ARTIKEL PINTASAN
Showing posts with label Bandung. Show all posts
Showing posts with label Bandung. Show all posts

Thursday, October 29, 2015

Suku dan Agama di Sumut

ilustrasi toleransi (foto: blogspot)
Di masa awal perantauan, tahun 2006, dari Pematang Siantar ke Bandung, penulis menghadapi banyak pertanyaan. Begitu menginjakkan tanah di Bandung, rekan-rekan acapkali bertanya seputar identitas keagamaan penulis. “Agama apa, Mas?” atau “Agamanya Islam atau Kristen, Bang?”
Pertanyaan seperti itu muncul di awal-awal perkenalan. Berbeda dengan pertanyaan identitas bila hidup di Sumatera Utara (Sumut). Yang terlontar ialah ihwal identitas suku. “Marga apa, Lae?”
Tentu kedua bentuk pertanyaan tersebut menunjukkan karakter masyarakatnya. Masyarakat Sumut mengedepankan identitas kesukuan. Sementara masyarakat Bandung mengedepankan identitas keagamaan. Begitulah karakter masyarakat Sumut menjaga relasi sosialnya.
Terkait bahasan di atas, ketika penulis membaca opini “Patung Budha di Tanjungbalai Jadikan Destinasi Wisata” di Analisa pada 10 Oktober lalu, seolah karakter masyarakat Sumut telah pudar. Latar munculnya tulisan tersebut mengarahkan penulis pada simpulan bahwa karakter masyarakat Sumut tampaknya telah berubah. Tidak ada lagi relasi sosial yang mengedepankan suku.
Sumut, secara dominan, dihuni masyarakat suku Batak. Selain itu memang terdapat Melayu, China, Jawa, Minang, dan sebagainya. Karena mendominasi, tentu Batak menghegemoni (pola pikir) masyarakat Sumut (meminjam teori Gramschi, relasi dominasi dan hegemoni). Dengan begitu, pola kekerabatan Batak dapat menjadi acuan khusus untuk memahami masyarakat Sumut umumnya.
Bagi Batak, marga sangat menentukan cara relasi antarindividu. Dalam buku Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba, fungsi marga dipahami sebagai asal keturunan atau sabutuha. Hal ini terimplementasi saat orang Batak mengenali sesamanya. Marga menjadi identitas diri. Individu semarga dianggap dekat kekerabatannya.
Acapkali marga juga dipandang untuk memahami cara berpikir seseorang. Seseorang bermarga X, misalnya, identik dengan orang lain bermarga X lainnya. Kedua orang disetara melalui identifikasi marga yang sama.
Seiring perkembangan zaman, marga tak semata penentu pengidentifikasi sabutuha. Masyarakat Batak modern juga memanfaatkan marga untuk bekal ekonomi. Seakan nepotisme memang, namun fakta ini tak bisa dipungkiri.
Di sisi lain, identifikasi keagamaan di Bandung sesungguhnya tak jauh berbeda dengan marga. Agama menentukan relasi sosialnya. Individu yang seagama dianggap “satu kerabat”.
Yang perlu ditekankan, meski tidak mengutamakan identifikasi agama, bukan berarti masyarakat Sumut seperti itu tidak berlandasakan agama. Bukan berarti pula agama dinomorduakan. Langkah semacam ini sesungguhnya demi menjaga keharmonisan antarindividu (relasi). Lebih baik lagi, apabila hal itu didasari keyakinan akan perintah keagamaan untuk menjaga hubungan sesama lebih baik.
Kembali pada persoalan patung Budha, sesungguhnya gaya identifikasi berdasarkan agama tidak menunjukkan karakter masyarakat Sumut. Sentimentil keagamaan akibat pendirian patung Budha meruntuhkan karakter identitas adat istiadat. Sesungguhnya, karakter seperti itu mampu menaungi keberadaan masyarakat agama lain di tengah konteks kehidupan beragama yang ekstrim, sehingga toleransi beragama terjaga.
Pertanyaannya, apakah keutuhan berpikir masyarakat Sumut di Tanjungbalai telah punah? Tampaknya, toleransi beragama di Tanjungbalai perlu dipupuk melalui keutuhan hidup masyarakat Sumut.

Akhir ulasan, penulis ingin mengingatkan pernyataan guru bangsa yang dikenal pejuang toleransi, Abdurahman Wahid (Gus Dur). “Kalau sebenar-benarnya seseorang beriman kepada Tuhan, tentu tidak akan membenci seseorang karena perbedaan agamanya,” demikian mantan Presiden RI itu menggagas kehidupan bertoleransi.


NB: Hanya semacam pengantar ihwal toleransi di Sumut, dan terkait latar merebaknya sentimen keagamaan di Tanjungbalai, Sumut.

Saturday, April 19, 2014

Sekali Pengusaha Tetaplah Pengusaha




ilustrasi (foto: blogspot)
Sekali Pengusaha Tetaplah Pengusaha - Sekali pengusaha tetaplah pengusaha. Seorang pengusaha selalu berpikir apa yang tampak dapat menjadi nilai tambah. Barang biasa menjadi komoditas. Komoditas menjadi komoditas baru. Barang bekas pun harus bisa menjadi komoditas baru.
Di kereta, dari Yogyakarta ke Bandung, saya duduk berdampingan dengan seorang pengusaha. Dia memiliki 200 kamar kos-kosan di Cikuda, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Berawal dari pembicaraan soal kampus, si pengusaha itu mengarahkan pembicaraan ke masalah “ke-Indonesiaan”.
“Kampus-kampus kita pada ke mana coba? Intelektualnya tidak berorientasi ekonomi,” celoteh dia, melipat tangan ke lengannya.
Secara spesifik, lelaki yang mengaku kelahiran Sumatera Barat itu mempersoalkan bioteknologi. Menurutnya, bioteknologi di Indonesia sama sekali tidak bergema. Tidak menguntungkan negara. Tidak membuat daya saing dengan negara-negara lain. “Coba tengok Thailand, banyak buah-buahan Thailand yang laku di mancanegara. Karena apa? Itu karena bioteknologi mereka maju,” kata dia berwajah serius.
“Kita ini banyak spesies tumbuhan, tanaman, buah-buahan. Kenapa gak ada buah-buahan yang unggul, misalnya? Kan bisa itu jenis-jenisnya dibuat yang unggul,” ucap dia berwajah semangat empat lima.
“Seandainya kita punya durian yang unggul dari sekian puluhan jenis durian, misalnya, kita bisa ekspor durian. Bisa mengalahkan Thailand kan?” ucap pengusaha yang mengaku tinggal di Cibiru, Bandung, itu.
Saya perhatikan pengusaha itu. Tidak menggunakan pakaian mewah, kecuali kaos biasa. Tidak membawa apa pun kecuali tas kecil berukuran 30 x 30 cm. Tidak membeli makanan dari dalam kereta, hanya membawa sebotol air mineral. Di kakinya pun hanya mengenakan sandal jepit biasa, tampak terbuat dari kulit.
Setelah berdiskusi panjang lebar, saya bertanya tentang tarif kamar kos-kosan yang ia miliki. “Berapa sewa kamar setahun di kosan bapak?” aku bertanya sembari tersenyum kecil.
“Beragam. Tergantung isinya juga. Paling murah Rp4,5 juta. Rata-ratanya Rp5 jutaan,” pengusaha itu menjawab. “Mahal ya, Pak,” kataku. “Mau gak mau kan. Yang lain juga tiap tahun naik Rp500 ribu, jadi kita pun ikut naikkan,” kata dia bertampang serius.

“Syukurlah. Saya bisa menguliahkan anak sampai ke Amerika,” kata dia. Begitu ekonomisnya cara berpikir pengusaha, dari hal-hal kecil sehari-hari sampai pendidikan anak pun diusahakan bagaimana supaya bernilai lebih. Sekali pengusaha tetaplah pengusaha.

Wednesday, November 21, 2012

Bandung Laut(an) Kendaraan





Bandung Laut(an) Kendaraan


Bandung Kota Macet

Setelah hampir setahun, sejak November 2011, Penulis meninggalkan hiruk-pikuk Bandung. September ini Penulis menjajal hiruk-pikuk jalanan Bandung saat sore dan malam hari. Penulis melewati beberapa titik, seperti Cileunyi, Cibiru, Ujung Berung, Dago, dan M Toha. Pada waktu itu bukan sengaja ingin menjajal, melainkan Penulis harus melewati jalur tersebut untuk bertemu dengan beberapa rekan.
            Perubahan drastis terjadi di titik-titik tersebut. Telah terjadi perubahan dalam kurun waktu hampir setahun. Pada saat Penulis masih kuliah, dan sering melewati titik-titik tersebut, jalanan belum terlalu macet. Macet masih dapat terurai selang beberapa menit. Artinya, dalam hitungan tidak lebih dari lima menit kemacetan masih dapat terurai. Tetapi, kini Cileunyi, Cibiru, Ujung Berung, Dago, dan M Toha, macetnya sulit terurai. Bahkan, dari Ujung Berung hingga Cicaheum kendaraan melaju hanyamelaju  perlahan, tidak lebih 40 km/jam.
 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes