahok yang menciptakan demo-demo massa secara rutin.
Dari rentetan kasus ini, ada banyak hal yang dapat jadi dipahami. Pertama, agama sebagai objek hukum akan sulit ditelaah. Hukum menggunakan paradigma positivistik. Dalam cara pandang positivisme, setiap hal harus dibuktikan secara inderawi. Di sinilah letak perbedaan antara ranah agama dan hukum. Tidak semua dimensi keagamaan dapat dibuktikan karena memuat unsur keyakinan (iman) dan wahyu, sementara hukum wajib membuktikan baik terkait tuduhan maupun sangkalan.
Kedua, keberagamaan simbolik. Penistaan sebenarnya masalah yang berawal dari persoalan simbolik. Bermula dari bahasa -sebagai simbol- menjadi di luar kesimbolan. Di mana pun dan sampai kapan pun, akan selalu ada manusia beragama secara simbolik atau menitikberatkan pada simbolismenya, bukan pada hakikat atau subtansinya.
Ketiga, common opinion mempengaruhi keputusan pengadilan. Secara tidak langsung, tuntutan massa dan desakan publik memberi dampak terhadap keputusan pengadil. Hal ini sering terjadi di dalam persidangan yang membawa persoalan atau objek persidangan terkait isu agama.
Dapat simpulkan bahwa vonis Ahok merupakan penanda masalah hukum yang tak pernah usai. Sampai kapan pun hukum tidak dapat mengobjektifkan persoalan keagamaan.

Thursday, March 10, 2016

Menjaga Energi Kita

Menjaga Energi Kita

Di jalanan yang cukup sepi, seorang pria mendorong motor. Di belakangnya, seorang wanita menggendong anak. Jarak antara pria dan wanita itu seperti suami istri. Saya, yang kebetulan berpapasan melihat, menghampiri keduanya. Saya bertanya, ada apa dengan motor yang dituntun.
"Kehabisan bensin, Mas," jawabnya dengan tegas dan sopan. Saya menawarkan bantuan, bagaimana supaya motornya sampai di SPBU terdekat. Dia menolak secara halus, "Sudah dekat. Ada bensin eceren kok, Mas. Matur nuwun, Mas," katanya santai.
Indonesia ibarat motor itu. Bayangkan, tanpa energi kita tidak bisa berbuat apa-apa atau kita akan bergantung pada negara lain. Tak ubahnya bantuan yang saya tawarkan itu, negara lain dengan motif ekonominya tentu senang sekali menawarkan bantuan kepada kita.

Krisis Energi?
Sedikit provokatif memang subjudul ini. Tapi inilah faktanya, poduksi energi kita mulai mengkhawatirkan bila angka produkai saat ini disandingkan dengan angka kebutuhan komsumsinya. Misalnya, salah satu sektornya, bahan bakar minyak (BBM), angka kebutuhannya sangat besar dibandingkan angka produksi. Bayangkan, tahun 2014, produksi BBM hanya 792 barel per hari. Sementara kebutuhan konsumsinya mencapai 1,9 juta barel.
Berdasarkan catatan Outlook Energi 2014, konsumsi energi meningkat 4,1 persen tiap tahun. Dengan mengonsumsi energi sebesar 117 juta TOE, kita menjadi negara konsumen energi terbesar di Asia Tenggara.
Rumah tangga, kendaraan bermesin, dan industri merupakan tiga sektor penyumbang tingginya angka konsumsi energi di dalam negeri ini. Setiap tahunnya pertumbuhan manusia di negara kita tak terbendung. Laju penjualan kendaraan, seperti motor dan mobil, rata-rata di atas 10 persen setiap tahunnya. Industri apalagi, akan terus berkembang seiring pertumbuhan manusianya.
Sebenarnya, krisis energi ini terjadi pada energi yang bersumber dari bahan fosil. Dengan kemampuan eksplorasi dan ketersediaan cadangan seperti saat ini, krisis energi di negara kita bukan tidak mustahil akan segera terjadi. Hal ini sedikit debateble memang sifatnya. Ada pihak yang menyatakan bahwa krisis energi telah terjadi. Ada pihak lainnya yang menyatakan bahwa kita masih berada di ambang krisis atau menuju tahap krisis, yang berarti belum mengalami krisis.
Dalam satu kesempatan di seminar publik, Menteri Sudirman Said mengutip hasil pengamatan Profesor Soebroto. Ia menyatakan krisis energi sedang mengancam negeri kita. Dalam kurun 12 tahun ke depan, cadangan minyak akan habis. Namun, Sudirman menjelaskan, ancaman krisis bukan berarti cadangan minyak telah habis dan harapan untuk memproduksi sendiri telah punah.
Di sisi lain, bukan berarti kita tidak memiliki sumber energi lain. Bukan berarti sumber energi di negeri kita sama di ambang batas kepunahan. Pandangan itu salah. Negara kita masih memiliki alam yang luas, dengan potensi energinya yang sangat berlimpah. Tentu, satu sumber energi yang berlimpah itu ialah energi terbarukan atau sumber energi alternatif.

Tata Kelola
Tata kelola adalah satu aspek yang harus dilakukan dengan baik. Kalau tidak, apa jadinya bangsa kita? Pasti tak terbayangkan satu negara tanpa energi. Ibarat pengguna motor tadi, mana mungkin motor nyala tanpa bensi (BBM).
Masalahnya, tata kelola energi belum mengoptimalkan potensi energi yang ada di dalam negeri. Banyak fakta untuk membuktikan hal ini.
Pertama, tidak maksimalnya regulasi yang mengatur produksi migas di dalam negeri. Potensi minyak bumi, misalnya, masih jauh lebih besar dibandingkan kemampuan produksinya. Kilang-kilangnya belum memadai untuk memproduksi dan eksplorasi minyak bumi di dalam negeri. Wajar saja bila kita masih impor minyak bumi. Padahal, melalui regulasi tata kelola produksi minyak di dalam negeri, negeri kita bisa menekan angka impor atau bahkan bisa saja mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Kedua, tidak adanya regulasi yang menekan penjualan kendaraan bermesin. Di dalam Outlook Energi 2014 dituliskan, konsumsi energi dalam sektor kendaraan bermesin merupakan konsumsi terbesar. Padahal, bila penjualan motor dan mobil pribadi bisa ditekan, bukan tidak mungkin angka konsumsi dapat diminimalisasi. Hal ini akan mendukung bagaimana angka produksi migas di dalam negeri dapat tercukupi melalui produksi migas kita sendiri.
Ketiga, regulasi tata kelola energi terbarukan belum mendukung realisasi produksi dan konsumsi. Lihat saja, berbagai data mencatat, konsumsi energi terbesar di negeri kita masih didominasi energi fosil. Di sisi lain, bukannya miskin potensi energi terbarukan, justru bahan-bahan untuk menciptakan energi terbarukan di negeri kita sangat melimpah.
Regulasi-regulasi itu menjaga energi negeri kita sendiri. Ya, mau tidak mau, untuk membuat mandiri dalam energi, negeri kita harus merealisasikan regulasi-regulasi tersebut.
Ibarat pengendara sepeda motor tadi, siapa lagi yang mengetahui dan mampu mengendalikan BBM sepeda motornya kalau bukan dia sendiri? Begitu pula kita, siapa lagi yang mengetahui dan mampu mengendalikan energi kalau bukan kita sendiri? Kita tentu tidak ingin negeri ini mogok seperti motor yang mogok di tengah jalan.



Tulisan ini dibuat untuk mengikuti salah satu lomba menulis.

Sunday, September 27, 2015

Mencermati Tuhan dan “Tuhan”

ilustrasi (foto: blogspot)
Ketika saya membaca petunjuk jalan “Awas ada lubang!” tentu saya akan hati. Sebelum melihat lubang, saya tak akan tahu seperti apa kondisi lubang tersebut. Apakah lubang itu kecil, besar, membahayakankah, atau hanya seukuran telapak kaki.
Dalam memahami maksud keberadaan sebuah kata, tentu harus paham asal-muasal terbentuknya kata tersebut. Dengan kata lain, untuk apa kata itu dibuat. Kalau tidak, yang terjadi hanya mereka-reka.
Keseimbangan antara pemahaman tekstual dengan kontekstual itu perlu. Bayangkan jika saya hanya paham teks petunjuk jalan tadi. Apa yang terjadi? Ya, saya hanya mereka-reka besaran lubang dan posisi lubang. Sebaliknya, jika saya menitikberatkan pada makna, maka saya jadi phobia.
Hal ini tak ubahnya pada kasus nama “Tuhan” yang belakangan marak diperbincangkan netizen. Hanya gara-gara seseorang bernama “Tuhan”, lantas orang tersebut disamakan dengan Tuhan sesungguhnya.
Tak cuma netizen, sekelas Ketua MUI Din Syamsudin pun angkat bicara. Tokoh yang katanya intelektual di bidang agama itu menyarankan agar nama tersebut diganti saja atau dibubuhi kata lain. Bukankah pergantian atau perubahan nama orang menyebabkan hal ihwal administrasi juga berubah? Lantas, bagaimana repotnya ia harus mengubah kartu tanda penduduk (KTP), surat izin mengemudi (SIM), akta kelahiran, surat nikah, surat kepemilkan rumah, tanah, kendaraan, hingga harta embel-embel lainnya. Mungkin Din Syamsudin lupa hal ini semua.
Naif bila orang bernama “Tuhan” itu disamakan dengan Tuhan sebenar-benarnya. Penyamaan tak ubahnya akidah ke-Islaman seseorang dipertanyakan. Penyamaan tak ubahnya ilmu tauhid ke-Islamannya juga layak dipertanyakan.
Dalam sejarah Nusantara, kata “Tuhan” berarti sifat kebaikan. Sebaliknya, “Hantu” bersifat keburukan. Kata ini perpaduan dari dua suku kata, “Tu” dan “Han”. Dua kosakata ini merupakan bagian dari kehidupan umat Kapitayan di masa Jawa kuno. “Tu” dimaknai sebagai hal kemagisan atau hal yang bersifat kuat. Karena itu, dalam paparannya pada suatu diskusi, sejarahwan Islam Nusantara, Agus Sunyoto, menejaslakan, di Jawa kuno banyak ditemui kosa kata yang berawal “Tu” untuk menunjukkan kekuatan, seperti “batu”, “tugu”, atau “tuban”.
Jika ditelisik dari pendekatan Islam, abad keenam masehi kata “Allah” telah digunakan banyak suku dan golongan di Arab Jazirah, baik di Madinah maupun pesisir Persia. Sebagian umat mengenal kata “El” untuk memaknai Tuhan. Penggunaannya banyak dipakai orang-orang Yahudi. Begitu pula dengan “Al” yang kini banyak digunakan umat Islam dan Kristen. Kata “Al” berarti esa. Di bahasa Inggris, kata tersebut sepadan dengan kata “The”.
Sesungguhnya kata “Tuhan” bukanlah “milik” umat Islam, melainkan umat Kapitayan. Jika saya mempertahankan nilai sakralitas kata “Tuhan” berarti saya mempertahankan nilai sakralitas umat Kapitan. Dengan demikian, tidak tepat mempertahankan nilai sakralitas kata “Tuhan” demi menjaga kesucian agama Islam atau pun Kristen. Apalagi, bagi umat Islam, kata “Allah Swt” merupakan dua kosakata yang digunakan di dalam kitab suci.
Sungguh saya iba dengan orang bernama “Tuhan” tadi. Dalam wawancara di televisi, ia tampak sopan dan santun berbicara. Lantas saya berpikir bertanya, bagaimana pula dengan orang-orang yang bermana “Muhammad” atau “Ahmad”.
Saya memperkirakan, doa orangtua si “Tuhan” tadi ingin anaknya mendekati sifat-sifat kebaikan Tuhan, asmaul husna. Orangtuanya bukan bermaksud mempersyirik keberadaan anaknya. Tak ubahnya orangtua menamai anaknya dengan “Muhammad”. Mungkin orangtua tersebut ingin anaknya memiliki sifat-sifat kebaikan, kemurahhatian, kedermawanan Nabi Muhammad.
Begitulah memahami nama “Tuhan” tak ubahnya memahami petunjuk jalan tadi. Jika terlalu berat sebelah, yang mungkin terjadi saya akan phobia sebelum melewati lubang atau saya akan terjerumus ke lubang.


Opini dimuat di harian Analisa (Medan)

Wednesday, September 9, 2015

Rupiah Lemah, Blogger Bahagia

Rupiah dan Dolar (Foto: Blogspot)
Rupiah melemah. Rupiah loyo. Rupiah keok. Harga komoditas impor naik tajam. Biaya transportasi ekspor naik. Begitulah sekelumit suara-suara lirih belakangan ini di tengah realitas kapitalisme.
Ekonomi Indonesia terpuruk. Nilai tukar rupiah mencapai Rp14 ribu per dolar. Nilai yang cukup fantastis sejak era reformasi bergulir.
Pengamat bilang, masyarakat jangan panik. Tetap tenang. Tetaplah mengonsumsi sewajarnya, maksudnya jangan menurunkan tingkat konsumsi. Tukarlah dolar, jangan ditimbun. Juga sekelumit celotehan lainnya.
Dipikir-pikir soal dolar, blogger sesungguhnya bisa jadi penyelamat. Meski itu tak setangguh Iron Man atau Batman. Paling tidak, Doraemon tak selalu dihrapkan hadir di kala kesusahan.
Beberapa stasiun televisi sempat menayangkan liputan seputar blogger meraup untung di masa pelemahan rupiah ini. Mereka menulis lepas, dibayar dolar. Mereka membuat aplikasi lepas, dibayar dolar. Mereka mereview produk, dibayar dolar. Mereka bekerja, dolar pun mengalir ke Tanah Air.
Bayangkan, jika mereka mendapat 100 dolar AS per bulan. Itu artinya, saat ini mereka bisa meraup Rp1.400.000. Kalau sebelumnya, mungkin hanya berkisar Rp1.200.000. Ada kenaikan pendapatan sebesar Rp200.000. Ini impact yang mereka rasakan secara langsung. Tentu di sisi lain aliran angka berdasarkan nilai dolar tadi masuk ke Indonesia. Akumulasinya, meski kecil, berdampak terhadap perekonomian nasional. Bayangkan saja, ada berapa blogger di Tanah Air ini?
Memang rasio blogger masih kecil dibanding bisnis atau industri penyedot dolar lainnya. Cuma industri kreatif yang masih dianggap "mistis" bagi sebagian masyarakat. "Di rumah mulu kok bisa dapat duit? Macam mana bisa?" begitu uangkapan sebagian masyarakat. Untung tidak pemerintah yang berceloteh demikian.
Pemerintah sudah "menolong" blogger? Paling tidak menciptakan regulasi yang membuat mereka adem ayem. Paling tidak memberi jaminan agar blogger tetap hidup di Tanah Air. Kalau bukan pemerintah, siapa lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi?

Thursday, October 30, 2014

Mark Zukenberg dan Bahasa Indonesia


Mark Zukenberg dan Bahasa Indonesia - Tahun 2004 seorang mahasiswa yang tidak disiplin dalam aturan perkuliahan membuat gempar dunia seputar internet. Mahasiswa tersebut tak lain ialah Mark Zukenberg. Ia menciptakan teknologi media sosial di internet. Awalnya media sosial tersebut dinamai Thefacebook. Karena pertimbangan efisiensi branding, salah seorang pengusaha yang bertemu Mark di sebuah cafe menyatakan bahwa nama Thefacebook tidak lebih baik dari Facebook.
Semula Mark menamai media sosial tersebut sebagai “The Face Book” karena konsepnya merupakan suatu konsep pertemanan tatap muka melalui dunia internet. Tatap muka bukan berarti bertatap antarmuka, melainkan tatap muka dan foto wajah. Mark menginginkan pertemanan antarmahasiswa di Harvard terjalin lewat media sosial Thefacebook. Begitulah sedikit cuplikan film The Social Media, sebuah film yang mengisahkan ihwal terbentuknya media sosial Facebook.
Kini Facebook telah tersebar ke berbagai negara. Indonesia merupakan negara pengguna tertinggi ke empat dunia. Melihat fakta ini tentu mengkhawatirkan karena keberadaan Facebook sangat berdampak terhadap kelangsungan bahasa Indonesia. Salah satu sebab kekhawatiran itu muncul atas pergulatan bahasa, yakni pergeseran secara perlahan dari bahasa Indonesia ke bahasa asing. Di dalam  media sosial Facebook terkandung bahasa asing, bahasa Inggris. Tingginya pengguna Facebook di Indonesia tentu menandakan semakin tinggi pula daya pergualatan bahasa Indonesia terhadap bahasa asing melalui Facebook.
Anand Tilak, Kepala Facebook wilayah Indonesia, menyatakan, jumlah pengguna Facebook di Indonesia per tengah tahun 2014 telah mencapai 69 juta pengguna. Sebelumnya, jumlah pengguna Facebook di Indonesia pada 2013 hanya 65 juta pengguna. Artinya, dalam setengah tahun pengguna Facebook Indonesia mampu naik 6 persen.
Facebook adalah ruang realitas yang tidak realitas. Seperti apa yang disampaikan Yasraf, teknologi komputer merupakan bentuk pemindahan tugas-tugas saraf manusia ke medium yang lebih kecil. Pemindahan dari ruang yang besar menjadi persegi empat (baca: komputer). Jika mengacu pada pandangan tersebut, Facebook dapat dipahami sebagai ruang interaksi dari realitas ke ruang segi empat. Yang mulanya ada di ruang-ruang publik real bergeser ke ruang publik tidak real.
Ruang nirrealitas dan realitas menjadi bias. Facebook sebagai nirrealitas berada di tengah-tengah realitas itu sendiri. Begitu pula halnya penggunaan bahasa, mana bahasa realitas dan mana bahasa nirrealitas. Kini akan sulit membedakan konteks dalam berbahasa. Berbeda pada zaman dahulu, ketika orang Indonesia berbicara di negara Amerika tentu orang Indonesia akan berusaha mendekatkan diri pada bahasa di Amerika, bahkan menggunakan bahasa setempat. Begitu juga sebaliknya, orang Turki di Malaysia tentu berusaha mendekatkan diri pada pendekatan bahasa melayu Malaysia.
Seperti uraian di awal, pendiri Facebook pun menamainya media sosial yang ia ciptakan dengan istilah Inggris. Istilah Inggris menjadi lebih dekat dengan penutur bahasa Indonesia. “Facebook” berarti tatapan di ruang maya (internet). Jika diterjemahkan secara harfiah, “facebook” berarti wajah buku. Hal ini dilihat dari segi penamaan saja. Belum lagi istilah-istilah yang terkandung di dalam Facebook itu sendiri.
Hampir seluruh kerangka Facebook menggunakan bahasa Inggris. Meski berbahasa Indonesia, upaya penerjemahan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia baru dilakukan maksimal 2-3 tahun belakangan. Penerjemahan pun tidak menyeluruh. Tombol “home” berubah menjadi “beranda”,  “message” menjadi “pesan”, “wall” menjadi “dinding”, “profile” menjadi “profil”, “reply” menjadi “balas”, “setting” menjadi “pengaturan”, dan sebagainya.
Facebook adalah penanda adanya ancaman terhadap bahasa Indonesia. Penutur bahasa Indonesia secara perlahan akan bergeser sesuai habitus (kebiasaan) bahasa yang terkandung di dalam Facebook. Dengan demikian, melestarikan bahasa Indonesia harus dimulai dari kebiasaan dari penggunaan teknologi, dalam hal ini media sosial.

Wednesday, October 1, 2014

Jokowi, Media, dan Sumut

ilustrasi (karikaturjokowi.blogspot.com)
Jokowi, Media, dan SumutPengumuman Mahkamah Konstitusi (MK) telah disampaikan, yang menandakan resminya Joko Widodo terpilih sebagai presiden berikutnya di mata hukum. Kini rakyat tinggal menunggu peresmian sang presiden baru pada 20 Oktober mendatang dan menunggu kerja nyata sang mantan gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) tersebut. Bagi penduduk Sumatera Utara (Sumut), sebagai bagian dari partisipator pilpres, kiranya perlu ikut mengawal secara aktif kinerja-kinerja Jokowi.
Dua hal yang terkait janji politiknya ialah pembangunan desa-desa dan keaktifan rakyat. Sejak awal kampanye, Jokowi menyampaikan bahwa desa akan menjadi fokus pembangunan. Di sanalah masyarakat Sumut perlu berperan aktif mengawal kerja Jokowi (dibantu Jusuf Kalla) di era pemerintahan mendatang. Apalagi, Sumut masih memiliki sekitar 2.000 desa tertinggal dari 5.889 desa di Sumut. Dengan mengawal, masyarakat telah berpartisipasi terhadap kinerja pemerintah.
Pertanyan dasarnya, dengan apa masyarakat Sumut mengawal? Di tengah keterbukaan informasi dan keterbukaan akses komunikasi antara pemerintah dan rakyatnya ini, media massa merupakan jembatan. Mengawal wacana melalui media massa berarti mengawal kebenaran penguasa (ordinat) dan kebenaran rakyat (subordinat).
Hal utama yang dilakukan masyarakat Sumut ialah melek media. Sejak awal pencalonan gubernur DKI Jakarta, Jokowi merupakan praktisi yang melek media. Kesadaran media oleh figur seperti ini perlu diterjemahkan sebaik mungkin, sebagai figur sadar media. Bukan tidak mungkin setiap aksi perbuatan figur tersebut di depan publik merupakan tahap pencitraan. Masyarakat perlu membedakan mana perilaku citra dan mana perilaku sebenarnya. Mana realitas dan mana hiperealitas.
Sebelum masa-masa pemilihan presiden (pilpres), Jokowi adalah satu-satunya politisi yang "media darling". Tindakannya yang berbaur dengan "wong cilik" dalam bekerja menjadi pilihan berita menarik bagi pengolah berita. Gestur, gaya bahasa, serta tatapan matanya saat tampil di depan layar kamera menarik para wartawan untuk selalu menginformasikan perihal Jokowi.
Selain itu, di dalam dunia internet, pada masa-masa jelang pencoblosan, Jokowi sangat terbantu atas adanya media alternatif (media sosial). Hal ini terlihat dari rilis lembaga survei politik khusus internet (netizen), PoliticaWave. Berdasarkan pengamatan PoliticaWave pada 4-5 Juni 2014, perbincangan di dunia internet tentang Jokowi unggul atas Prabowo, dari 34 provinsi. Begitu pula masa debat kampanye, 9 Juni 2014, percakapan mengenai dukungan terhadap Jokowi unggul jauh atas Prabowo. Pasangan Jokowi-JK mendapat 47.610 percakapan, sedangkan Prabowo hanya 16.003 percakapan.
Hal kedua yang perlu dipahami masyarakat Sumut ialah sadar kekayaan alam Sumut. Sadar kekayaan ini guna mengawal transaksi politis atas sumber-sumber daya alam di Sumut. Kekayaan alam bisa saja berkurang drastis akibat ketidakpedulian masyarakat terhadap sumber daya alam (SDA).
Pada 2013, Badan Pusat Statistik merilis 10 Provinsi dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tertinggi. Sumut berada pada posisi lima teratas, dengan nilai 118.640.902.74 (dalam rupiah). PDB, yang menjadi nilai ekonomi barang dan jasa , merupakan tolak ukur kekayaan suatu provinsi. Ini artinya, Sumut merupakan provinsi terkaya kelima di Indonesia. Di sisi lain, Sumut masih memiliki luas wilayah perkebunan sebesar 1.788.943 ha (tahun 2006).
Masyarakat yang aktif mengawal ialab masyarakat yang bersifat interaktif terhadap pemerintahnya. Selalu ada take and give informasi. Selalu ada reaksi-reaksi masyarakat, baik reaksi positif maupun reaksi kritis, terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Dalam hal ini, masyarakat juga perlu aktif membangun opini.


Wednesday, September 17, 2014

Tantangan dalam Penaikan Harga BBM

Antrean SPBU di Namlea padat merayap (Foto: suakailmu.blogspot.com)

Tantangan dalam Penaikan Harga BBM - Bagi sebagian kalangan menginginkan penaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) segera dilakukan demi efisiensi penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Penaikan dianggap langkah paling realistis di tengah ancaman peningkatan deflasi dan pembengkakak dana subsidi tahun depan. Namun, semua ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Artinya, ada segudang tantangan yang siap menanti.
Tantangan tersebut tidak datang dari kondisi keuangan itu sendiri. Tantangan ini merupakan landasan vital terhadap mobilitas masyarakat yang kerap mengonsumsi BBM bersubsidi. Penaikan harga BBM akan menilbulkan perubahan drastis roda ekonomi mikro, inflasi, kesenjangan sosial, PHK, hingga persoalan transportasi umum.
Dari sekian tantangan tersebut, tantangan terbesarnya ialah bagaimana pemerintah mengatasi persoalan moda transportasi umum. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), 2012, menyatakan bahwa terdapat 47% pengguna sepeda motor merupakan konsumen BBM bersubsidi. Sementara sisanya atau 53% merupakan pengguna mobil. Bila diprediksikan bahwa pengguna sepeda motor merupakan kelompok yang paling merasakan terkena dampak, maka ke-47 persen inilah yang berpotensi alih moda transportasi. Pengguna sepeda motor sangat berpeluang berpindah dari pengguna sepeda motor ke pengguna transportasi umum.
Pengguna sepeda motor memiliki alasan rasional dalam perpindahan tersebut, yakni efisiensi. Pengguna sepeda motor bisa jauh lebih hemat apabila menggunakan jasa angkutan umum ketimbang memaksa diri menggunakan sepeda motor. Apabila kenaikan harga premium bersubsidi naik Rp3.000, menjadi Rp9.500, maka pengeluaran bagi pengendara sepeda motor yang menghabiskan tiga liter per hari akan menghabiskan biaya sebesar Rp28.500. Biasanya konsumen premium sebanyak ini merupakan konsumen yang berjarak tempuh cukup jauh. Katakanlah jarak tempuh pengguna sepeda motor tersebut setara dengan tarif angkutan umum sebesar Rp20.000, maka ia akan menghemat Rp8.500.
Alasan lain ialah kenyamanan. Dengan pengeluaran Rp9.500 per liter, perjalanan pengguna sepeda motor belum tentu nyaman. Ia harus berkendara sendiri, menggunakan tenaga sendiri, dan menggunakan kepiawaian sendiri. Tentu akan jauh lebih nyaman jika pengguna sepeda motor tersebut menggunakan transportasi umum. Ia tidak lagi menggunakan tenaga sendiri dan tidak lagi menggunakan kepiawaian sendiri. Bahkan, potensi kecelakaan apabila kedua kendaraan dibandingkan (sepeda motor dan mobil transportasi umum) jauh lebih berisiko
Hal yang mendesak dilakukan pemerintah ialah pembenahan transportasi umum di berbagai daerah, khususnya di daerah-daerah padat penduduk dan mobilitas tinggi. Kota-kota besar dan wilayah industri tergolong sebagai dua kategori tersebut. Kota-kota besar yang dimaksud ialah Aceh, Medan, Batam, Palembang, Padang, Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, dan Makassar. Sementara wiayah industri ialah Karawang, Bekasi, Tangerang, Surabaya, dan lainnya.
Memang beberapa daerah telah memiliki transportasi umum yang dikelola khusus oleh pemerintah setempat, seperti Transjakarta di Jakarta, Bandung Trans di Bandung, dan Transjogja di Yogyakarta. Bila merujuk survey di Yogyakarta, masyarakat Yogyakarta masih enggan beralih dari transportasi pribadi ke transportasi umum dengan alasan ketidakoptimalan pengelola dalam mengelola armada dan jalur (trayek). Survei yang dilakukan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), pada 2013, menyatakan bahwa masyarakat umumnya enggan menggunakan Transjogja. Dari 95 responden, secara random, 65 persen responden enggan berpindah ke transportasi Transjogja karena ketidakteraturan jadwal, titik shelter dan waktu yang terbatas, hingga kenyamanan di dalam bus masih belum optimal.
Pemerintah harus segera merancang konsep transportasi umum yang mampu menciptakan kenyaman secara serius, bukan hanya nyaman ruang semata melainkan juga nyaman dalam pengelolaan waktu (jadwal keberangkatan) dan nyaman dalam hal pengelolaan trayek.

Di sisi lain, pemerintah juga harus mampu menekan laju pertumbuhan kendaraan di Indonesia. Dengan rata-rata 2.000 sampai 4.000 unit pertumbuhan pertahun, Indonesia akan menyita energi lebih banyak setiap tahunnya. Tanpa penekanan laju pertumbuhan kendaraan, pemerintah akan terus berkutat pada persoalan kuota BBM bersubsidi dan biaya BBM bersubsidi.

Saturday, September 6, 2014

Di Balik Kegagalan Partai Berbasis Agama

partai islam (foto: blogspot)
Di Balik Kegagalan Partai Berbasis AgamaSaat ini partai politik berbasis Islam berada pada dua sisi mata uang. Di satu sisi mempertaruhkan nilai-nilai keagamaan. Di sisi lain mempertaruhkan nilai politik berkarakter kapitalistik. Mungkin pula hal ini yang menyebabkan koalisi yang dihuni banyak partai Islam tak mampu mengalahkan koalisi yang dihuni satu partai Islam.
Dua nilai itu pula yang menjadi nilai pembeda kedua koalisi. Seperti apa yang telah dilakukan oleh partai-partai berbasis agama Islam pada pilpres 2014 kemarin. Pada salah satu kubu koalisi pendukung calon presiden terdapat empat partai berbasis agama Islam, yakni Partai Keadilan Sosial (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Bulan Bintang (PBB). Semestinya koalisi ini berkomunikasi masif perihal nilai-nilai keagaman, namun yang tersampaikan ke publik justru transaksi politik antarpartai. Meski tidak eksplisit dan tidak terpublikasi, beberapa kali salah satu kader dari salah satu partai tersebut mengakui adanya transaksi politik.
Di sisi lain, di koalisi seberang, terdapat satu partai berbasis agama lainnya, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pada koalisi ini partai berbasis agama terkena dampak strategi komunikasi yang diterapkan tim koalisi, yakni tidak menyatakan transaksi politik. Namun, konteks ekonomi kapitalisme seperti saat ini sudah barang tentu berdampak pada tatanan politik praktis. Ibarat pandangan populis umumnya, tidak ada makan siang gratis.
Transaksi politik tersebut tentu berdasarkan nilai-nilai kapitalisme-neoliberal saat ini. Suatu tindakan haruslah menguntungkan. Suatu perbuatan haruslah memiliki nilai lebih. Kapitalisme berprinsip pada nilai lebih (added value) atas nilai komoditas, sehingga perilaku partai seperti itu dipahami jauh dari perjuangan (akomodasi) keagamaan.
Kapitalisme merusak moralitas dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan demi pencapaian nilai lebih tadi. Dalam moral, misalnya, seperti dinyatakan Camile Paglia, dalam esainya yang berjudul "How Capitalism Can Save Art", bahwa kapitalisme global saat ini menyebabkan kecenderungan seni pada kemolekan tubuh perempuan yang tereksploitasi. Namun yang terpenting, dalam konteks partai politik, kapitalisme tidak ramah pada nilai-nilai kemanusiaan dan tidak mengenal apa yang disebut dengan keikhlasan (tanpa nilai material).
Sudut sisi lainnya, partai berbasis agama harus bertanggung jawab atas nilai keagamaan yang diusung. Agama merupakan wadah kemanusiaan yang bersifat transendental. Agama menjaga hubungan baik ke-Tuhanan melalui pintu kebaikan sesama manusia. Agama pula yang mengajarkan nilai-nilai tanpa nilai material (keikhlasan).
Agama berarti tidak kacau atau tenteram. Agama lahir dari situasi kekacauan sosial dengan tujuan mulia pembebasan masyarakat dari keterbelakangan, ketidakadilan, dan kejahatan (batil). Sementara misi transenden agama ialah pencapaian berpikir secara luas terhadap dunia hingga mencapai yang lebih tinggi dari dunia (ilahiah).
Di sinilah letak pertentangan partai berbasis agama. Pada satu sisi mengusung nilai-nilai kemanusiaan hingga nilai-nilai transenden, namun di sisi lain partai harus memosisikan sebagai partai modern yang mengusung bentuk-bentuk transaksional.
Tentu pertentangan ini menjadi pekerjaan rumah (PR) para politisi (kader partai). Apakah partai berbasis agama masih terus mengusung nilai "dua sisi mata uang" ini atau merumuskan konsep praktik politik yang mengedepankan nilai-nilai agama. Apakah partai berbasis agama melakukan transaksi politik dalam pengusungan koalisi atau mengedepankan kolektivitas bangsa dan masyarakat. Apakah partai terus menggerus nilai tambah atau mampu bertindak ikhlas.
Dengan demikian, wajar apabila masyarakat berpandangan sinis(me) terhadap partai berbasis agama. Masyarakat umumnya menempatkan nilai keagamaan, bukan identitas partai sebagai alat kekuasaan demokrasi kapitalistik. Apabila masyarakat melihat suatu partai lobi sana lobi sini dalam penjajakan koalisi, ini artinya masyarakat berharap bagaimana nilai keagamaan terimplementasi dengan baik dan efektif. Semoga pemilihan presiden pasca-Pilpres 2014 ini partai berbasis agama tidak terjebak pada praktik transaksional politik agar partai memiliki "nilai jual" yang baik (efektif) di tengah-tengah dominasi masyarakat beragama ini.


 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes